Sebelum Mataram Runtuh: Raden Trunajaya Muda dan Proyek Rahasia Adipati Anom
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Nurlayla Ratri
21 - May - 2025, 11:30
JATIMTIMES - Di tengah lanskap politik Mataram abad ke-17 yang sarat konspirasi, ambisi, dan konflik kepentingan, muncul seorang bangsawan muda Madura bernama Raden Trunajaya. Lahir dalam keluarga bangsawan dengan garis keturunan keistimewaan tersendiri, Trunajaya mengalami masa kanak-kanak dan remaja yang dipenuhi pengalaman getir, penolakan sosial-politik, dan dinamika persekutuan yang kelak menjadikannya tokoh sentral pemberontakan besar melawan Kesultanan Mataram.
Artikel ini merangkum berbagai sumber untuk mengurai masa muda Raden Trunajaya dalam kerangka historiografi kritis, berlandaskan pada dokumen primer Belanda, catatan istana, dan cerita tutur Jawa.
Kerajaan Arosbaya: Asal-Usul Politik Raden Trunajaya
Baca Juga : Santunan Korban KA Malioboro Ekspres Disalurkan, Pemkab Magetan: Cegah Tragedi Serupa Terulang
Kerajaan Arosbaya merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Madura. Berdiri pada abad ke-15, kerajaan ini didirikan oleh Kiai Demang Plakaran, seorang bangsawan keturunan Prabu Brawijaya V melalui jalur Aria Damar, penguasa Palembang. Melalui garis keturunan ini, Arosbaya mewarisi trah Majapahit sekaligus menjadi pengusung awal Islam di Madura.
Putra Kiai Demang Plakaran yang paling berpengaruh adalah Kiai Pragalba, yang bergelar Pangeran Arosbaya. Ia memimpin perluasan dakwah Islam di Madura dengan dukungan para wali, termasuk Sunan Kudus. Kepemimpinan Pragalba kemudian dilanjutkan oleh putranya, Raden Pratanu, yang bergelar Panembahan Lemah Duwur—seorang raja progresif yang memindahkan pusat pemerintahan ke dataran tinggi Lemah Duwur dan membangun aliansi strategis dengan Kesultanan Pajang melalui pernikahannya dengan salah satu putri Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir).
Dari pernikahan ini lahirlah Raden Koro, yang kelak dikenal sebagai Pangeran Tengah, penguasa terakhir Arosbaya (1592–1624). Pangeran Tengah adalah ayah dari Raden Prasena, tokoh yang lebih dikenal dalam sejarah sebagai Cakraningrat I.
Cakraningrat I menurunkan sejumlah putra, salah satunya adalah Demang Malayakusuma, yang kemudian menjadi ayah dari Raden Trunajaya—pemimpin utama pemberontakan besar terhadap Kesultanan Mataram pada 1674–1680.
Dengan demikian, Raden Trunajaya merupakan keturunan langsung Panembahan Lemah Duwur, pewaris trah Majapahit, serta cucu politik Kesultanan Pajang. Akar ideologis dan politik Trunajaya terbentuk dari peristiwa tragis tahun 1624, ketika Kerajaan Arosbaya jatuh akibat invasi besar-besaran Sultan Agung dari Mataram. Dalam ekspedisi itu, sang kakek, Pangeran Tengah, kehilangan kekuasaan setelah pasukan Mataram di bawah komando Adipati Pragola dan Pangeran Sumedang menguasai Madura.
Trunajaya pun tumbuh sebagai pewaris dendam sejarah dan martabat kerajaan yang ditaklukkan. Kelak, ia bangkit sebagai simbol perlawanan terhadap hegemoni Mataram, didukung oleh elite Madura dan bekas pejabat Surabaya.
Babak Awal: Penolakan dan Intrik Politik
Ketika Trunajaya mencoba mengabdikan diri kepada Pangeran Adipati Anom—putra mahkota Kesultanan Mataram—harapan itu kandas di hadapan permainan licik politikus istana. Adipati Sampang, kerabat sekaligus rival pengaruh, telah lebih dahulu menyuap para mantri dan bahkan para pangeran istana untuk memotong akses Trunajaya.
Kesaksian ini dicatat secara eksplisit dalam sebuah surat Trunajaya yang kemudian menjadi dokumen penting: "Hamba mohon dengan sangat agar dapat diterima di dalam barisan pengabdi Sunan... tetapi jalan hamba ke sana dipotong oleh Adipati Sampang, karena ia telah menyuap semua mantri Mataram, bahkan putra-putra Sunan" (Djawa XX, hlm. 160).
