Jatim Times Network Logo
Poling Pilkada 2024 Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Poling Pilkada 2024
Serba Serbi

Lodoyo Blitar: Kedaton Macan dan Misteri Pusaka Suroloyo

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Yunan Helmy

07 - Sep - 2025, 13:01

Placeholder
Tampak depan kompleks makam Pangeran Prabu di Sentono Lodoyo, Blitar. Tokoh ini dalam tradisi lokal diyakini sebagai pembawa Gong Kyai Pradah, pusaka Mataram yang kemudian menjadi pusat sakralitas Lodoyo. Patung macan di pintu masuk makam mempertegas citra Lodoyo sebagai kedaton macan, dunia gaib yang lekat dengan mitos pusaka dan pengasingan politik Jawa. (Foto: Aunur Rofiq/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Sejarah Jawa bukan hanya panggung raja dan peperangan. Ia juga terhampar dalam hutan-hutan wingit, mitos pusaka, serta kisah harimau jadi-jadian yang hidup dalam ingatan kolektif masyarakat. 

Salah satu kisah itu bertempat di Lodoyo, sebuah hutan lebat di selatan Afdeeling Blitar (kini Kabupaten Blitar). Hingga abad ke-19, hutan ini masyhur sebagai kedaton macan, kerajaan harimau dengan aura mistis yang menyelimuti.

Baca Juga : Jamasan Gong Kyai Pradah, Tradisi Maulid Nabi yang Menarik Ribuan Warga di Blitar

Dalam tradisi lisan, Lodoyo tidak sekadar hutan. Ia adalah tapal batas antara dunia manusia dan dunia gaib, tempat pembuangan tokoh Suroloyo, pusat pusaka keramat berupa bende (gong) dan wayang, sekaligus benteng spiritual yang menjadikan macan bukan hanya binatang, melainkan perwujudan dendam sejarah dan kekuatan tak kasat mata.

Artikel ini mencoba menelusuri kisah Lodoyo melalui perspektif historiografi kritis. Narasi mitologis akan dibaca dalam konteks sosial-politik Jawa abad ke-17 hingga abad ke-19. Dengan begitu, Lodoyo dapat dipahami bukan hanya sebagai ruang hutan, tetapi juga sebagai konstruksi ideologis yang merefleksikan ketakutan, harapan, dan strategi bertahan masyarakat Jawa.

Asal-usul Lodoyo: Pohon Elo Doyong dan Pembuangan dari Suroloyo

Alun alun lodoyo

Tradisi tutur menautkan asal-usul Lodoyo dengan kisah seorang penggawa Suroloyo. Naskah Babad Alit menyebut, “ana punggawané Déwa Suralaya kasiku ditundhung saka Suralaya, disèlèh alas gedhé kang ana uwité elo gedhé lan wis doyong” – seorang abdi Suralaya dibuang ke hutan lebat di bawah pohon elo yang besar dan doyong. Pohon itulah yang menjadi penanda, hingga hutan luas tersebut kemudian dikenal dengan nama Lodoyo, dari kata elo dan dhoyong.

Suroloyo sendiri memiliki dua lapis makna. Pertama, ia menunjuk puncak di perbukitan Menoreh, Magelang, yang sejak lama dianggap sebagai negeri para dewa atau “Suralaya di atas awan”. Kedua, ia berhubungan dengan kosmologi politik Mataram Islam. Beberapa tradisi lisan mengidentifikasi tokoh yang diusir itu sebagai seorang pangeran Mataram yang memberontak pada masa awal abad ke-18, bahkan dikaitkan dengan Pangeran Prabu yang diasingkan oleh Sunan Pakubuwana I (1704–1719).

Jika ditilik lebih dalam, mitos ini merekam pola politik Mataram: para pangeran yang gagal dalam perebutan takhta sering disingkirkan, dibuang ke hutan wingit, lalu dikenang sebagai tokoh keramat. Dengan demikian, Lodoyo adalah lanskap pengasingan, tempat di mana kekuasaan yang terbuang menjelma kekuatan gaib.

