Jatim Times Network Logo
Poling Pilkada 2024 Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Poling Pilkada 2024
Serba Serbi

Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga, Dua Eksekutor Syekh Siti Jenar Palsu

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

27 - Mar - 2025, 13:31

Placeholder
Dari kiri ke kanan: Lukisan Sunan Gunung Jati, ilustrasi tokoh San Ali Anshar (Syekh Siti Jenar palsu dari Persia), dan lukisan Sunan Kalijaga.

JATIMTIMES - Selama berabad-abad, sejarah kematian Syekh Siti Jenar selalu dikelilingi kabut misteri dan rekayasa. Banyak sumber babad dan serat yang mengisahkan eksekusinya oleh Wali Songo di hadapan Kesultanan Demak, namun penelitian terbaru menunjukkan bahwa bukan Syekh Siti Jenar yang dihukum mati, melainkan dua sosok yang mengaku sebagai dirinya: Hasan Ali dan San Ali Anshar. 

Dua tokoh inilah yang membawa ajaran menyimpang dan menyebabkan fitnah besar di Tanah Jawa. Eksekusi mereka bukanlah keputusan sepihak para wali, tetapi bagian dari gerakan penyelamatan akidah Islam yang telah disusupi unsur-unsur kebatinan yang menyimpang.

Baca Juga : Panorama Wisata Bukit Gegger Hidayah, Suguhkan Pemandangan dan Vila yang Menyatu dengan Alam

Dalam bagian ini, kita akan membahas peran Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga sebagai eksekutor yang menegakkan keadilan terhadap dua Syekh Siti Jenar palsu.

San Ali Anshar: Filsuf Sesat yang Menyamarkan Diri Sebagai Syekh Siti Jenar

San Ali Anshar al-Tabrizi al-Isfabhani bukanlah orang sembarangan. Ia berasal dari Isfahan, Persia, dan memiliki kecerdasan luar biasa dalam filsafat serta ilmu kebatinan. Namun, kecerdasannya bukanlah sesuatu yang membawa keberkahan, melainkan malapetaka. Ia mempelajari berbagai ajaran esoteris dengan pendekatan rasional tanpa pengalaman spiritual yang mendalam, hingga akhirnya menyimpang jauh dari Islam.

Ketika tiba di Tanah Jawa, ia melihat peluang besar untuk menyebarkan pemahamannya. Dengan kefasihan berbicara, ia berhasil menarik banyak pengikut. Namun, yang membedakannya dari ulama sejati adalah ambisinya dalam menguasai ilmu, bukan dalam menghayati dan mengamalkan kebenaran.

San Ali Anshar tidak mengajarkan ilmu hakikat berdasarkan pengalaman ruhani, melainkan hanya dari konsep filsafat yang ia racik sendiri. Ia dengan terang-terangan membabar ajaran Wahdat al-Wujud kepada orang-orang awam, suatu konsep yang seharusnya hanya dibahas di kalangan mereka yang telah mencapai tingkat spiritual tertentu. Keberaniannya dalam menyampaikan ajaran ini tanpa filter dan tanpa bimbingan yang benar, menjadi awal dari penyimpangan besar.

Lebih dari itu, ia bahkan mengaku sebagai titisan Wisnu dan wakil dari Tripurusa (Brahma, Wisnu, dan Siwa), suatu klaim yang disesuaikan dengan tradisi Hindu yang masih kuat di Jawa saat itu. Ajarannya mencampuradukkan Islam dengan unsur-unsur Hindu-Buddha, serta memasukkan ritual-ritual mistik yang tidak diajarkan dalam Islam.

San Ali Anshar tidak sekadar menyimpangkan ajaran Islam, tetapi juga menimbulkan praktik-praktik ritual yang bertentangan dengan syariat. Ia mengajarkan zikir berjamaah antara laki-laki dan perempuan dalam keadaan yang tidak terkendali. Para pengikutnya berteriak-teriak seperti orang kesurupan, bahkan tak jarang yang pingsan di tengah ritual.