Pengucilan ini memaksa Trunajaya menempuh jalan oposisi. Ia menjadi pengelana tanpa tujuan yang jelas, terlempar dari lingkaran kekuasaan dan kehilangan orientasi politik. Namun dari keterasingan ini justru lahirlah jalinan persekutuan penting yang akan mengubah sejarah Jawa.
Jalan hidup Trunajaya berubah drastis ketika diterima sebagai menantu oleh Panembahan Rama Kajoran—tokoh spiritual dan bangsawan terkemuka dari wilayah Kajoran. Pernikahan ini tercatat dalam arsip resmi istana oleh Jagapati Japara pada 15 Maret 1677 (K.A. No. 1218, hlm. 1634): "Kiai Kajoran beberapa tahun yang lalu memberikan salah seorang putrinya sebagai istri kepada Trunajaya." Meskipun kelak mereka bercerai, ikatan politik dan persahabatan antara Trunajaya dan mertua-nya tetap terjaga erat.
Speelman, Gubernur Jenderal VOC yang menjadi saksi konstelasi politik ini, mencatat bahwa pada tahun 1678 Panembahan Rama masih menjadi sekutu setia Trunajaya (Instruksi untuk Saint Martin, 23 Maret 1678). Cerita tutur Jawa bahkan menempatkan Trunajaya sebagai figur mesianik yang diyakini Kajoran akan "mengguncangkan seluruh Jawa".
Raden Kajoran Ambalik, mertua Trunajaya, bukan sosok biasa. Ia adalah ulama keturunan Sunan Tembayat sekaligus bangsawan berdarah biru. Ia bukan hanya keturunan ningrat, tetapi juga dikenal sebagai tokoh spiritual yang memiliki karisma dan keahlian dalam laku tapa.
Dalam catatan Daghregister VOC, Speelman menyebutnya "seorang pemburu iblis", "nabi kaum iblis"—label yang mengandung kekaguman sekaligus kekhawatiran kolonial terhadap karisma religiusnya. Penduduk setempat menyebutnya Panembahan Rama, gelar penuh hormat yang menandakan kedalaman spiritualitasnya.
Raden Kajoran adalah sosok penting dari kalangan elite ulama-bangsawan di lereng Gunung Merapi. Ia dikenal sebagai pertapa kharismatik sekaligus guru spiritual dari berbagai kalangan bangsawan dan pangeran. Trunajaya kemudian dinikahkan dengan putri Raden Kajoran, sebuah langkah strategis yang menandai integrasi antara darah Madura dengan spiritualitas Kajoran.
Menurut Babad Tanah Jawi (BP), Serat Kandha, dan Meinsma, Raden Kajoran sangat mencintai menantunya karena melihat dalam diri Trunajaya tanda-tanda "kresna" (takdir agung) untuk menjadi pahlawan besar yang akan mengguncang tatanan Jawa.
Dalam tafsir sufistik-politik Kajoran, kehancuran Mataram telah ditakdirkan oleh Yang Mahakuasa. Oleh karena itu, ia memperkenalkan Trunajaya kepada putra mahkota bukan hanya sebagai menantu, tetapi sebagai alat ilahi dalam transformasi sejarah.
Konspirasi 1670: Persekutuan dengan Putra Mahkota
Sumber-sumber Belanda, terutama arsip Jonge, mengindikasikan bahwa sekitar tahun 1670 telah terjalin komunikasi rahasia antara Raden Trunajaya dan Pangeran Adipati Anom. Dalam pernyataan kepada utusan Belanda bernama Piero pada 10 Februari 1677, Trunajaya menyebutkan bahwa sebelum pecahnya perang, ia telah mengadakan perjanjian dengan putra mahkota (Jonge, De Opkomst, VII, hlm. 160).
Dalam berbagai versi Babad, pertemuan antara Raden Mas Rahmat dan Trunajaya difasilitasi oleh Raden Kajoran pada tahun 1670. Pangeran Adipati Anom langsung menunjukkan simpati kepada Trunajaya dan bahkan menjanjikan akan mengangkatnya sebagai Tumenggung, jika kelak berhasil menguasai Madura.