Pusaka Keramat: Bende dan Wayang

Penggawa Suroloyo yang diasingkan itu tidak datang dengan tangan kosong. Ia membawa dua pusaka: sebuah bende (gong) dan sebuah wayang. Kedua benda ini kelak menjadi pusat sakralitas Kabupaten Blitar.

Tradisi menceritakan, pusaka itu disimpan di sebuah sanggar di dalam hutan. Harimau jadi-jadian, hasil ilmu ajian sang penggawa, ditugaskan menjaganya. Barang siapa berani mengambilnya tanpa izin, dipercaya akan diterkam hingga mati.

Pusaka bende dan wayang ini bukan sekadar benda. Dalam budaya Jawa, gong adalah lambang kosmos, suara jagat yang menyatukan dunia gaib dan dunia nyata. Wayang adalah cermin kehidupan, medium pengajaran moral sekaligus legitimasi politik. Dengan menempatkan keduanya di Lodoyo, masyarakat Jawa menegaskan bahwa hutan itu bukan sekadar ruang liar, melainkan panggung kosmologis yang dijaga macan sebagai pengawal gaib.

Bende

Ajian Macan: Dari Mantra ke Kekuasaan

Salah satu inti kisah Lodoyo adalah ajian untuk menjadi macan. Sang penggawa Suroloyo konon mengajarkan rapal mantra kepada sepasang orang tua miskin yang tinggal di dekat hutan. Dengan ilmu itu, mereka bisa berubah menjadi macan, memudahkan mencari makan tanpa harus bekerja di sawah.

Namun, ada syarat: mereka wajib menjaga pusaka bende dan wayang, serta mengumpulkan harimau liar dari luar Lodoyo untuk menetap di hutan itu. Dari sinilah lahir komunitas harimau jadi-jadian, yang dipercaya sebagai penjaga sanggar Lodoyo.

Di balik mitos ini, terdapat makna sosial-politik. Harimau dalam budaya Jawa adalah simbol kekuasaan, kegagahan, dan sekaligus ancaman. Dengan menisbatkan ajian macan pada Lodoyo, masyarakat membangun narasi bahwa kekuatan politik yang terbuang dari keraton masih hidup dalam bentuk lain: sebagai energi liar, ganas, dan sulit dikendalikan. Lodoyo, dengan demikian, menjadi representasi politik bayangan Mataram, yakni kekuatan alternatif di luar istana yang justru ditakuti.

Macan lodoyo

Tradisi Nyanggaraké: Menitipkan Barang pada Macan

Seiring waktu, Lodoyo bukan hanya dikenal sebagai hutan angker, tetapi juga sebagai tempat penitipan barang. Praktik ini disebut nyanggaraké. Orang Jawa yang memiliki barang berharga menitipkannya secara simbolis di sanggar Lodoyo.

Caranya cukup sederhana. Barang dibawa ke sanggar, diletakkan di atas bende dan wayang, lalu pemilik berdoa: “Kyai, barang kula punika kula andhèrèk titip ing sanggaran, pangreksanipun sumangga.” Setelah itu dibakar kemenyan, disiapkan sesaji, serta diberikan uang upah kepada juru kunci. Barang kemudian dibawa pulang, namun secara spiritual dianggap telah “dititipkan” di Lodoyo.

Jika barang itu kemudian dicuri, maka pencurinya dipercaya akan dikejar harimau Lodoyo. Bila tidak segera mengembalikan, ia akan diterkam hingga mati. Tradisi ini memperlihatkan bagaimana hukum gaib menggantikan hukum negara. Dalam masyarakat Jawa pra-modern, ketika aparat kolonial belum menjangkau desa-desa kecil, sistem spiritual seperti ini menjadi cara efektif melindungi harta benda.

