Jatim Times Network Logo
Poling Pilkada 2024 Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Poling Pilkada 2024
Serba Serbi

Tahta dan Luka Lama: Pemulangan Keturunan Amangkurat III dari Ceylon

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

16 - Aug - 2025, 08:47

Placeholder
Ziarah di Makam Sunan Amangkurat III, Situs Setono Gedong, Kediri. Di sinilah sejarah dan spiritualitas bertemu, menghadirkan memori seorang raja yang dipandang sebagai wali oleh masyarakat setempat. (Foto: Aunur Rofiq/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Sejarah kekuasaan Mataram bukan hanya kisah tahta, tetapi juga riwayat luka. Di balik kemegahan istana dan kebesaran gelar-gelar kerajaan, tersimpan drama pengkhianatan, eksil politik, dan dendam yang tak kunjung reda. Salah satu babak paling sunyi dalam sejarah Jawa adalah pemulangan keturunan Amangkurat III dari pengasingan di tanah Selong (Ceylon/Sri Lanka). 

Peristiwa ini terjadi lebih dari seabad setelah pemberontakan besar yang mengguncang fondasi Dinasti Mataram. Pemulangan itu bukan sekadar diplomasi keraton, melainkan penebusan luka sejarah dan rekonsiliasi simbolik dalam narasi besar kekuasaan Jawa.

Baca Juga : 5 Rekomendasi Film Akhir Pekan: Nobody 2, Demon Slayer hingga The Conjuring

Latar Belakang Konflik Dinasti: Warisan Amangkurat III

Pada tahun 1704, Perang Suksesi Jawa meletus. Amangkurat III, yang memiliki nama asli Raden Mas Sutikna dan merupakan putra Amangkurat II, dikudeta oleh pamannya, Pangeran Puger. Dengan dukungan penuh dari VOC, Pangeran Puger kemudian dinobatkan menjadi Pakubuwana I. 

Perang yang berlangsung hingga tahun 1708 ini mengakhiri kekuasaan Amangkurat III. Ia kemudian diasingkan ke Ceylon (kini Sri Lanka) bersama keluarga dan para pengikutnya oleh pihak VOC. Dalam laporan resmi Belanda, pengasingan ini dilakukan “demi stabilitas dan ketertiban di Tanah Jawa.”

Dalam sejumlah babad dan tradisi keraton, Amangkurat III juga dikenal dengan sebutan “Amangkurat Mas.” Julukan ini bukanlah gelar resmi, melainkan panggilan kehormatan istana. 

Selama di Ceylon, keturunan Amangkurat III hidup dalam keterasingan. Mereka tak diizinkan kembali ke Jawa, bahkan sekadar menyebutkan nama Mataram pun menjadi hal tabu. Namun, darah Mataram tetap mengalir dalam tubuh mereka, menunggu momentum sejarah yang memungkinkan mereka pulang.

Kartasura dan Luka yang Belum Sembuh

Pakubuwana II

Ketika Pakubuwana II naik tahta pada 1726, ia masih muda dan berada dalam cengkeraman elit istana serta dominasi VOC. Keraton Kartasura menjadi simbol kekuasaan yang terjerat utang politik dan intervensi asing. Dalam keadaan seperti itu, penyatuan kembali keluarga besar Mataram bukan prioritas, apalagi bila menyangkut garis keturunan Amangkurat III yang dianggap pemberontak.

Namun sejarah selalu mencari celah untuk menyembuhkan dirinya. Semakin parah intrik politik istana, semakin mengemuka kebutuhan untuk konsolidasi simbolik. Keputusan memulangkan keturunan Amangkurat III bukan semata urusan keluarga, tetapi strategi politik dan spiritual.

Tumbangnya Patih Danureja: Jalan Terbuka untuk Rekonsiliasi

Situasi politik Kartasura mencapai titik balik ketika Patih Danureja, sosok kuat di balik kekuasaan Pakubuwana II, akhirnya ditumbangkan. Dalam sebuah pertemuan resmi di Semarang yang dihadiri Gubernur Jenderal VOC Adriaan Valckenier (1737–1741), keris secara simbolik dicabut dari pinggang Danureja, tindakan yang menandai pencopotannya dari jabatan patih.

Kejadian ini terjadi pada hari Kamis Manis, 17 Sura, tahun Jimakir (1737), dan menjadi simbol berakhirnya pengaruh golongan istana yang menolak kembalinya keturunan Amangkurat III. Segala harta Danureja dirampas, dan ia dikirim ke Batavia, kemudian diasingkan ke Sri Lanka. Peristiwa ini membuka jalan bagi munculnya tokoh-tokoh baru yang lebih terbuka terhadap rekonsiliasi dinasti.

Raha

Pakubuwana II kemudian mengangkat Tumenggung Natawijaya sebagai Patih dengan gelar Natakusuma. Di bawah kepemimpinannya, kerajaan mengalami masa stabilitas yang relatif. Natakusuma dikenal sebagai figur moderat yang tidak terseret dalam politik balas dendam, dan justru menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan Mataram.

Dalam sebuah pisowanan agung, raja secara resmi mengangkat Natakusuma dengan sengkalan "Naga Lelima Angoyak Bumi." Penataan elite ini memperkuat posisi raja untuk melangkah dalam proyek yang lebih besar: pemulangan keturunan Susuhunan Mas dari Selong.

