Jatim Times Network Logo
Poling Pilkada 2024 Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Poling Pilkada 2024
Ruang Sastra

Kembang Arum Membara: Mangkunegara II Pimpin Serangan atas Pasukan Diponegoro

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Nurlayla Ratri

09 - Oct - 2025, 10:10

Placeholder
Lukisan realis Mangkunegara II dalam balutan seragam komandan tertinggi Legiun Mangkunegaran. (Foto: AI created by JatimTIMES)

JATIMTIMES - Perang Jawa (1825–1830) adalah titik balik dalam sejarah Jawa modern. Konflik ini, yang meletus pada bulan Juli 1825 di Yogyakarta, berkembang menjadi perang rakyat terbesar yang pernah terjadi di tanah Jawa melawan kolonial Belanda. Dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, perang tersebut menyatukan ulama, santri, petani, dan bangsawan muda dalam visi jihad fi sabilillah, melawan penindasan politik, ekonomi, dan intervensi budaya Barat.

Namun, seperti umumnya sejarah Jawa yang penuh dengan paradoks, perlawanan rakyat ini tidak sepenuhnya didukung oleh elite politik Jawa. Sebagian bangsawan justru berdiri di sisi lawan, termasuk Mangkunegara II, penguasa Kadipaten Mangkunegaran di Surakarta. Dalam sebuah ironi sejarah, penerus langsung garis perjuangan Raden Mas Said, Pangeran Sambernyawa yang terkenal sebagai musuh besar VOC pada abad ke-18, justru menjadi sekutu Belanda dalam menumpas perlawanan Diponegoro.

Baca Juga : Berapa Hari Lagi 2026? Ini Hitungan Mundur dan Tips Menyusun Liburan Akhir Tahun

Salah satu episode penting yang menegaskan posisi ini adalah Pertempuran Kembang Arum pada 27 Mei 1826. Dalam peristiwa ini, Mangkunegara II turun langsung memimpin Legiun Mangkunegaran, bahu-membahu dengan kolonial Belanda, menyerang benteng pertahanan laskar Diponegoro di kaki Gunung Merapi.

Latar Belakang: Pecahnya Barisan Diponegoro

Pada paruh pertama Mei 1826, Jenderal Hendrik Merkus de Kock, komandan militer Belanda di Jawa, menerima laporan dari pos Candi, antara Yogyakarta dan Magelang. Laporan itu menyebutkan bahwa Diponegoro marah karena beberapa tetua yang ia pilih tidak sepenuhnya sejalan dengan Kyai Mojo, pemimpin spiritual perlawanan. Perbedaan strategi antara Diponegoro dan sebagian ulama ini menyebabkan perpecahan di tubuh perlawanan.

Menurut laporan, “buat mereka adalah hal yang terbaik apabila mereka semua tidak berdiri pada satu titik.” Artinya, terjadi pemencaran pasukan: sebagian ulama bergerak ke arah Magelang, Diponegoro menuju Kembang Arum, sementara beberapa kepala pemberontak lain bergerak ke selatan, ke Imogiri.

Dengan demikian, posisi perlawanan pecah ke beberapa arah. Hal ini segera dimanfaatkan oleh Belanda dan sekutunya.

Perang

Kembang Arum: Benteng di Lereng Merapi

Kembang Arum, sebuah desa di kaki Gunung Merapi, terletak di antara Bedoyo dan jalan besar Yogyakarta–Magelang. Desa ini menjadi salah satu benteng utama Diponegoro karena letaknya strategis dan memiliki pertahanan alami. Tebing curam, pepohonan rimbun, serta jalan masuk yang sempit, menjadikan Kembang Arum hampir mustahil ditembus tanpa korban besar.

Diponegoro menempatkan sekitar 800 laskar di Desa Sempu, sebelah barat daya Bedoyo, untuk memperkuat pertahanan Kembang Arum. Barisan itu dilengkapi pagar kayu runcing, parit pertahanan, dan jebakan alamiah.

