JATIMTIMES - Pagi 20 Juni 1812, dentuman meriam dan teriakan pasukan Sepehi memecah keheningan Yogyakarta. Laskar berseragam asing dengan kulit legam, sorban di kepala, dan senjata laras panjang bergerak cepat memanjat tangga bambu, menembus benteng Keraton Yogyakarta dari sisi timur. Mereka bukan pasukan pribumi, melainkan tentara bayaran India di bawah bendera Inggris yang terkenal dengan sebutan Sepoy atau Sepehi. Di belakang mereka berdiri Thomas Stamford Raffles, Letnan Gubernur Inggris di Jawa, yang menjadi arsitek operasi militer paling dramatis dalam sejarah Jawa awal abad ke-19. Peristiwa yang kemudian dikenang sebagai Geger Sepehi ini bukan sekadar penyerbuan militer, melainkan puncak dari akumulasi konflik politik, dendam pribadi, pengkhianatan internal, dan perebutan legitimasi kekuasaan di tengah pergolakan transisi dari kolonial Belanda ke kolonial Inggris.
Latar Belakang: Jawa dalam Bayang-Bayang Imperium
Baca Juga : Beredar Pesan Sniper di Atas Gedung-Gedung Kota Malang, Polisi Tegaskan Hoaks
Bubarnya VOC pada 31 Desember 1799 menandai berakhirnya satu era, tetapi tidak mengakhiri dominasi Eropa atas Jawa. Sejak 1800, Belanda melalui Pemerintah Hindia Belanda menguasai langsung wilayah ini. Namun, Eropa sendiri sedang dilanda gelombang perang Napoleon yang menjalar hingga Asia. Inggris, dengan basis kekuatan di India dan Kalkuta, memandang Jawa sebagai kunci jalur perdagangan rempah dan beras. Serangkaian gubernur jenderal Belanda, dari Pieter Gerardus van Overstraten hingga Jan Willem Janssens, berusaha mempertahankan cengkeraman mereka. Namun, pada September 1811, Batavia jatuh ke tangan Inggris. Janssens menyerah, dan Jawa resmi berada di bawah administrasi Inggris yang dipimpin oleh Lord Minto di Kalkuta dengan Thomas Stamford Raffles sebagai Letnan Gubernur di Batavia.
Bagi Kesultanan Yogyakarta, pergantian rezim ini membawa dinamika baru. Sultan Hamengkubuwana II, yang sebelumnya dilengserkan Belanda karena sikap kerasnya, diangkat kembali oleh Inggris menggantikan putranya, Hamengkubuwana III (Raden Mas Surojo). Namun, pengembalian tahta ini bukan tanda hubungan mesra. Raffles dan Residen Inggris di Yogyakarta, John Crawfurd, tetap memandang Hamengkubuwana II sebagai penguasa yang sulit dikendalikan. Di balik seremoni pengembalian tahta itu, benih-benih konflik justru mulai tumbuh, dipupuk oleh kecurigaan timbal balik dan ambisi politik yang saling berbenturan.

Akar Konflik: Persekongkolan dan Dendam Sejarah
Ketegangan segera muncul. Hamengkubuwana II, dengan reputasinya yang keras dan anti-intervensi Eropa, menolak beberapa kebijakan Inggris. Ia diam-diam menjalin komunikasi rahasia dengan Sunan Pakubuwana IV di Surakarta untuk membentuk aliansi melawan Inggris. Persekongkolan ini terendus Crawfurd.
Sebaliknya, pihak Inggris memiliki jaringan sendiri di Yogyakarta, terutama melalui Raden Mas Surojo, putra Hamengkubuwana II yang pernah diangkat menjadi Sultan oleh Belanda, serta Pangeran Natakusuma, tokoh istana yang kelak bergelar Paku Alam I. Keduanya dikenal lebih kooperatif terhadap Inggris dan melihat peluang merebut kekuasaan apabila Sultan Sepuh, Hamengkubuwana II, dilengserkan.
Sementara itu, di Mangkunegaran, konflik dalam keluarga kerajaan Surakarta turut menyalakan api. KGPAA Mangkunegara II menyimpan dendam kepada Sunan Pakubuwana IV akibat pembatalan pernikahan antara putranya, Raden Mas Sarengat, dengan Kanjeng Ratu Pembayun, putri sulung sang Sunan. Alasan pembatalan bersifat politis, yakni kekhawatiran kehilangan tanah warisan apabila mempelai perempuan wafat lebih dulu. Terhina dan marah, Mangkunegara II mencari jalan untuk membalas. Kesempatan itu datang ketika ia menjalin hubungan dengan Raffles di Batavia.

