Jatim Times Network Logo
Poling Pilkada 2024 Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Poling Pilkada 2024
Serba Serbi

Pangeran Harya Balitar: Bupati Madiun di Masa Perang Takhta Kartasura

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

20 - Sep - 2025, 08:44

Placeholder
Lukisan realis: Susuhunan Pakubuwana I, Raja Mataram Kartasura (1704–1719). (Foto: created by JatimTIMES)

JATIMTIMES - Awal abad ke-18 di Jawa ditandai oleh krisis suksesi yang mengguncang Keraton Kartasura. Perang Suksesi Jawa I (1704–1708) bukan sekadar perebutan tahta, melainkan pertempuran ideologi, jaringan politik, dan dendam sejarah yang diwariskan sejak masa Amangkurat I. Dalam pusaran konflik inilah muncul sosok Pangeran Harya Balitar, seorang bangsawan yang diangkat menjadi Bupati Madiun pada saat genting. 

Peranannya, meski singkat (1704–1709), merefleksikan dinamika politik lokal yang bersinggungan dengan strategi global VOC, intrik keluarga raja, serta perlawanan rakyat yang dipimpin tokoh karismatik seperti Untung Surapati.

Baca Juga : Shell, Raksasa Minyak Dunia yang Terseok-seok di Indonesia

Latar Belakang: Dari Kartasura ke Madiun

Sejak Amangkurat II wafat pada 1703, tahta Kartasura jatuh kepada putranya, Amangkurat III. Namun, posisi raja baru ini segera digugat oleh pamannya, Pangeran Puger. Intrik itu menjadi pemicu perang panjang. Amangkurat III mewarisi trauma politik ayahnya, khususnya perseteruan dengan VOC akibat terbunuhnya Kapten François Tack di Kartasura (1686). VOC, yang semula menjadi sekutu Mataram, kini justru berbalik arah dan mendukung Pangeran Puger. Pada 1704–1705, situasi menjadi titik balik: VOC secara terbuka mengakui Puger sebagai raja dengan gelar Pakubuwana I.

Dalam dinamika itu, Madiun menempati posisi strategis. Wilayah ini menjadi simpul penting jalur penghubung antara pedalaman Jawa—Kartasura, Ponorogo, Kediri—dengan pesisir utara seperti Surabaya dan Pasuruan. Ketika Raden Ayu Puger, yang kelak bergelar Kanjeng Ratu Mas Blitar, permaisuri Pangeran Puger, berpindah ke Kartasura, jabatan Bupati Madiun diserahkan kepada saudaranya, Pangeran Harya Balitar. Penunjukan ini bukan semata-mata urusan administratif, melainkan keputusan politik yang mengukuhkan loyalitas Madiun di bawah kekuasaan baru Pakubuwana I.

Raden Ayu Puger dan Pangeran Harya Balitar berasal dari satu garis darah yang sama: trah Dinasti Arya Blitar, keturunan Panembahan Senapati dan Ratu Retna Dumilah. Dalam silsilahnya, mereka merupakan cucu dari Kanjeng Ratu Mas Hadi—putri Pangeran Benawa yang menghubungkan darah Mataram, Pajang, dan Sunan Kalijaga.

Panembahan Juminah

Kanjeng Ratu Mas Hadi mula-mula menikah dengan Panembahan Hanyakrawati, raja kedua Kesultanan Mataram, dan dari pernikahan ini lahirlah Sultan Agung Hanyakrakusuma. Setelah suaminya wafat, ia kemudian dipersunting oleh adik iparnya, Pangeran Juminah yang kelak bergelar Panembahan Juminah. 

Dari perkawinan kedua inilah lahir Pangeran Adipati Balitar, leluhur langsung Dinasti Balitar di Madiun. Dari garis Pangeran Adipati Balitar inilah kemudian muncul Pangeran Tumenggung Balitar Tumapel III yang dimakamkan di Kuncen, Kota Madiun. Ia menurunkan dua tokoh penting, yakni Pangeran Harya Balitar IV dan Ratu Mas Blitar, yang dimakamkan di Astana Nitikan, Yogyakarta.