Namun, pada 21 Mei 1826, pasukan Mangkunegaran berhasil mengusir mereka dari Sempu. Tujuh laskar Diponegoro tewas, dan Sempu diduduki oleh Legiun Mangkunegaran. Kendati demikian, Mangkunegara II tidak berani langsung menyerbu Kembang Arum. Ia tahu betapa kuatnya pertahanan musuh di sana.

Diponegoro

Strategi Kolonial: Kolone Gey dan Mangkunegara II

Untuk mematahkan benteng Kembang Arum, Belanda mengirim Letnan-Kolonel Gey dengan sebuah kolone militer yang terdiri atas 225 infanteri bersenjata api, 50 penombak, 40 pionir, 40 kavaleri, serta diperkuat dengan dua meriam dan dua mortir tangan.

 Pada 26 Mei, kolone Gey bergerak dari Yogyakarta menuju Pisangan dan bermalam di sana. Sementara itu, Mangkunegara II telah lebih dahulu diberitahu tentang rencana serangan dan bersiap bergerak dari arah timur, sehingga pasukan Diponegoro akan terkepung dari dua sisi.

MN II

Pertempuran 27 Mei 1826

Pagi hari 27 Mei, kolone Gey berangkat dari Pisangan melalui jalan Candi, lalu mengambil jalan tikus menuju Kembang Arum dari sisi barat. Pukul delapan pagi, mereka tiba di dataran tinggi barat desa. Dari sana tampak barikade: pagar kayu runcing, pepohonan ditebang, parit dengan penembak bersiaga.

Pada saat yang sama, Mangkunegara II memimpin pasukannya dari timur. Mereka sempat diadang, namun berhasil memukul mundur laskar Diponegoro. Musuh yang melarikan diri ke arah utara justru bertabrakan dengan kolone Gey. Mayor Jonkheer Van der Wijck segera mengirim kavaleri untuk mengejar mereka, lalu bergabung dengan pasukan Mangkunegara II.

Teriakan musuh menggema, memberi tanda bahaya kepada kawanan mereka di dalam desa. Dentuman meriam dibalas dari arah barat, tetapi tak mampu menembus barikade. Justru, pertahanan di timur semakin kuat karena pasukan Diponegoro terkonsentrasi di sana.

Sementara itu, detasemen Pangeran Soeriadiningrat, diperkuat 150 senapan dan dua mortir, bergerak dari sisi barat bersama Letnan Dua Sikkes dan Von Schmidt. Mereka gagal menemukan celah, lalu kembali bersatu dengan pasukan Mangkunegara di timur.

Serangan utama dipimpin Mayor Van der Wijck. Setelah satu jam bombardemen, pionir membuka ruang, lalu infanteri menyerbu pagar desa. Mangkunegara II berada di garis depan, bersama perwira Belanda dan pribumi, memimpin serangan jarak dekat.

Perang Jawa

Pertempuran sengit berlangsung hingga akhirnya barisan Diponegoro pecah. Laskar melarikan diri ke segala arah dan dikejar oleh kavaleri Belanda serta pasukan Mangkunegaran. Dari senjata-senjata yang tertinggal, sebagian di antaranya berhias sebagai tanda milik para kepala daerah, dapat disimpulkan bahwa banyak pemimpin lokal gugur dalam pertempuran itu.

Kerugian Belanda relatif kecil: tiga tewas, dua luka. Kembang Arum pun jatuh ke tangan sekutu Belanda–Mangkunegara II.

Diponegoro di Deksa: Komandan yang Tidak Turun Tangan Langsung

Baca Juga : Kalender Jawa Kamis Wage 9 Oktober 2025: Watak, Rezeki, Jodoh, dan Pekerjaan

Perlu dicatat, Diponegoro tidak hadir langsung di Kembang Arum. Ia saat itu berada di Desa Deksa, tidak jauh dari medan perang. Strateginya jelas: ia jarang menempatkan diri di benteng utama. Sebagai komandan tertinggi, ia lebih sering menjaga jarak untuk menghindari risiko tertangkap, sembari mengatur strategi besar.