Lebih jauh, ia menyebarkan keyakinan bahwa manusia adalah jelmaan Tuhan, bahkan mengajarkan bahwa Nabi Muhammad SAW mewarisi sifat Ilahiyyah yang menitis dari satu rasul ke rasul berikutnya. Dengan mengklaim dirinya sebagai keturunan Nabi, ia menyatakan dirinya memiliki sifat Ilahiyyah tersebut, sebuah ajaran yang jelas bertentangan dengan Islam.

San Ali Anshar juga memiliki hubungan dengan aliran Syi’ah Rafidhah yang ekstrem, suatu sekte yang pada masa itu ditentang keras oleh mayoritas ulama Ahlus Sunnah. Ritual-ritual yang ia lakukan, seperti zikir berjamaah di makam orang-orang suci, memiliki kemiripan dengan praktik yang dilakukan oleh pengikut sekte ini.

Profil dan Sejarah Hasan Ali: Antara Ajaran Mistis dan Hukuman Mati

Hasan Ali, yang sebelumnya bernama Raden Anggaraksa, adalah sosok kontroversial dalam sejarah spiritual Islam di Jawa. Ia merupakan putra Rsi Bungsu sekaligus cucu Prabu Surawisesa, penguasa Galuh Pakuan. Dari garis keturunannya, ia memiliki darah ningrat Sunda yang kuat dan bahkan merupakan cicit Prabu Siliwangi dari jalur ayahnya. Namun, perjalanan ilmunya justru membawanya ke jalur yang bertentangan dengan ajaran Islam yang murni.

Sejak kecil, Hasan Ali dikenal sebagai anak yang cerdas dan memiliki ketertarikan kuat pada ilmu kebatinan. Namun, jalan yang ditempuhnya tidak selalu sejalan dengan norma-norma keagamaan yang diajarkan oleh para Wali di Jawa. Keputusannya untuk masuk Islam mendapat pertentangan keras dari ayahnya, yang mengancam akan membunuhnya jika tetap bersikeras. Karena tekanan itu, Hasan Ali melarikan diri ke Giri Amparan Jati di Cirebon dan berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, yang kemudian memberinya nama Islam, Hasan Ali.

Namun, perjalanan spiritualnya tidak berhenti di situ. Setelah diculik oleh ayahnya dan dibawa kembali ke Pajajaran, ia mulai mencari ilmu dari berbagai guru, termasuk yang mendalami ilmu sihir dan kebatinan yang jauh dari prinsip tauhid. Hasan Ali juga sempat berguru di Pesantren Giri, tetapi ditolak karena kecenderungannya pada terawangan dan praktik ilmu gaib.

Setelah mengembara mencari ilmu, Hasan Ali mulai mengajarkan doktrin mistis yang dikemas dalam balutan Islam. Namun, ajarannya justru menyimpang dari esensi Islam yang diajarkan oleh Wali Songo. Ia membangun pedukuhan dengan nama Lemah Abang, berdekatan dengan dukuh asli yang didirikan oleh Syekh Siti Jenar. Hasan Ali mengklaim dirinya sebagai Syekh Lemah Abang dan mengajarkan konsep spiritual yang mudah diterima oleh masyarakat awam.

Ajarannya lebih menekankan pada pengalaman mistik instan, yang diperoleh melalui teknik pernapasan yang disertai doa-doa tertentu. Namun, doa-doa tersebut bukan sekadar doa biasa, melainkan mantra-mantra yang bercampur dengan unsur kanuragan dan kebatinan yang berasal dari berbagai kepercayaan pra-Islam.

Salah satu ajaran yang dia sebarkan adalah konsep Aku adalah Tuhan. Berbeda dengan ajaran Syekh Siti Jenar yang menekankan bahwa keberadaan manusia harus dinafikan agar mencapai kebenaran sejati, Hasan Ali justru meneguhkan ego manusia sebagai bagian dari keilahian.

Ia juga memperkenalkan doa Sindung Kraton, yang mengandung unsur-unsur pemujaan terhadap roh-roh dan entitas gaib dari berbagai alam. Doa ini dianggap memiliki kekuatan untuk membuka pintu kekayaan dan kekuasaan, yang membuatnya semakin populer di kalangan masyarakat yang mendambakan kemudahan dalam hidup.