Mobilisasi Pasukan: Dari Batavia ke Jantung Mataram
Raffles, yang telah menerima laporan surat Raden Mas Surojo tentang rencana perlawanan Sultan Sepuh, bergerak cepat. Ia memobilisasi kekuatan gabungan: pasukan Inggris, empat brigade Sepoy-India, Legiun Mangkunegaran, dan pasukan dari Jepara di bawah Adipati Citrasoma. Dari Batavia, armada militer berlayar menuju Jepara, kemudian bergerak darat ke arah selatan melalui Magelang menuju Yogyakarta.
Strategi penyerangan disusun dengan cermat. KGPAA Mangkunegara II kembali ke Solo untuk memerintahkan Tumenggung Mangkureja mempersiapkan Legiun Mangkunegaran. Di pihak Inggris, Raffles menempatkan pasukan di titik-titik strategis, sementara informasi intelijen dari pihak pro-Inggris di Yogyakarta memastikan mereka tahu titik terlemah pertahanan keraton.
Pada malam 13 Juni 1812, pasukan Inggris-Sepehi masuk ke Benteng Vredeburg. Keesokan harinya, keluarga Pangeran Natakusuma yang pro-Inggris berlindung di sana, mengenakan tanda kain putih di lengan kiri agar tidak disangka musuh.
Pertempuran: 20 Juni 1812

Fajar 20 Juni menjadi awal kehancuran. Pasukan Inggris-Sepehi, dibantu Legiun Mangkunegaran, menyerbu sisi timur keraton dengan tangga bambu yang disediakan Kapitan Tionghoa Tan Jin Sing. Raden Arya Sindureja memimpin satu-satunya unit Kesultanan yang memberikan perlawanan berarti, bahkan sempat menyergap pasukan kavaleri Inggris. Namun, perlawanan ini bersifat lokal dan cepat dipatahkan oleh keunggulan senjata api modern Inggris.
Menurut Babad Bedhahing Kraton, Raden Mas Surojo yang berada di pihak Inggris secara langsung memberi petunjuk kepada Raffles mengenai titik terlemah benteng. Pangeran Diponegoro, yang saat itu berusia 27 tahun, menjadi saksi mata tragedi tersebut dan kelak menuliskannya dalam Babad Diponegoro.
Sore hari, Sultan Hamengkubuwana II ditangkap. Ia dibawa ke Semarang, lalu diasingkan ke Pulau Pinang. Takhta Yogyakarta kembali jatuh ke tangan Raden Mas Surojo, yang dilantik sebagai Hamengkubuwana III.
Penjarahan dan Perampasan

Dari 20 hingga 24 Juni, pasukan Inggris, Sepehi, dan Legiun Mangkunegaran melakukan penjarahan secara sistematis. Gerobak demi gerobak mengangkut harta keraton, termasuk tujuh ratus naskah kuno, pusaka, perhiasan, gamelan, dan benda seni, menuju kediaman Residen Crawfurd. Banyak dari benda tersebut kini tersebar di berbagai museum di Eropa. Perampasan ini tidak hanya merugikan secara materi, tetapi juga memutus kesinambungan ingatan sejarah dan spiritualitas politik Mataram.
Catatan Akhir
Geger Sepehi 1812 adalah lebih dari sekadar peristiwa militer; ia merupakan pertemuan tajam antara intrik internal, strategi kolonial, ideologi anti penjajahan, dan dendam pribadi. Retaknya hubungan Hamengkubuwana II dengan putra dan kerabatnya memberi Inggris celah untuk masuk. Taktik divide et impera dijalankan dengan memanfaatkan pasukan asing dan rivalitas lokal. Dalam pusaran itu, sikap keras Sultan Sepuh menjadi simbol penolakan terhadap intervensi Eropa yang kelak mengilhami perlawanan Diponegoro, sementara dendam pribadi Mangkunegara II terhadap Sunan Pakubuwana IV menjadi katalis politik bagi Raffles untuk menggalang dukungan di tanah Jawa.

Konsekuensi Geger Sepehi terasa nyata dan pahit bagi Kesultanan Yogyakarta. Ribuan naskah kuno, pusaka, dan harta berharga dijarah. Raden Mas Surojo diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana III menggantikan ayahnya. Kadipaten Pakualaman berdiri sebagai hadiah Inggris bagi Pangeran Natakusuma dengan mengambil empat ribu cacah wilayah dari Yogyakarta. Hamengkubuwana II bersama kerabatnya diasingkan ke Pulau Pinang, sementara wilayah kesultanan menyusut dengan lepasnya Japan, Jipang, dan Grobogan ke tangan Inggris. Pemangkasan kekuatan militer pada Agustus 1812 memastikan Yogyakarta tidak lagi memiliki kebebasan mempertahankan diri tanpa izin penguasa kolonial.
Baca Juga : BEM Malang Raya Batalkan Aksi Demonstrasi Hari Ini, Berikut Alasannya
Geger Sepehi tidak hanya mengubah struktur politik dan geografi kekuasaan di Jawa, tetapi juga menandai pergeseran keseimbangan antara pusat kekuasaan lokal dan imperium global. Ia menjadi peringatan sejarah bahwa dalam konflik perebutan tahta, musuh di luar sering kali masuk melalui pintu yang dibuka dari dalam.