JATIMTIMES -- Langit senja berpendar jingga keemasan, menemani kumandang azan Magrib yang menggema dari menara Masjid Yoni Al-Mubarok di Berbek, Kabupaten Nganjuk. Suara bedug bertalu, menjadi pertanda bahwa waktu berbuka telah tiba.
Jamaah yang sejak sore telah memenuhi serambi masjid segera menyantap takjil sederhana, kurma, kolak pisang, dan segelas teh hangat, sebelum bersiap melaksanakan salat Magrib berjamaah.
Baca Juga : Bupati Sanusi Bersama Wabup Lathifah Kunjungi Puskesmas, Pastikan PKG Berjalan Lancar
Di malam Ramadan, suasana masjid ini semakin semarak. Anak-anak duduk bersila dalam halaqah kecil, mengaji dengan bimbingan para ustaz. Sementara itu, di dalam ruang utama masjid, kaum pria dan wanita bersiap untuk tarawih, ditemani udara sejuk yang masuk melalui jendela-jendela kayu tua, saksi bisu perjalanan panjang rumah ibadah ini.
Masjid Yoni Al-Mubarok bukan sekadar tempat ibadah. Ia adalah jejak sejarah Islam yang tertanam kuat dalam perjalanan Kabupaten Berbek di bawah kepemimpinan Raden Tumenggung Sosrokusumo I. Masjid ini menyimpan kisah tentang perjuangan, akulturasi budaya, dan pengaruh Islam yang terus hidup dalam denyut nadi masyarakat Berbek.
Menelusuri Sejarah Masjid Yoni Al-Mubarok
Berdiri megah di sebelah barat alun-alun Berbek, Masjid Yoni Al-Mubarok didirikan pada tahun 1818, berdasarkan candrasengkala Toto Adege Mesjid ing Negari Toya Mirah Qnuring Pandito Hamadangi yang jika diterjemahkan dalam kalender Masehi menunjuk pada tahun tersebut. Arsitektur masjid ini adalah perpaduan harmonis antara budaya Jawa, Tionghoa, dan klasik Hindu-Buddha—menjadi simbol nyata akulturasi yang berlangsung di wilayah Berbek sejak abad ke-19.
Keunikan masjid ini terletak pada artefak yoni kuno di pelatarannya. Yoni, peninggalan Hindu-Buddha, yang awalnya merupakan simbol kesuburan, dialihfungsikan sebagai penunjuk waktu salat (bencet) dalam tradisi Islam. Keberadaan yoni ini menunjukkan kesinambungan peradaban di Berbek, yang dahulu merupakan bagian dari jaringan kekuasaan Hindu-Jawa sebelum akhirnya menjadi pusat dakwah Islam.
Di dalam masjid, kalamakara menghiasi pintu utama—ornamen khas yang biasanya ditemukan dalam candi Hindu. Keberadaan simbol ini dalam masjid menegaskan bagaimana ajaran Islam di Berbek merangkul dan menyelaraskan unsur budaya lokal tanpa menghilangkan identitas keislaman.
Namun, sejarah masjid ini tak bisa dilepaskan dari sosok Raden Tumenggung Sosrokusumo I, bupati Berbek yang berperan besar dalam pembangunan masjid serta penyebaran Islam di wilayah ini.
Berbek di Bawah Kepemimpinan Sosrokusumo I (1812–1832)
Berbek pernah menjadi sebuah kabupaten mandiri dibawah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta sebelum akhirnya dilebur ke dalam Kabupaten Nganjuk pasca-Perjanjian Sepreh tahun 1830. Di masa kejayaannya, Berbek berada di bawah pemerintahan Raden Tumenggung Sosrokusumo I (1812–1832), seorang bupati yang tidak hanya cakap dalam politik dan pemerintahan, tetapi juga mendalami ilmu agama dan spiritualitas.
Masa kepemimpinan Sosrokusumo I bertepatan dengan periode sulit dalam sejarah Jawa. Setelah Perang Diponegoro (1825–1830), Belanda menerapkan kebijakan Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa yang sangat menekan rakyat. Sebagai bupati, Sosrokusumo I dihadapkan pada dilema besar: antara mematuhi kebijakan kolonial atau melindungi rakyatnya dari eksploitasi ekonomi.
Di tengah tekanan itu, Sosrokusumo I memilih memperkuat basis sosial dan spiritual rakyatnya. Ia menginisiasi pembangunan masjid sebagai pusat dakwah, mengembangkan sistem pendidikan berbasis pesantren, dan memperkuat jaringan ulama di Berbek. Masjid Yoni Al-Mubarok menjadi pusat kegiatan keagamaan dan politik yang menentang sistem kolonial secara halus melalui jalur dakwah dan pendidikan.
Raden Tumenggung Sosrokusumo I adalah tokoh legendaris yang dikenal dengan julukan Kanjeng Jimat. Julukan ini disematkan kepadanya karena, selain menjadi pemimpin yang bijaksana dan penyebar Islam di Berbek, ia juga dihormati karena banyak ucapannya yang terbukti menjadi kenyataan.