Ritual

Lodoyo sebagai Kedaton Macan

Baca Juga : Rezeki Lancar! Inilah 4 Warna Cat Rumah yang Paling Disarankan Fengsui

Karena praktik tersebut, Lodoyo dikenal sebagai kedatoné macan, yakni kerajaan macan. Bukan hanya macan liar, melainkan macan jadi-jadian yang berasal dari ajian manusia. Mitos menyebut, harimau Lodoyo tidak boleh dibunuh. Jika ada yang berani membunuhnya, “sing duwé amasthi ngamuk,” pemilik gaibnya pasti mengamuk. Akibatnya, orang Jawa enggan mengganggu apalagi membunuh macan Lodoyo.

Hingga abad ke-19, laporan kolonial Belanda menyebut Blitar selatan masih dipenuhi harimau. Afdeeling Blitar, Residentie Kediri, dicatat sebagai salah satu wilayah dengan populasi macan terbesar di Jawa. Tidak mustahil, reputasi Lodoyo sebagai kedaton macan turut memperkuat keengganan penduduk untuk berburu, sehingga populasi macan terus bertambah hingga mencapai ratusan ekor.

Harimau

Konteks Sosial-Politik: Lodoyo dan Perlawanan Jawa

Mengapa Lodoyo begitu penting dalam imajinasi sejarah Jawa? Untuk menjawabnya, kita harus menempatkan Lodoyo dalam pusaran konflik besar awal abad ke-18, ketika Jawa dilanda perang suksesi, perebutan pusaka keraton, dan intervensi VOC yang semakin mencengkeram Kartasura.

Masa itu bukan hanya soal siapa yang duduk di takhta, melainkan juga siapa yang menguasai pusaka kerajaan seperti tombak Kyai Baru, Kyai Gondil, dan keris Kyai Belabar yang menjadi nadi legitimasi Mataram. Ketika Amangkurat III dikudeta oleh pamannya, Pangeran Puger yang kelak bergelar Pakubuwana I, pusaka-pusaka tersebut ikut dibawa lari. Dari Kartasura ia bergerak menuju Blitar, lalu Malang, hingga Pasuruan. Pada titik inilah Lodoyo tampil sebagai simpul penting dalam perjalanan sejarah itu.

Mitos lokal menyebut adanya seorang punggawa Suroloyo atau Pangeran Prabu yang singgah di Lodoyo, membawa bende dan wayang pusaka, lalu menjalani hidup dalam keterbuangan. Jika ditautkan dengan fakta sejarah, kisah ini memberi dua kemungkinan. Pertama, ia adalah pengikut Amangkurat III yang mundur bersama rombongan sang raja sambil membawa pusaka agung yang tertinggal. Kedua, ia merupakan tokoh yang dibuang oleh Pakubuwana I, bagian dari strategi politik untuk menyingkirkan lawan agar tidak lagi mengklaim wahyu kekuasaan.

Hingga kini, jejak pusaka itu masih berdenyut di tanah Blitar. Sebuah gong sakral disimpan di Lodoyo, seolah menjadi saksi bisu persinggahan para pengikut Amangkurat III. Sementara itu, wayang krucil tetap dijaga di Desa Bendosari, Kecamatan Kademangan, sekitar lima belas kilometer ke selatan dari Lodoyo. Kehadiran benda-benda ini bukan sekadar peninggalan budaya, melainkan juga penanda sejarah, bahwa Blitar pernah menjadi persinggahan penting dalam arus besar perebutan takhta Mataram.

Gong pradah

Tradisi setempat memperkuat makna itu melalui ritual jamasan, yakni penyucian pusaka dengan air kembang. Wayang krucil Kyai Bonto dijamas setiap bulan Syawal dan Maulud di Dusun Pakel, Desa Kebonsari, sebagai bentuk penghormatan kepada Pangeran Prabu yang diyakini membawa pusaka tersebut ke wilayah Blitar. Ribuan warga hadir, berharap memperoleh berkah dari air bekas cucian wayang. Sementara itu, Gong Kyai Pradah di Alun-Alun Lodoyo dimandikan pada 1 Syawal dan 12 Rabiul Awal, sebuah tradisi yang telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia. Ritual ini dipercaya membawa berkah, menyembuhkan penyakit, sekaligus menjadi magnet wisata dan penggerak ekonomi lokal.