Dalam Serat Kandha disebutkan bahwa putra mahkota bersedia menanggung semua biaya hidup, persenjataan, dan keperluan diplomatik Trunajaya. Dalam versi Meinsma, bahkan diperintahkan langsung untuk membekalinya dengan uang, pakaian, dan alat perang.
Trunajaya diperintahkan menuju Sampang, Madura, untuk mulai menggalang simpati dan mencegah rakyat menghadap langsung ke istana. Strategi ini bertujuan mengisolasi Adipati Cakraningrat II secara politik. Ia juga harus menggoyahkan pesisir utara Jawa dan menguasai pelabuhan-pelabuhan penting sebagai basis logistik kelak.
Dalam bayangan Raden Mas Rahmat, jika keadaan telah genting, maka Trunajaya akan diperintahkan menghancurkan Keraton Plered. Bahkan, menurut Babad Meinsma, jika Mataram runtuh, putra mahkota sendiri akan menyusul Trunajaya untuk memproklamirkan kekuasaan baru.
Lebih lanjut, Daghregister tanggal 12 Juni 1671 memuat berita dari Jepara mengenai desas-desus bahwa "Pangeran Madura, Pangeran Purbaya, atau salah seorang pembesar lainnya di istana Raja" telah merancang kudeta terhadap Raja. Tindakan tersebut diduga dilakukan sebagai tanggapan atas meningkatnya ketegangan antara putra mahkota dan sang raja, terutama setelah peristiwa berdarah tewasnya Wiramenggala dan pengangkatan Pangeran Singasari sebagai pejabat sementara di Surabaya.
Spekulasi mengenai isi perjanjian antara Trunajaya dan putra mahkota menjadi bahan perdebatan historiografi. Laporan Belanda menyebut bahwa dalam perjanjian tersebut, Trunajaya dijanjikan pemerintahan atas Madura dan sebagian besar wilayah pesisir timur Jawa. Suratnya kepada Tumenggung Suranata, tertanggal 9 Januari 1679, mempertegas klaim tersebut: "...memohon agar diperbolehkan memegang pemerintahan atas Madura menurut hak para leluhurnya" (Jonge, Opkomst, VII, hlm. 255).
Dalam sumber lain (Serat Kandha, hlm. 996), bahkan disebutkan bahwa Trunajaya dijanjikan kedudukan sebagai Tumenggung, dan ini menjadi alasan ia merasa berhak untuk menolak perintah kembali ke Madura. Kepada sekutu lamanya yang telah diangkat sebagai Sunan, ia menulis dari persembunyian di Malang: "perintah untuk kembali ke Madura tidak dapat dipatuhi karena nyata baginya telah mendengar sesuatu di hadapan Sri Baginda..." (Djawa XX, hlm. 30).
Bukti paling kuat bahwa persekutuan Trunajaya-Kajoran melampaui sekadar pemberontakan musiman adalah laporan dari Speelman yang mencatat telah terjadi pembagian wilayah kerajaan secara tertulis. Raden Trunajaya akan menguasai pesisir timur Lasem hingga Madura dan daerah pedalaman timur Majapahit, sementara Panembahan Kajoran akan menguasai wilayah sisanya (Jonge, Opkomst, VI, hlm. 198).
Baca Juga : Pembeli Perumahan Grand Mutiara Kedungrejo Rugi Miliaran Akibat Pembangunan Mangkrak
Dari sini jelas terlihat bahwa Trunajaya dan sekutunya tidak hanya berniat menggulingkan kekuasaan Mataram, tetapi juga berambisi membangun struktur politik baru. Bagi Trunajaya, ini bukan lagi sekadar pemberontakan, melainkan realisasi dari proyek politik yang kompleks, lahir dari luka pengucilan dan persekongkolan panjang dengan elemen penting dalam istana.
Trunajaya: Api Pemberontakan dari Madura dan Akhir Tragis Seorang Pahlawan
Menantu dan murid dari Raden Kajoran, seorang ulama karismatik dari lereng Merapi, Trunajaya tidak sendiri dalam perjuangan. Ia menyusun kekuatan revolusioner, menyatukan sentimen keagamaan, nasionalisme lokal, dan kemarahan terhadap dominasi VOC. Trunajaya dan Kajoran menyadari bahwa Mataram tidak lagi mewakili rakyat Jawa—melainkan menjadi alat kekuasaan kolonial.