Masyarakat pada masa itu menyaksikan bahwa apa pun yang ia katakan, baik dalam urusan pemerintahan maupun kehidupan sehari-hari, sering kali benar-benar terjadi. Hal ini semakin menambah wibawanya di mata rakyat, menjadikannya bukan hanya seorang bupati, tetapi juga sosok yang disegani secara spiritual.
Membedah Nasab Kanjeng Jimat Berbek: Genealogi dan Dinamika Politiknya di Jawa
Kanjeng Jimat, atau Raden Tumenggung Sosrokusumo I, adalah tokoh penting dalam sejarah Berbek, menjadi Bupati Berbek pertama yang berperan dalam membentuk fondasi politik dan pemerintahan di wilayah tersebut. Garis keturunannya tidak hanya mengakar pada elite lokal di Berbek, tetapi juga terhubung dengan kerajaan besar seperti Kesultanan Mataram, Kerajaan Gowa, dan Kesultanan Bima.
Sebagai putra Raden Tumenggung Sosronegoro I, Raden Tumenggung Sosrokusumo I merupakan bagian dari struktur elite politik Jawa yang memiliki hubungan erat dengan berbagai wilayah, termasuk Grobogan dan Madiun. Keterkaitan darah dengan bangsawan-bangsawan Jawa dan Nusantara menjadikan keluarga ini sebagai salah satu dinasti berpengaruh dalam sejarah politik di tanah Jawa.
Peran penting Kanjeng Jimat tidak dapat dilepaskan dari Raden Tumenggung Sosronegoro I, Bupati Grobogan, yang merupakan figur utama dalam membangun jaringan kekuasaan keluarga besar ini. Dari Sosronegoro lahir 28 anak, di antaranya tiga putra yang menempati posisi strategis di berbagai wilayah. Salah satu putranya, RT Sosrokusumo I, diangkat sebagai Bupati Berbek pertama dan menjadi pendiri dinasti kekuasaan di wilayah tersebut.
Kepemimpinan keluarga ini kemudian berlanjut melalui adiknya, Raden Tumenggung Sosrodirejo, yang menjabat sebagai Bupati Berbek kedua dan melanjutkan dominasi trah Sosrokusumo. Sementara itu, putra lainnya, Raden Tumenggung Sosrodiningrat I, memegang jabatan sebagai Bupati Rajegwesi, memperluas pengaruh keluarga di Jawa Timur.
Garis keturunan RT Sosrokusumo I dapat ditelusuri hingga Kerajaan Gowa melalui jalur Karaeng Nobo, seorang pangeran dari Gowa yang menikah dengan Nyai Karaeng Nobo, putri Ratu Mas Sigit, adik Sultan Agung dari Kesultanan Mataram. Dari pernikahan ini, lahir tokoh-tokoh yang berperan dalam membentuk integrasi politik dan budaya antara Jawa dan Sulawesi.
Salah satunya adalah Nyai Ageng Datuk Sleman, yang menikah dengan Kyai Datuk Sleman, putra Raja Bima, memperkuat hubungan antara kedua wilayah. Selain itu, ada pula Nyai Ageng Wiroyudo, yang menikah dengan Ki Ageng Wiroyudo, putra Ki Ageng Sontoyudo II, melanjutkan ikatan genealogis dan pengaruh keluarga dalam jaringan kekuasaan.
Pernikahan ini membentuk jalur genealogis strategis antara Kerajaan Gowa, Kesultanan Mataram, dan Kesultanan Bima, mengokohkan posisi keturunan Kanjeng Jimat dalam lingkaran elite Nusantara.
Baca Juga : Pondok Ramadan MIN 1 Kota Malang Fokus Pemahaman Islam dan Praktik Ibadah bagi Siswa
Dari perkawinan Nyai Ageng Datuk Sleman dan Kyai Datuk Sleman, lahirlah Nyai Ageng Derpoyudo, sementara dari Nyai Ageng Wiroyudo dan Ki Ageng Wiroyudo, lahir Nyai Ageng Honggoyudo, yang kemudian menurunkan Raden Tumenggung Sosronegoro I, Bupati Grobogan.
RT Sosrokusumo I memiliki legitimasi politik yang kuat, mengingat garis keturunannya berasal dari Karaeng Nobo dan Sultan Agung, memberikan status tinggi dalam struktur sosial dan politik di Jawa.
Selain memiliki keterkaitan dengan Kerajaan Gowa, Kanjeng Jimat juga memiliki hubungan erat dengan Kesultanan Bima, yang semakin memperkuat posisinya dalam aristokrasi Nusantara. Raja Bima memiliki seorang putra bernama Kyai Datuk Sleman, yang menikah dengan putri Kyai Wiroyudo. Dari pernikahan ini, lahir empat anak: Nyai Sontoyudo, Nyai Honggoyudo, Kyai Derpoyudo, dan Nyai Damis Rembang.
Dari Nyai Honggoyudo, lahir beberapa tokoh besar yang kemudian memainkan peran penting dalam jaringan politik keluarga, di antaranya Raden Ayu Ronggo Sepuh, Raden Tumenggung Sosronegoro, Raden Ngabei Kertoprojo, dan Mas Ajeng Kertowijoyo.