 Ratu Mas Blitar, permaisuri Pangeran Puger bergelar Pakubuwana I, dan Pangeran Harya Balitar (Arya Balitar IV) yang kelak dipercaya memegang kendali Madiun, keduanya bersaudara kandung. Dari pernikahan Ratu Mas Blitar dengan Sunan Pakubuwana I lahirlah tokoh-tokoh sentral dalam sejarah Mataram abad ke-18, yakni Sunan Amangkurat IV, Pangeran Arya Blitar (nama asli Raden Mas Sudomo), dan Panembahan Purbaya.

Dengan demikian, jabatan Bupati Madiun yang diserahkan kepada Pangeran Harya Balitar bukan sekadar bentuk pengisian posisi kosong, melainkan sebuah langkah politik strategis. Madiun ditempatkan di bawah kendali langsung keluarga inti kerajaan, yang memiliki hubungan darah dengan raja dan akar genealogis yang dalam dari Dinasti Arya Blitar. Hal ini memperlihatkan bagaimana politik dinasti, perkawinan, dan jabatan birokratis berpadu untuk mengamankan legitimasi kekuasaan Pakubuwana I pasca-perang suksesi.

Pangeran Harya Balitar: Bupati di Tengah Badai

Masa jabatan Harya Balitar bertepatan dengan babak paling panas dalam Perang Suksesi. Kartasura dilanda kekacauan. Surapati, mantan budak Bali yang menjelma menjadi panglima karismatik, telah menguasai Pasuruan dan menobatkan diri sebagai Adipati Wiranegara. Ia tampil sebagai sekutu utama Amangkurat III. Pertemuan antara kepentingan lokal Surapati dan legitimasi dinasti Amangkurat III melahirkan sebuah aliansi yang berbahaya, baik bagi VOC maupun bagi Pakubuwana I.

Dalam situasi genting itu, Madiun berperan sebagai benteng penahan. Harya Balitar tidak hanya dituntut menjaga stabilitas internal, tetapi juga harus terjun langsung dalam mobilisasi prajurit. Catatan menyebutkan, korban dari pihak Madiun sangat besar. Sejumlah tokoh penting gugur di medan laga, antara lain Kyai Ronggo Pamagetan, Tumenggung Surobroto, serta Pangeran Mangkunegara dari Caruban. Nama-nama ini menunjukkan bahwa Madiun bukan sekadar wilayah administratif, melainkan turut menyumbangkan darah bangsawan dan prajuritnya dalam perang besar yang menentukan masa depan Jawa.

Dalam konflik tersebut, Madiun tegas memihak kepada Pakubuwana I. Sikap ini dapat dipahami, sebab permaisuri Pakubuwana I, Ratu Mas Blitar, berasal dari trah Madiun. Pilihan politik ini terbukti tepat, karena kelak mengantarkan keturunan Madiun menduduki singgasana raja-raja Jawa.

Untung S

Pertempuran Bangil 1706: Akhir Surapati

Puncak konfrontasi terjadi pada 17 Oktober 1706 dalam pertempuran di Bangil. Benteng Surapati, yang selama ini menjadi simbol perlawanan anti-VOC, akhirnya runtuh dihantam serangan gabungan pasukan Kartasura dan VOC. Surapati sendiri tewas dalam pertempuran itu. Namun, kematiannya tidak serta-merta mengakhiri perlawanan. Putra-putranya, yaitu Raden Pengantin dan Suradilaga, meneruskan perjuangan dengan dukungan sisa prajurit Bali.

Bagi Madiun, pertempuran Bangil menjadi luka mendalam. Banyak prajurit yang gugur, dan energi sosial-politik wilayah ini terkuras habis. Tetapi dari perspektif VOC, keterlibatan Madiun dianggap sebagai bukti loyalitas terhadap Pakubuwana I. Sejak itu, posisi Harya Balitar sebagai Bupati Madiun semakin menguat, meskipun bayang-bayang perang masih terus menghantui.