Pemberontakan pun meledak pada 1674. Dengan dukungan pasukan Madura dan milisi Makassar pimpinan Karaeng Galesong, Trunajaya melancarkan serangan masif ke wilayah-wilayah pesisir utara Jawa. Kota-kota penting seperti Surabaya, Gresik, dan sebagian pesisir Jepara jatuh ke tangannya. Trunajaya kemudian memproklamirkan diri sebagai Panembahan Maduretno—sebuah gelar yang mengafirmasi kedaulatannya sebagai raja tandingan Mataram.
Kekuasaan barunya berbasis pada koalisi luas antara bangsawan lokal, ulama, dan kelompok anti-Mataram. Ia bukan sekadar pemberontak: ia adalah alternatif. Dalam beberapa catatan Belanda, pemerintahan Trunajaya bahkan dinilai lebih stabil dan mendapat dukungan rakyat pesisir yang muak pada tekanan pajak dan korupsi birokrasi Mataram.
Dalam catatan Daghregister tanggal 20 April 1675, tercantum laporan penting dari seorang utusan VOC bernama Piero yang mengubah cara kita memandang awal mula Perang Trunajaya. Menurut Piero, pada 10 Februari 1675, Raden Trunajaya – yang saat itu telah mengangkat dirinya sebagai Panembahan – secara terbuka mengaku pernah menjalin perjanjian rahasia dengan Pangeran Adipati Anom, putra mahkota sekaligus putra sulung Sultan Amangkurat I dari Mataram.
Perjanjian ini, menurut tafsir para sejarawan Belanda dan diperkuat oleh kajian arsip kolonial, kemungkinan besar terjadi sekitar tahun 1670 atau 1671, yakni ketika hubungan antara ayah dan anak di istana Mataram mencapai titik nadir.
Peristiwa ini menandai tonggak awal terbentuknya koalisi oposisi terhadap tahta Amangkurat I, koalisi yang di kemudian hari mengguncang fondasi kekuasaan Mataram. Namun, menurut laporan yang sama, perjanjian itu tidak pernah ditunaikan oleh Adipati Anom.
Diduga kuat, sang pangeran – yang kala itu tengah memainkan politik dua muka di balik tembok istana Plered – memilih untuk berdamai kembali dengan ayahandanya. Keputusan ini tampaknya diambil setelah gelombang serangan pertama yang dilancarkan oleh pasukan eksil Makassar terhadap Gresik dan Surabaya menemui kegagalan pada awal tahun 1675.
Serangan yang dipimpin oleh para pengungsi bangsawan Makassar pasca-pemberontakan Goa ini gagal merebut pelabuhan-pelabuhan strategis di pesisir utara Jawa, sehingga memperlemah posisi tawar faksi pemberontak di mata para pangeran istana.
Namun Trunajaya, yang telah terlanjur menyusun skenario perlawanan, tidak tinggal diam. Ia bergerak cepat memperkuat aliansi politik-militernya dengan cara yang khas elite bangsawan: melalui perkawinan dinasti. Ia menikahkan keponakannya – seorang putri berdarah bangsawan Madura – kepada Karaeng Galesong, salah seorang pemimpin pasukan eksil Makassar yang terkenal berani dan berambisi.
Pernikahan ini tidak semata-mata simbol kesetiaan, tetapi sebuah kontrak strategis. Dalam ikatan darah itu, Galesong diberi misi jelas: menaklukkan Gresik dan Surabaya untuk kepentingan Trunajaya.
Strategi ini terbukti matang dan terencana. Dari perkawinan tersebut lahirlah seorang anak pada Januari 1677, yang menandakan bahwa perjanjian pernikahan itu sudah terjalin setidaknya sejak akhir 1675. Artinya, persiapan militer dan politik untuk menggulingkan Mataram telah berlangsung secara sistematis, jauh sebelum letupan besar pecah pada tahun 1676.
Fakta ini menggugurkan anggapan lama bahwa pemberontakan Trunajaya merupakan gerakan spontan atau emosi sesaat akibat konflik lokal. Sebaliknya, ini adalah konspirasi tingkat tinggi, dirancang sejak dini oleh seorang bangsawan muda Madura yang cerdik dan seorang pangeran pewaris tahta yang kecewa terhadap monarki tiranik ayahnya.
Lebih dari itu, jika kita menempatkan fakta-fakta ini dalam konteks yang lebih luas, maka terlihatlah bahwa kekacauan yang akan mengguncang Mataram bukanlah kehendak dewa semata, melainkan hasil dari kalkulasi politik dingin dan aliansi rahasia yang gagal ditepati. Dengan demikian, sebelum Mataram benar-benar runtuh, baranya telah lama dikumpulkan di tangan dua pemuda ambisius: Raden Trunajaya dan Adipati Anom – yang masing-masing melihat kehancuran sebagai pintu menuju kejayaan pribadi.
