Jatim Times Network Logo
Poling Pilkada 2024 Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Poling Pilkada 2024
Agama

Salim: Nama yang Menggema dari Medan Perang hingga Istana Khalifah

Penulis : Anggara Sudiongko - Editor : Nurlayla Ratri

09 - Oct - 2025, 10:18

Placeholder
Ilustrasi nama Salim yang juga sempat membuat Khalifah cemburu (ist)

JATIMTIMES - Dalam lintasan sejarah Islam, ada satu nama yang terus berulang seolah menandai jejak kemuliaan di setiap zaman, yakni Salim. Dari seorang mantan budak di masa Rasulullah SAW hingga seorang khalifah penakluk dua benua, nama itu terpatri dalam kisah iman, ilmu, dan keagungan hati.

Kisah pertama datang dari masa para sahabat Nabi. Dialah Salim Maula Abu Hudzaifah, mantan hamba sahaya yang dibebaskan oleh tuannya sendiri, Abu Hudzaifah, lalu diangkat menjadi saudaranya. Ia bukan berasal dari keturunan bangsawan, namun keberaniannya menghafal dan menjaga Al-Qur’an membuatnya dihormati di antara para sahabat besar.

Baca Juga : Sahara Jalani Pemeriksaan 6 Jam Atas Laporan Dugaan Pencemaran Nama Baik

Rasulullah SAW bersabda, “Ambillah Al-Qur’an dari empat orang: Abdullah ibn Mas’ud, Salim Maula Abu Hudzaifah, Ubay ibn Ka’b, dan Mu’adz ibn Jabal.” Ucapan itu menjadi kehormatan abadi bagi Salim, hingga Umar bin Khattab berkata, seandainya Salim masih hidup, dialah yang akan ditunjuk sebagai khalifah sepeninggalnya.

Dalam Perang Yamamah, Salim berjuang bersama tuannya yang ia cintai. Saat barisan Muslim hampir goyah, Salim berkata dengan lirih, “Celaka aku bila menjadi penjaga Al-Qur’an namun membiarkan kaum Muslim kalah.” Abu Hudzaifah menatapnya dan menjawab, “Tidak, wahai Salim. Engkau sebaik-baik pemikul Al-Qur’an.” Mereka pun maju bersama, bertempur hingga akhir. Dua sahabat dalam hidup, dua syuhada dalam kematian, disatukan dalam satu liang, dibalut iman yang tak goyah.

Beberapa generasi kemudian, nama Salim kembali berkilau di Madinah. Ia adalah Salim bin Abdullah bin Umar bin Khattab, cucu dari Umar sang khalifah agung. Darah keturunan Persia mengalir dari ibunya, salah satu putri Kisra yang memeluk Islam. Dari garis keturunan inilah lahir tiga ulama besar Madinah: Al-Qasim bin Muhammad, Ali Zainal Abidin bin Husain, dan Salim bin Abdullah sendiri, mereka tiga sepupu yang menjadi poros ilmu dan cahaya zaman.

Salim bin Abdullah tumbuh sebagai ulama yang zuhud, tajam, dan berani menegur penguasa zalim. Ia mendidik murid-murid yang kelak mengguncang sejarah, di antaranya Umar bin Abdul Aziz, sang khalifah adil yang memantulkan kembali sinar masa Nabi.

Suatu hari, di Multazam, dekat Ka’bah, Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik menemuinya dan berkata, “Mintalah sesuatu, wahai Salim.” Tapi dengan tenang Salim menjawab, “Aku malu meminta kepada selain Allah di rumah-Nya.” Setelah mereka keluar dari Masjidil Haram, sang khalifah mengulang permintaannya. “Sampaikanlah hajatmu,” ujarnya. Salim menatapnya lembut, “Jika engkau hanya mampu memenuhi urusan dunia, bagaimana aku meminta kepadamu sesuatu yang bahkan tidak kuminta kepada Pemilik dunia?”

Kata-kata itu jatuh seperti anak panah lembut yang menembus dada seorang penguasa. Salim tak menunduk pada kekuasaan, karena hatinya hanya tunduk pada Allah. Dan ketika akhirnya ia wafat di Madinah, ribuan orang datang mengiringi jenazahnya. Suasana duka itu begitu menggetarkan, hingga kabar sampai ke telinga Khalifah Hisyam bin Abdul Malik.

Hisyam disebut merasa cemburu, bukan karena harta, bukan karena kekuasaan, tapi karena cinta umat kepada seorang alim yang tak punya istana, tak punya jabatan. Ia iri pada penghormatan yang bahkan tak bisa dibeli oleh kekuasaan. Cemburu kepada jenazah yang tak lagi bernapas, tapi hidup dalam doa orang banyak. Sebuah pengakuan diam-diam dari seorang khalifah bahwa kemuliaan sejati tidak pernah lahir dari tahta, melainkan dari hati yang ikhlas.

Baca Juga : Kembang Arum Membara: Mangkunegara II Pimpin Serangan atas Pasukan Diponegoro

Berabad-abad kemudian, nama Salim kembali berdentum di Istanbul. Salim I, putra Bayazid dan cucu dari penakluk Konstantinopel, Muhammad Al-Fatih, memegang tampuk kekuasaan sebagai khalifah pertama Daulah Utsmani. Di tangannya, kekuasaan Islam meluas dari dua setengah juta menjadi enam setengah juta kilometer persegi. Ia menundukkan Tabriz, Armenia, Mesir, dan Syam, lalu membawa pusaka Rasulullah SAW dari Kairo ke Istanbul berupa pedang, jubah, sorban, hingga rambut beliau. Dengan itu, ia menerima gelar Khalifatullah wa Zhilluhu fil Ardhi, Khalifah Allah dan bayangan-Nya di bumi.

Namun sejarah mencatat, meski Salim I memegang kekuasaan atas dua benua dan dua samudera, kemuliaannya tetap tak menandingi kejernihan hati Salim bin Abdullah yang dimakamkan tanpa mahkota. Karena yang satu menguasai dunia, sedangkan yang lain menaklukkan dirinya sendiri.

Dari tiga Salim yang terukir di sejarah syuhada, alim, dan khalifah, semuanya menyatu dalam pesan yang sama: bahwa kemuliaan bukanlah tentang berapa luas wilayah yang kau genggam, tetapi seberapa luas hatimu dalam berjuang di jalan Allah.

Kisah ini sendiri diriwayatkan dalam beberapa kitab sejarah Islam klasik, di antaranya Târîkh al-Tabari dan Al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibn Katsir.


Topik

Agama kisah teladan sahabat nabi salim riwayat sahih



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Tulungagung Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Anggara Sudiongko

Editor

Nurlayla Ratri