Dua tafsir ini sama-sama masuk akal. Fakta bahwa Amangkurat III sempat berada di Blitar memperkuat dugaan bahwa Lodoyo menjadi salah satu titik persinggahan rombongan. Tidak mustahil, sebagian pusaka yang disebut dalam babad, atau setidaknya ingatan tentang pusaka itu, menyebar melalui kisah punggawa Suroloyo. Di sisi lain, tradisi politik pembuangan yang dijalankan Pakubuwana I memberi ruang tafsir bahwa Lodoyo adalah kuburan hidup bagi eksil politik yang ditakuti keraton.

Apa pun asal-usulnya, Lodoyo dalam memori rakyat bertransformasi menjadi kedaton macan, sebuah dunia gaib tempat dendam politik tidak mati melainkan berubah rupa. Harimau jadi-jadian yang menjaga pusaka di Lodoyo adalah metafora dari eksistensi eksil politik yang kalah perang. Mereka boleh tersingkir dari istana, tetapi dalam imajinasi rakyat tetap hadir sebagai kekuatan tandingan yang mengawasi keadilan.

Dengan demikian, Lodoyo tidak hanya hutan wingit di Blitar Selatan, melainkan arsip budaya yang menyimpan trauma perebutan pusaka Kartasura. Kisah punggawa Suroloyo atau Pangeran Prabu yang singgah di Lodoyo menjadi penanda bahwa di sinilah sejarah dan mitos bertemu. Fakta tentang pusaka yang hilang di tangan VOC berpadu dengan legenda pusaka gaib yang dijaga macan Lodoyo. Dalam benturan itulah, ingatan Jawa tentang kekalahan, pengkhianatan, dan kesetiaan terus menyala.

Warisan: Makam Sentono Lodoyo

Pangeran prabu

Jejak Lodoyo tidak berhenti pada pusaka dan mitos, melainkan juga terjaga dalam tradisi ziarah. Di utara Alun-Alun Lodoyo berdiri kompleks Makam Sentono Lodoyo, tempat dimakamkannya sejumlah tokoh penting yang mengikat Blitar dengan sejarah besar Jawa.

Di antara nama yang tercatat adalah Pangeran Prabu, putra Keraton Surakarta yang diyakini sebagai pembawa Gong Kyai Pradah sekaligus tokoh penyebar Islam di kawasan ini. Kehadirannya meneguhkan kaitan antara Lodoyo dan narasi politik-ekspansi spiritual Mataram.

Selain Pangeran Prabu, terdapat pula tokoh-tokoh lain: Ki Ageng Imam Sampurno, penasihat Keraton Surakarta; Ki Ageng Ronggo Lodoyo atau Kiai Muhammad Badri, seorang Wedono Lodoyo; serta Raden Sutojoyo, cikal bakal Kelurahan Sutojayan. Makam ini juga menyimpan garis keturunan besar lain, mulai dari dzurriyah Pangeran Diponegoro hingga keturunan Sunan Tembayat Klaten seperti Kiai Ragil Siddiq dan Mbah Boinem.

Makam Sentono Lodoyo dengan demikian menjadi warisan hidup yang menautkan Blitar dengan mitos Punggowo Suroloyo dan pusaka Mataram. Ia berfungsi sebagai ruang pertemuan antara jejak politik Mataram, spiritualitas Islam Jawa, dan ingatan rakyat yang terus dirawat melalui ritual, pusaka, serta tradisi ziarah.


Topik

Serba Serbi Lodoyo Lodoyo Blitar kisah hutan keramat kisah Lodoyo hutan keramat



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Tulungagung Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Yunan Helmy