Posisi Trunajaya yang semakin kuat mendorong Amangkurat I ke jurang krisis. Dalam kepanikan, ia melarikan diri dari istana dan wafat dalam pelarian tahun 1677. Tak lama kemudian, Adipati Anom naik takhta sebagai Amangkurat II dan mencari jalan penyelamatan. Dalam keadaan genting, ia menandatangani Perjanjian Jepara dengan VOC. Sebagai imbalan bantuan militer, ia menyerahkan wilayah-wilayah pesisir—dari Cirebon hingga Surabaya—kepada Belanda.
VOC pun turun tangan. Mereka tak hanya mengirimkan tentara bersenjata modern, tetapi juga menerapkan taktik pengepungan, sabotase logistik, dan pembunuhan target. Kolaborasi antara Mataram dan VOC ini menandai awal kekalahan Trunajaya. Namun, perang tidak berlangsung mudah. Di berbagai tempat seperti Mojokerto, Kediri, dan Gunung Kelud, pasukan Trunajaya memberikan perlawanan sengit.
Puncak perlawanan terjadi di Bukit Selokurung, lereng barat daya Gunung Kelud. Di sinilah benteng terakhir Trunajaya bertahan. VOC yang dipimpin Kapitan Francois Tack mengepung kawasan ini dengan bantuan pasukan Mataram. Meski pertahanan Trunajaya legendaris—berdasarkan taktik gerilya dan pengetahuan medan—akhirnya ia tertangkap pada 27 Desember 1679.
Ia dibawa sebagai tawanan ke Payak, Bantul, lalu dihadapkan langsung pada Amangkurat II. Apa yang terjadi setelah itu bukanlah pengadilan atau penyelesaian politik, melainkan eksekusi balas dendam yang mencerminkan wajah sejati kekuasaan feodal.
Tanggal 2 Januari 1680 menjadi hari kelam dalam sejarah politik Jawa. Di hadapan para bangsawan dan pejabat istana, Amangkurat II sendiri mengambil keris Kyai Balabar dan menikam Trunajaya hingga tembus punggung. Tidak berhenti di sana, tubuh Trunajaya dipenggal, hatinya diambil dan—menurut kisah yang diwariskan turun-temurun—dimakan mentah oleh pejabat istana. Kepalanya dipakai sebagai keset kaki para abdi dalem, lalu ditumbuk dalam lumpang batu hingga hancur.
Ini bukan hanya kematian. Ini adalah upaya penghapusan simbol. Kekejaman itu dimaksudkan sebagai teror terhadap siapa pun yang berniat menentang kekuasaan absolut. Namun, bukannya memadamkan semangat rakyat, kekejaman ini justru membentuk legenda abadi: Trunojoyo sebagai martir.
Setelah eksekusi, keberadaan jasad Trunajaya menjadi misteri. Tidak ada catatan resmi mengenai lokasi pemakamannya. Beberapa menyebut jasadnya dibuang di sungai, lainnya meyakini bahwa para pengikut setianya berhasil menyelundupkan jenazah dan menguburkannya secara layak di suatu tempat rahasia.
Ketidakpastian ini melahirkan mitos. Hingga kini, tidak ada makam yang diakui sebagai persemayaman terakhir Trunajaya. Namun, justru dalam ketidaktahuan itu, Trunajaya hidup abadi dalam memori kolektif masyarakat Jawa dan Madura. Ia bukan lagi sekadar tokoh sejarah—ia menjadi lambang perlawanan terhadap kekuasaan yang sewenang-wenang, kolonialisme, dan pengkhianatan elite terhadap rakyat.
Begitulah Trunajaya: bukan akhir, melainkan awal dari bab yang terus ditulis dengan darah dan keberanian. Ia adalah sejarah yang berjalan dengan kepala tegak, meski tanpa kepala. Sebab meski raga Trunajaya lenyap ditelan bumi, suaranya masih bergema di antara angin lereng Kelud dan debur pantai Sampang: “Raja bisa membunuhku, tapi tak bisa membungkam kebenaran.”
Dan sejarah, seperti langit Madura yang merah saat senja, akan selalu mengingatnya.