JATIMTIMES - Bukan sekadar apel, bukan pula ritual tahunan yang datang dan pergi. Di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 2 Kota Malang, peringatan Hari Santri Nasional (22/10/2025) terasa lebih sebagai napas hidup, sebuah cara santri mengenali dirinya di tengah zaman yang terus berubah.
Halaman madrasah tampak riuh tapi hangat. Ratusan siswa berdiri dalam balutan busana putih, bukan karena kewajiban upacara, melainkan karena semangat yang tumbuh dari dalam.
Baca Juga : Burger Buto Tak Sekadar Kuliner: Mike Ragnar 10 Tahun Dedikasikan Usaha untuk Berdayakan Disabilitas
Di tengah barisan itu, Muslihan SAg, humas madrasah, berdiri sebagai pembina apel, mewakili Kepala MTsN 2 Mokhammad Amin Tohari SAg MPdI, yang tengah menghadiri upacara resmi di Pemkot Malang. Amanat Muslihan menohok tapi menenangkan. Ia bicara tentang makna santri yang tak lagi terkurung di balik dinding pesantren.

“Santri itu siapa saja yang belajar dengan niat tulus dan beradab kepada sesama. Tak harus berkopiah dan bersarung untuk disebut santri,” ujarnya lantang, membuat suasana apel terasa lebih reflektif daripada seremonial.
Usai apel, kegiatan bergulir dalam bentuk yang lebih cair. Tak ada pembatas antara belajar dan bermain, antara formalitas dan kreativitas. Kirab santri yang diikuti seluruh kelas bukan parade untuk dipamerkan, melainkan cara siswa mengekspresikan kebanggaannya terhadap nilai-nilai yang mereka hayati.
Di sepanjang rute, Babinsa Kedungkandang Kholil memastikan kegiatan berjalan tertib, tapi juga memberi ruang bagi tawa dan spontanitas siswa yang membawa poster dan atribut buatan sendiri.

Di sisi lain, bazar santri menjadi laboratorium kecil kemandirian. Anak-anak berdagang hasil olahan mereka sendiri, dari jajanan tradisional hingga minuman segar racikan kekinian. Tidak ada tekanan menang atau kalah; yang ada hanyalah keberanian mencoba, berinteraksi, dan belajar tentang tanggung jawab. Para wali murid yang tergabung dalam paguyuban kelas turut membantu, bukan sekadar mendampingi tapi benar-benar terlibat.
“Anak-anak ini belajar lebih banyak dari satu hari bazar dibanding seminggu teori di kelas,” celetuk salah satu orang tua dengan tawa bangga.
Ketua pelaksana kegiatan, Mohammad Bisri SAg, melihat semua ini sebagai bukti bahwa pendidikan karakter tak selalu harus dikhotbahkan. “Kalau mau menanam nilai, biarkan mereka mengalami. Dari menyiapkan lomba, mengatur stand, sampai menertibkan diri sendiri, itu semua latihan kepemimpinan yang nyata,” ujarnya.

Senada dengan itu, Wakil Kepala Bidang Kesiswaan Ary Budiono SPd menilai peringatan Hari Santri kali ini berhasil menggeser maknanya dari acara simbolik menjadi ruang tumbuh. “Anak-anak belajar mengelola kegiatan, bekerja dalam tim, dan menghargai proses. Ini bukan perayaan, ini pembelajaran yang hidup,” katanya.
Baca Juga : Raisa Gugat Cerai Hamish Daud? Begini Penjelasan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Menjelang sore, panggung Santri On Stage menjadi titik kulminasi semangat hari itu. Penampilan hadrah, musik islami, puisi, dan drama bertema perjuangan santri bukan sekadar hiburan, melainkan ekspresi diri yang jujur dan berani. Setiap bait, setiap tepuk tangan, seperti menyuarakan satu hal: santri hari ini tak lagi diam di masa lalu. Mereka tumbuh, bergerak, dan berbicara dengan cara mereka sendiri.
MTsN 2 Kota Malang menutup peringatan Hari Santri dengan pesan yang sederhana tapi kuat: santri bukan simbol masa lampau, melainkan jiwa muda yang sedang menulis ulang masa depan peradaban Indonesia.