Pakubuwana I

Penangkapan Amangkurat III dan Akhir Perang

Setelah tewasnya Surapati, nasib Amangkurat III semakin terdesak. Ia berusaha bertahan di Jawa Timur, namun perlawanannya kian melemah. Akhirnya, ia ditangkap dan dibuang ke Ceylon (Sri Lanka). Dengan itu, Perang Suksesi Jawa I berakhir pada 1708. Pakubuwana I menjadi penguasa sah Mataram, didukung sepenuhnya oleh VOC.

Bagi Madiun, perang ini meninggalkan jejak kepahitan. Arak-arakan pasukan gabungan yang kembali dari Jawa Timur harus melewati jalur panjang melalui Kertosono, Caruban, Madiun, Ponorogo, Kedawung, hingga Kartasura. Rakyat menyaksikan bagaimana perang dinasti telah menyedot sumber daya mereka. Harya Balitar, meskipun diakui sebagai bupati sah, memimpin sebuah kadipaten yang terluka.

Amangkurat III

Wafatnya Harya Balitar dan Suksesi Madiun

Pada 1709, setahun setelah perang berakhir, Pangeran Harya Balitar atau Pangeran Arya Balitar IV wafat dan dimakamkan di Astana Panitikan, Umbulharjo, Yogyakarta. Masa kepemimpinannya singkat, tetapi meninggalkan catatan penting dalam sejarah Madiun. 

Baca Juga : Rekrutmen TNI AD 2025: Syarat, Jadwal, dan Cara Daftar Bintara & Tamtama untuk Lulusan SMA/SMK

Sepeninggalnya, tampuk kekuasaan beralih kepada Tumenggung Surawijaya (1709–1725). Berbeda dengan masa Harya Balitar yang penuh gejolak, periode Surawijaya relatif tenang. Tidak ada konflik besar yang mengguncang Madiun, dan ia menutup pemerintahannya tanpa gejolak hingga wafat pada 1725. Setelah itu, kepemimpinan berpindah kepada Pangeran Mangkudipura (1725–1755).

Harya Balitar

Namun untuk memahami mengapa jabatan Bupati Madiun begitu erat terkait dengan legitimasi kerajaan, kita perlu menengok lebih jauh ke masa awal Mataram. Sejak era Panembahan Senapati, simbol dan gelar seperti ‘Arya Blitar’ telah dipakai sebagai instrumen politik yang menghubungkan kekuasaan Mataram dengan trah bangsawan Madiun.

Gelar Pangeran Arya Blitar untuk Dinasti Mataram–Madiun: Politik Simbolik Panembahan Senapati

Awal abad ke-17 menjadi masa kebangkitan Mataram sebagai kekuatan baru di pedalaman Jawa. Panembahan Senapati (1584 sampai 1601) menyadari bahwa kekuasaan tidak hanya bertumpu pada militer, tetapi juga pada simbol politik. Karena itu, ia menganugerahkan gelar kepada kerabat dan keturunannya dengan nama yang merujuk pada daerah penting di Jawa Timur seperti Singasari, Puger, Purbaya, dan Balitar, yang pada masa kemudian dikenal sebagai Blitar. Pemberian gelar ini bukan semata penghormatan, melainkan strategi simbolik untuk meneguhkan legitimasi Mataram sekaligus menghubungkannya dengan warisan kerajaan besar di Jawa Timur.

Mengapa “Blitar” dipilih? Pada masa itu, Blitar bukan pusat kekuasaan penting. Namun penempatannya dalam jajaran gelar sejajar Singasari dan Puger menunjukkan klaim Senapati atas wilayah timur. Lebih jauh, gelar ini terkait erat dengan Madiun, basis kekuasaan Raden Ayu Retna Dumilah, permaisuri kedua Senapati. Dari pernikahan inilah lahir Pangeran Juminah, yang kemudian bergelar Panembahan Blitar atau Balitar I. Ia menjadi penghubung simbolik antara dinasti Mataram dan bangsawan Madiun, sekaligus membuka jalan bagi lahirnya dinasti Balitar di Madiun.