Nyai Honggoyudo adalah ibu dari Raden Tumenggung Sosronegoro I, yang kemudian menurunkan RT Sosrokusumo 1 (Kanjeng Jimat). Dengan demikian, garis keturunan ini memperlihatkan bagaimana Kanjeng Jimat memiliki keterkaitan kuat dengan Grobogan, Berbek, Madiun, Gowa, dan Bima, membangun koneksi politik dan pemerintahan yang luas.
Selain menguasai Berbek, keluarga besar Sosrokusumo juga memiliki pengaruh luas hingga Grobogan dan Madiun. Wedana Bupati Madiun pasca Perjanjian Giyanti 1755, Raden Ronggo Prawirodirdjo I, juga merupakan bagian dari jaringan keluarga ini. Ia adalah putra dari Ki Ageng Derpoyudo, yang merupakan saudara dari Nyai Ageng Honggoyudo.
Dengan jaringan genealogis yang luas, keluarga Sosrokusumo berhasil membangun fondasi kuat dalam struktur politik Jawa, menjadikan mereka aktor utama dalam pemerintahan dan budaya lintas wilayah.
Sistem Tanam Paksa dan Perlawanan Sosrokusumo I
Pada tahun 1830, Johannes van den Bosch diangkat sebagai Gubernur Jenderal Hindia-Belanda. Ia menerapkan Cultuurstelsel, yang mewajibkan desa-desa menyisihkan 20% lahannya untuk tanaman ekspor seperti kopi, tebu, dan nila. Jika tak memiliki tanah, rakyat harus bekerja 75 hari dalam setahun di perkebunan kolonial.
Di Berbek, penerapan Sistem Tanam Paksa menjadi pukulan berat bagi rakyat. Sosrokusumo I menentang kebijakan ini dengan cara terselubung. Ia berusaha mengurangi penderitaan rakyat dengan mengatur distribusi hasil panen secara lebih adil dan memberikan keringanan pajak bagi mereka yang terdampak kebijakan kolonial.
Namun, langkah-langkahnya diawasi ketat oleh pemerintah kolonial. Tidak lama setelah sistem ini diterapkan, Sosrokusumo I dipanggil oleh administrasi kolonial dan dipaksa mengundurkan diri dari jabatannya pada tahun 1832. Ia wafat di tahun yang sama dan dimakamkan di belakang Masjid Yoni Al-Mubarok—tempat yang hingga kini menjadi tujuan ziarah bagi masyarakat Berbek dan sekitarnya.
Integrasi Berbek ke dalam Kabupaten Nganjuk
Pasca wafatnya Sosrokusumo I, Kabupaten Berbek mengalami perubahan besar. Pada tahun 1835, integrasi wilayah antara Kabupaten Kertosono, Kabupaten Nganjuk, dan Kabupaten Berbek selesai dilaksanakan. Berbek, yang sebelumnya memiliki bupati sendiri, kini hanya menjadi bagian dari struktur administrasi yang lebih besar di bawah Kabupaten Nganjuk.
Perubahan ini tidak hanya mengubah peta politik, tetapi juga meredam dinamika sosial-keagamaan yang telah dibangun di Berbek selama masa pemerintahan Sosrokusumo I. Banyak peninggalan sejarah dan kebijakan berbasis kearifan lokal mulai tergeser oleh sistem pemerintahan kolonial yang semakin sentralistis.
Meskipun demikian, jejak sejarah Berbek sebagai pusat Islam tidak hilang begitu saja. Masjid Yoni Al-Mubarok tetap menjadi simbol ketahanan masyarakat dalam menjaga identitas budaya dan agama mereka. Hingga kini, masjid ini masih menjadi pusat aktivitas keislaman di Berbek, terutama saat bulan Ramadan, ketika spirit perjuangan dan keagamaan kembali hidup dalam setiap lantunan doa dan ayat suci yang dikumandangkan.
Warisan Sejarah yang Tetap Hidup
Ramadan 2025 di Masjid Yoni Al-Mubarok adalah gambaran nyata bagaimana sejarah tidak pernah benar-benar hilang. Setiap sujud dan doa yang dipanjatkan di masjid ini seakan menjadi penghubung antara masa lalu dan masa kini—mengingatkan bahwa dakwah dan perjuangan Islam di Berbek adalah bagian dari perjalanan panjang yang terus berlanjut.
Raden Tumenggung Sosrokusumo I mungkin telah tiada, tetapi warisannya tetap hidup dalam semangat masyarakat Berbek yang terus menjaga dan merawat jejak sejarah ini. Masjid Yoni Al-Mubarok bukan sekadar bangunan tua, tetapi sebuah monumen perjuangan yang mengajarkan bahwa iman, ilmu, dan keberanian adalah kunci untuk bertahan di tengah arus zaman.
Kini, saat bedug Magrib kembali bertalu, jamaah masjid duduk dalam hening. Ramadan di Berbek bukan sekadar ritual tahunan, tetapi juga sebuah pengingat akan sejarah panjang perjuangan, yang akan terus diceritakan dari generasi ke generasi.