Murid-muridnya berasal dari berbagai kalangan, terutama rakyat kecil seperti petani, pedagang, buruh, dan penyadap. Dengan ajaran yang menjanjikan kekuatan spiritual instan, Hasan Ali berhasil mengumpulkan banyak pengikut dalam waktu singkat.

Popularitas Hasan Ali akhirnya menarik perhatian para Wali dan Kesultanan Demak. Setelah dilakukan investigasi mendalam, terungkap bahwa ia telah menyesatkan banyak orang dengan ajaran yang bercampur antara Islam dan kepercayaan Majusi. Para Wali Songo pun akhirnya bergerak untuk meluruskan ajaran Islam di kalangan masyarakat.

Pada akhirnya, keputusan dijatuhkan. Hasan Ali divonis hukuman mati, bukan karena ia adalah Syekh Siti Jenar, tetapi karena ia mengaku sebagai Syekh Lemah Abang dan menyebarkan ajaran sesat. Hukuman mati ini dijalankan di Cirebon, tepatnya di Ndalem Kanggaraksan, rumahnya sendiri.

Pelaksanaan hukuman dilakukan oleh Sunan Gunung Jati dengan keris Kantanaga. Sumber lain menyebutkan bahwa Sunan Kudus yang melaksanakan eksekusi, tetapi dengan keris yang sama.

Setelah eksekusi Hasan Ali, ajarannya tidak serta-merta punah. Sebagian muridnya tetap mempertahankan kepercayaan mereka dan menyebarkannya secara diam-diam. Namun, para Wali Songo terus melakukan dakwah keliling untuk memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat.

Sejarah Hasan Ali menjadi bukti bahwa dalam setiap perjalanan penyebaran Islam di Jawa, selalu ada tantangan berupa ajaran-ajaran yang menyimpang. Para Wali Songo dengan bijak tidak serta-merta menggunakan kekerasan, tetapi lebih mengedepankan dakwah dan pencerahan sebelum akhirnya mengambil tindakan tegas terhadap penyimpangan yang berbahaya bagi umat.

Kisah Hasan Ali pun akhirnya menjadi bagian dari sejarah kelam penyebaran Islam di Nusantara, sebagai peringatan bahwa spiritualitas yang tidak berpijak pada ajaran tauhid yang benar dapat menjerumuskan seseorang ke dalam kebinasaan.

Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga Menegakkan Hukuman

Ketika ajaran San Ali Anshar dan Hasan Ali mulai menyebar luas dan menyesatkan banyak orang, Wali Songo bergerak untuk meluruskan keadaan. Para wali tidak serta-merta menjatuhkan hukuman mati. Mereka lebih dahulu melakukan pendekatan dakwah untuk menyadarkan masyarakat bahwa ajaran yang diajarkan oleh San Ali Anshar dan Hasan Ali bukanlah ajaran Syekh Siti Jenar yang sebenarnya.

Setelah upaya dakwah ini berhasil dan masyarakat mulai memahami bahwa mereka telah ditipu oleh seorang yang mengaku sebagai Syekh Siti Jenar, barulah Wali Songo mengambil tindakan tegas.

Baca Juga : Bagaimana Hukum Sungkeman Saat Idul Fitri dalam Islam?

Hasan Ali dieksekusi di wilayah Cirebon, tepatnya di Ndalem Kanggaraksan, di rumah kediaman Sunan Gunung Jati. Eksekusi ini dilakukan oleh Sunan Gunung Jati sendiri dengan menggunakan keris Kantanaga, pusaka miliknya. Dalam beberapa sumber seperti Carita Purwaka Caruban Nagari bagian ke-30 dan Babad Tanah Sunda bagian ke-44, disebutkan bahwa Sunan Kuduslah yang melakukan eksekusi dengan keris milik Sunan Gunung Jati.

Adapun San Ali Anshar dihukum mati di lapangan Pamantingan (Mantingan), Demak. Hukuman ini dilakukan bukan di Masjid Agung Demak, sebagaimana banyak dikisahkan dalam cerita-cerita populer, tetapi di luar area suci masjid. Sunan Kalijaga-lah yang secara langsung menjalankan eksekusi tersebut.