Senapati

Historiografi kritis atas sumber Jawa seperti Babad Tanah Djawi dan Serat Kandha memperlihatkan bagaimana politik simbolik Senapati bekerja. Penempatan makam, pengangkatan gelar, hingga pergeseran keraton Pajang menjadi bagian dari perebutan legitimasi. Sejarawan Belanda seperti Hageman pun mencatat bahwa setelah runtuhnya Pajang, pusat kekuasaan jatuh sepenuhnya ke tangan keluarga Senapati. Dengan demikian, gelar Blitar tidak pernah bermakna administratif, melainkan simbol genealogis dan politik.

Peran simbol ini tampak jelas pada abad ke-18. Dari garis keturunan Panembahan Juminah lahir Pangeran Harya Balitar IV, Bupati Madiun (1704–1709), serta Ratu Mas Blitar, permaisuri Pakubuwana I. Dari rahim Ratu Mas Blitar lahir Amangkurat IV dan Pangeran Purbaya, yang menjadi tokoh sentral dinasti Mataram baru. Gelar Blitar, meski hanya simbol, berperan strategis dalam menempatkan darah Madiun di jantung kekuasaan Jawa.

Simbol selalu membawa makna ganda: legitimasi dan perlawanan. Pada awal abad ke-18, salah satu keturunan Balitar, Pangeran Arya Blitar (Raden Mas Sudomo), bahkan menolak dominasi VOC dan mendirikan kerajaan tandingan di Kartasekar, Bantul. Meskipun gerakan ini dihancurkan pada 1721, narasi perlawanan itu tetap hidup dalam babad rakyat. Bagi VOC, ia pemberontak; bagi rakyat, ia simbol kehormatan Mataram yang menolak tunduk pada loji Belanda.

Dengan demikian, gelar Arya Blitar bukan sekadar nama, melainkan alat politik simbolik. Ia mengikat garis Mataram dan Madiun, melahirkan generasi raja Jawa, serta menyalakan bara perlawanan terhadap VOC. Dalam bingkai historiografi, gelar itu membuktikan bahwa di Jawa, kekuasaan selalu dipertaruhkan bukan hanya di medan perang, tetapi juga dalam bahasa simbol dan legitimasi kosmologis.

Catatan Akhir

Kisah Pangeran Harya Balitar menyingkap satu sisi penting dari sejarah Jawa abad ke-17 hingga awal abad ke-18: rapuhnya ikatan politik antara pusat kekuasaan Mataram dan wilayah mancanegara seperti Madiun. Dalam arus besar pemberontakan Trunojoyo, perang keluarga kerajaan, dan kebangkitan Surapati, Madiun bukan sekadar latar pinggiran, melainkan simpul strategis tempat berbagai kepentingan bertemu dan berbenturan.

Melalui sosok Pangeran Harya Balitar, kita melihat bagaimana martabat bangsawan Jawa diuji di tengah pusaran intrik politik keraton dan intervensi VOC. Harya Balitar bukan hanya seorang bangsawan lokal, melainkan perantara antara tradisi trah Senapati–Retna Dumilah dengan realitas politik kolonial yang kian menekan.

Alun alun kidul yogya

Historiografi tentang tokoh-tokoh seperti Balitar mengingatkan bahwa sejarah Jawa tidak melulu berkisar pada nama besar raja dan sultan, tetapi juga pada figur-figur daerah yang menjadi penopang sekaligus korban dari perebutan kekuasaan. Madiun dalam hal ini bukan sekadar wilayah administratif, melainkan simbol perlawanan, loyalitas, dan keterhimpitan dalam pergulatan besar antara istana dan kolonial.

Dengan demikian, Pangeran Harya Balitar mewariskan jejak yang tak hanya terpatri pada silsilah keluarga bangsawan, tetapi juga dalam ingatan kolektif tentang bagaimana sebuah daerah di jantung Jawa mampu bertahan di tengah badai sejarah.


Topik

Serba Serbi suksesi jawa pangeran harya balitar madiun voc sejarah



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Tulungagung Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Dede Nana