Ini berbeda dengan Mangkunegara II yang justru turun langsung ke medan perang, memimpin legiunnya. Kontras ini mencerminkan dua paradigma: Diponegoro sebagai pemimpin spiritual-militer yang menjaga diri demi keberlangsungan gerakan, Mangkunegara II sebagai panglima feodal yang mempertaruhkan wibawa dengan memimpin pasukan sekutu Belanda.

Perbedaan sikap di medan perang ini membuka pertanyaan lebih luas tentang posisi politik Mangkunegara II: tindakan militernya yang nyata di lapangan mencerminkan pilihan strategis yang berakar pada sejarah dan garis keturunan kadipaten, yang kelak menjelaskan mengapa Mangkunegaran mengambil posisi sebagai sekutu Belanda.

Diponegoro

Perang Jawa: Pertempuran Dua Keturunan Amangkurat IV

Pertempuran Kembang Arum bukan sekadar peristiwa militer dalam Perang Jawa (1825–1830), tetapi juga membuka paradoks besar dalam sejarah politik Jawa: mengapa Mangkunegaran, pewaris langsung Dinasti Mataram yang identik dengan perlawanan, justru memihak Belanda? Paradoks ini hanya dapat dipahami dengan menelisik warisan historis, genealogis, dan politik yang membentuk keputusan Mangkunegara II.

Mangkunegara II lahir pada 5 Januari 1768 dengan nama Raden Mas Sulama. Ia merupakan cucu Mangkunegara I, Pangeran Sambernyawa, dan putra Pangeran Arya Prabumijaya I. Ibunya, Kanjeng Ratu Alit, adalah putri Susuhunan Pakubuwono III dari Surakarta, sehingga Mangkunegara II mewarisi garis keturunan kedua cabang penting Mataram. Pangeran Sambernyawa sendiri adalah putra Pangeran Arya Mangkunegara, yang lahir dari Sunan Amangkurat IV dan Mas Ayu Wulan, putri Pangeran Blitar. Dengan demikian, Mangkunegara II adalah pewaris langsung darah perjuangan Sambernyawa, simbol perlawanan terhadap VOC antara 1740 dan 1757.

Sementara itu, Diponegoro lahir di Yogyakarta pada 11 November 1785 dengan nama Raden Mas Ontowiryo. Ia merupakan putra Gusti Raden Mas Suraja, yang kelak naik tahta dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono III, dan ibu selirnya, Raden Ayu Mangkarawati, asal Pacitan. Hamengkubuwono III sendiri adalah putra Hamengkubuwono II, yang merupakan putra Hamengkubuwono I (Pangeran Mangkubumi), yang lahir dari Sunan Amangkurat IV dan Mas Ayu Tejawati. Dengan demikian, Diponegoro menuruni garis Amangkurat IV melalui cabang Hamengkubuwono, berbeda dengan jalur Mangkunegara II, tetapi tetap menunjukkan akar genealogis Mataram yang sama.Dengan demikian, Mangkunegara II dan Diponegoro adalah sepupu jauh generasi kedua, keduanya menuruni Amangkurat IV melalui cabang yang berbeda, dan lahir dalam lingkungan istana yang sarat intrik politik, nilai spiritual, dan memori dendam sejarah.

Warisan Sambernyawa membentuk dilema moral dan politik bagi Mangkunegara II. Mangkunegara I, meskipun legendaris sebagai pejuang anti VOC, memilih kompromi melalui Perjanjian Salatiga 1757 dan mendirikan Kadipaten Mangkunegaran yang diakui Belanda. Uniknya, leluhur Mangkunegara II dan Diponegoro, Pangeran Sambernyawa dan Pangeran Mangkubumi, adalah tokoh utama Perang Suksesi Jawa III, memimpin perang panjang melawan VOC dan Kasunanan Surakarta, yang kemudian melahirkan Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Mangkunegaran. Dengan berdirinya kadipaten ini, penerusnya menghadapi pilihan sulit. Bergabung dengan Diponegoro berarti mempertaruhkan legitimasi dan eksistensi kadipaten, sedangkan memihak Belanda menjamin stabilitas politik, meskipun bertentangan dengan warisan simbolik Sambernyawa.