Keputusan untuk tidak melakukan eksekusi di dalam masjid merupakan bentuk penghormatan terhadap kesucian tempat ibadah. Sunan Kalijaga menegaskan bahwa masjid adalah tempat bersujud kepada Allah, bukan tempat untuk mengadili atau mengeksekusi manusia.

Sayangnya, setelah eksekusi ini dilakukan, berbagai narasi fitnah bermunculan. Para pengikut San Ali Anshar dan Hasan Ali menyebarkan cerita bahwa yang dihukum mati adalah Syekh Siti Jenar yang asli. Lebih jauh, mereka menciptakan kisah tentang bangkai anjing yang dikubur di mihrab masjid sebagai penghinaan terhadap para wali yang mengeksekusi pemimpin mereka.

Narasi-narasi bohong ini kemudian dilestarikan oleh intelektual kolonial Belanda yang ingin mendiskreditkan Islam. Mereka memperbesar kisah tentang perpecahan di tubuh Wali Songo dan membingkai ajaran Syekh Siti Jenar seolah-olah bertentangan dengan Islam yang dibawa oleh Wali Songo lainnya. Padahal, yang terjadi sebenarnya adalah eksekusi terhadap tokoh-tokoh yang telah menyelewengkan ajaran Islam.

Dalam perspektif historiografi, meluruskan sejarah bukan hanya soal mengungkap fakta, tetapi juga membebaskan kebenaran dari distorsi dan manipulasi. Sejarah eksekusi Syekh Siti Jenar yang selama ini beredar lebih banyak dipenuhi oleh narasi politis yang dibuat oleh pihak-pihak yang berkepentingan, baik dari kalangan musuh Islam pada masanya maupun oleh kolonial yang ingin melemahkan peran para wali.

Kisah ini harus dikembalikan pada titik kesejarahannya yang benar. Syekh Siti Jenar tidak pernah dihukum mati oleh Wali Songo. Yang dieksekusi adalah dua tokoh yang mengaku sebagai dirinya, yaitu Hasan Ali dan San Ali Anshar. Dengan demikian, tuduhan bahwa Wali Songo memusuhi dan menindas ajaran tasawuf di Jawa menjadi tidak berdasar.

Membedah Hubungan Syekh Siti Jenar, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati

Sejarah Syekh Siti Jenar selalu dipenuhi kontroversi, terutama terkait hubungannya dengan Walisongo dan kisah eksekusinya yang disebut-sebut dilakukan oleh Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga. Memang benar bahwa kedua wali tersebut melakukan eksekusi, tetapi yang mereka hukum sebenarnya adalah Syekh Siti Jenar palsu, yaitu Hasan Ali dan San Ali Anshar. 

Hal ini tidak mengherankan, karena kajian yang lebih mendalam menunjukkan bahwa Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga memiliki hubungan yang jauh lebih kompleks dengan Syekh Siti Jenar, baik secara intelektual, sosial, maupun kekeluargaan.

Syekh Siti Jenar, yang pada masa kecilnya dikenal sebagai San Ali, lahir dalam lingkungan keagamaan yang kuat. Nama kecilnya, San Ali, memiliki kemiripan dengan San Ali Anshar, sosok Syekh Siti Jenar palsu dari Persia. Sejak usia dini, San Ali diasuh oleh Ki Danusela dan mendapat bimbingan dari Ki Samadullah atau Pangeran Walangsungsang, seorang tokoh penting dalam pembentukan Cirebon sebagai pusat dakwah Islam.

Pada usia lima tahun, sekitar tahun 1431 M, San Ali diserahkan kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama besar keturunan Gujarat yang menjadi penyebar Islam pertama di Cirebon. Syekh Datuk Kahfi mendirikan Padepokan Giri Amparan Jati, yang kelak menjadi pusat pembelajaran Islam bagi banyak tokoh besar, termasuk Sunan Gunung Jati.

Di padepokan ini, Syekh Siti Jenar mempelajari berbagai ilmu agama secara mendalam, termasuk Nahwu, Sharaf, Balaghah, Tafsir, Hadis, Ushul Fiqh, dan Mantiq. Ia menjadi bagian dari generasi kedua murid Syekh Datuk Kahfi, sedangkan Sunan Gunung Jati adalah generasi ketiga.

Padepokan Giri Amparan Jati memiliki peran besar dalam penyebaran Islam di Cirebon, jauh sebelum kota ini berkembang menjadi kesultanan. Syekh Datuk Kahfi sendiri adalah seorang ulama dari Baghdad yang kemudian tinggal di Malaka sebelum akhirnya datang ke Cirebon bersama 22 muridnya. Keberadaan padepokan ini dibuktikan dalam naskah Purwaka Caruban Nagari, yang mencatat bahwa sejak abad ke-15, sudah ada pusat pengajaran Islam di Cirebon.

Penyebaran Islam melalui Padepokan Giri Amparan Jati dilakukan secara sistematis dan berhasil menarik perhatian para bangsawan Pajajaran. Dua putra Prabu Siliwangi, yaitu Rara Santang dan Pangeran Walangsungsang, menjadi murid utama padepokan ini. Kelak, Pangeran Walangsungsang mendirikan Cirebon sebagai kota Islam dan diberi gelar Sri Manggana Cakrabuana.

Di sinilah terjadi persinggungan besar antara Syekh Siti Jenar, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kalijaga. Ketiga tokoh ini adalah bagian dari jaringan ulama yang memiliki visi besar dalam penyebaran Islam di Jawa.

Sunan Kalijaga, yang awalnya dikenal sebagai Brandal Lokajaya, memiliki perjalanan spiritual yang unik. Ia bertemu dengan Sunan Bonang dan akhirnya menjadi muridnya sebelum mendalami Islam dengan caranya sendiri. Dalam perjalanan dakwahnya, ia menetap di Cirebon selama beberapa tahun dan menjadi pembersih Masjid Sang Cipta Rasa.

Di masjid inilah Sunan Kalijaga bertemu Sunan Gunung Jati dan akhirnya menikahi Siti Zaenab, putri Sunan Gunung Jati. Namun, sumber lain yang merujuk pada catatan Tarekat Akmaliyah yang dikaji oleh Agus Sunyoto dalam Suluk Malang Sungsang Abdul Jalil (2004-2005), menyebutkan bahwa Siti Zaenab sebenarnya adalah putri Syekh Siti Jenar.

Jika informasi ini benar, maka Sunan Kalijaga bukan hanya memiliki hubungan intelektual dengan Syekh Siti Jenar, tetapi juga hubungan keluarga sebagai menantu. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai lima anak, yaitu Ratu Pembayun, Nyai Ageng Panegak, Sunan Hadi, Raden Abdurrahman, dan Nyai Ageng Ngerang. Hubungan ini semakin memperkuat keterikatan antara Syekh Siti Jenar dan jaringan Walisongo, terutama dengan Sunan Kalijaga dan Sunan Gunung Jati.

Ratu Pembayun, putri Sunan Kalijaga dan Siti Zaenab, kelak menjadi permaisuri Sultan Trenggana, raja ketiga Kesultanan Demak. Pernikahan ini bukan sekadar ikatan keluarga, tetapi juga bagian dari strategi politik Walisongo dalam memperkuat kekuasaan Islam di Jawa.

Dari pernikahan ini, lahirlah tokoh-tokoh penting dalam sejarah Demak, Pajang dan Mataram. Salah satunya adalah Ratu Mas Cempaka, yang menikah dengan Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir), raja pertama Pajang, dan melahirkan Pangeran Benawa, raja kedua Pajang. Pangeran Benawa kemudian menurunkan Ratu Mas Hadi, yang menikah dengan Panembahan Hanyakrawati dan melahirkan Sultan Agung Hanyakrakusuma, penguasa terbesar dalam sejarah Mataram Islam.

Melalui jalur ini, pengaruh Syekh Siti Jenar dalam sejarah Islam di Jawa tidak hanya terbatas pada ajarannya, tetapi juga meresap dalam garis keturunan penguasa Jawa.

 


Topik

Serba Serbi syekh siti jenar sunan gunung jati sunan kalijaga



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Tulungagung Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Dede Nana