Legiun Mangkunegaran, yang dibentuk sejak 1808 sebagai pasukan modern bergaya Eropa, menjadi instrumen militer terintegrasi ke dalam sistem kolonial. Saat Kembang Arum, Mangkunegara II mengkoordinasikan pasukan dari arah timur, bekerja sama dengan kolone Belanda di bawah Letnan-Kolonel Gey. Pasukan gabungan ini berhasil mengepung dan memukul mundur laskar Diponegoro, menunjukkan efektivitas kolaborasi kolonial sekaligus kemampuan strategi militer Mangkunegara II.

Mangkunegara II

Paradoks ini sebagai simbol perlawanan yang kemudian menjadi sekutu kolonial menjadi ilustrasi nyata bagaimana faktor genealogis, warisan sejarah, dan tekanan kolonial membentuk pilihan politik penguasa Jawa. Pertempuran Kembang Arum memperlihatkan bahwa aliansi dan loyalitas sering kali ditentukan oleh kebutuhan praktis untuk bertahan hidup politik, meskipun bertentangan dengan memori simbolik yang melekat di garis keturunan kerajaan. Genealogi yang menautkan Mangkunegara II dan Diponegoro hingga Sunan Amangkurat IV menegaskan bahwa sejarah Jawa tidak hanya soal pertempuran, tetapi juga soal pewarisan politik, simbolisme, dan strategi keluarga kerajaan dalam menghadapi kolonialisme.

Bagi Diponegoro, perang adalah perang suci melawan penjajahan dan ketidakadilan. Ia melihat dirinya sebagai Ratu Adil, pemimpin yang ditunjuk Tuhan untuk membebaskan Jawa. Dukungan Kyai Maja dan para ulama memperkuat aura spiritual perlawanan.

Namun, bagi bangsawan seperti Mangkunegara II, realitas politik berbeda. Ia melihat persekutuan dengan Belanda sebagai cara mempertahankan kekuasaan. Ideologi jihad Diponegoro berbenturan dengan pragmatisme feodal.

Dari sinilah terlihat bahwa Perang Jawa bukan sekadar “rakyat melawan Belanda,” melainkan juga perang ideologi di dalam tubuh Jawa sendiri: antara spiritualitas rakyat dengan kepentingan elite, antara cita-cita kemerdekaan dengan realitas kompromi kolonial.

Catatan Akhir: Tragedi Perpecahan Jawa

Pertempuran Kembang Arum menandai fase penting dalam Perang Jawa. Secara militer, peristiwa ini merupakan kemenangan Belanda beserta sekutu Jawa mereka. Secara politik, pertempuran ini menegaskan perpecahan internal Jawa, di mana dua bangsawan keturunan Mataram, Diponegoro dan Mangkunegara II, berdiri di kubu yang berlawanan.

Kemenangan di Kembang Arum tidak memadamkan perlawanan Diponegoro. Api jihad terus berkobar di berbagai daerah, dari Imogiri hingga Bagelen. Namun peristiwa ini menunjukkan salah satu wajah paling getir dari Perang Jawa: sesama putra Mataram saling berhadapan, bukan karena perbedaan darah, melainkan karena perbedaan pilihan politik dan ideologi.

Solo

Kembang Arum tercatat dalam sejarah sebagai benteng yang membara, bukan hanya oleh mesiu dan darah, tetapi juga oleh dilema sejarah bangsa Jawa, antara perlawanan dan kolaborasi, antara idealisme dan pragmatisme.


Topik

Ruang Sastra kembang arum diponegoro perang jawa



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Tulungagung Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Nurlayla Ratri