Surat resmi dikirim dari Kartasura ke Batavia. Isinya jelas: Pakubuwana II menghendaki para sentana dari garis Amangkurat III dikembalikan ke Tanah Jawa, bersama dengan pusaka-pusaka kerajaan yang mereka bawa: keris, waos, rasukan, dan bende sakral bernama Ki Bicak.

Duta yang dikirim ke Batavia terdiri atas Patih Natakusuma, Tumenggung Titawiguna, Raden Suralaya, dan Ki Arya Kudus. Mereka bertemu dengan Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier yang menggantikan Abraham Patras. Setelah proses diplomasi yang berlangsung berminggu-minggu, akhirnya lebih dari 200 orang laki-laki dan perempuan dari keluarga Susuhunan Amangkurat III dikirim ke Batavia dari Sri Lanka.

Di antara rombongan yang dipulangkan, terdapat sejumlah tokoh penting dalam trah keraton: Pangeran Tepasana, Pangeran Mangkunagara, Pangeran Pakuningrat, Raden Jayakusuma, dan Pangeran Emas. Mereka mewakili generasi penerus dari garis keturunan Amangkurat III yang selama puluhan tahun hidup dalam pengasingan.

Setibanya di Batavia, mereka disambut oleh Patih Natakusuma dengan suasana haru. Sejarah seakan menemukan simpulnya kembali.

Kembalinya Darah Mataram: Prosesi Kepulangan

Rombongan segera diberangkatkan ke Semarang dan dari sana dijemput langsung oleh Tumenggung Mangkunagara dan Tumenggung Mangkubuda atas perintah Pakubuwana II. Prosesi ini menjadi bagian dari ritual politik dan spiritual, layaknya penjemputan pusaka.

Pagi hari yang telah ditentukan, para pangeran menghadap raja di istana Kartasura. Surat dari Gubernur Jenderal Pagohardiyan dibacakan di hadapan raja. Suasana haru menyelimuti pisowanan. Raja memerintahkan agar tempat tinggal, jamuan makan, dan seluruh keperluan rombongan disiapkan secukupnya. Mereka kemudian ditempatkan di kediaman Setyapati.

Raja

Tiga hari kemudian, pusaka-pusaka Mataram yang selama ini ikut terasing bersama keluarga Amangkurat III diserahkan kembali kepada raja. Penyerahan ini menjadi momen penting yang ditandai dengan sengkalan "Janma Kawayang Karengeng Bumi." 

Sebagai balasan, raja memberikan penghargaan berupa pengangkatan dan pembagian lungguh kepada para bangsawan keturunan pengasingan. Pangeran Mangkunagara menerima gelar baru sebagai Pangeran Wiramanggala dan dianugerahi wilayah Dongkol beserta lungguh sebanyak 200. Pangeran Tepasana mendapatkan lungguh 1.000, sementara Raden Jayakusuma menerima lungguh 300. Sentana bungsu dari keluarga tersebut diangkat menjadi menteri muda dengan lungguh 50.

Setono gedong

Pemulangan keturunan Amangkurat III bukan sekadar reunifikasi keluarga, melainkan bagian dari upaya memperkuat legitimasi politik Pakubuwana II. Dalam kondisi kerajaan yang terus terancam oleh konflik internal dan tekanan eksternal, khususnya dari VOC dan para adipati pesisir, kehadiran kembali darah Mataram menjadi simbol pemulihan kekuasaan. 

Dari perspektif spiritual, langkah ini juga bermakna restorasi. Pusaka-pusaka kerajaan diyakini menyimpan kekuatan sakral yang mengikat antara penguasa dan semesta. Kembalinya pusaka berarti pulihnya harmoni kosmis yang sempat terganggu sejak Perang Suksesi.

Namun, tidak semua luka disembuhkan. Jejak kolonialisme VOC tetap mengendap dalam struktur kekuasaan. Peristiwa eksil, seperti yang dialami keluarga Amangkurat III, adalah hasil kebijakan yang meletakkan stabilitas politik di atas keadilan dinasti. VOC memainkan peran sebagai wasit dalam konflik internal Jawa, sekaligus manipulator yang memecah kekuasaan demi kepentingan dagang. 

Dalam konteks historiografi kritis, pemulangan ini tidak dapat dilepaskan dari kalkulasi politik Batavia yang melihat peluang stabilitas di Jawa bagian tengah. Selama eksil berlangsung, keturunan Amangkurat III telah kehilangan basis sosial dan kekuatan militer. Dengan memulangkan mereka dalam keadaan tanpa daya, VOC justru menghapus potensi ancaman laten.

Kisah pemulangan keturunan Amangkurat III pada akhirnya menjadi pengakuan atas luka sejarah yang sempat dilupakan. Ia mengajarkan bahwa dalam politik Jawa, kekuasaan bukan hanya soal tahta, melainkan juga soal pengakuan, harmoni, dan simbol. Dengan menerima kembali darah yang dulu ditolak, Pakubuwana II bukan hanya memperkuat tahtanya, tetapi juga meneguhkan dirinya sebagai pemimpin yang menyatukan masa lalu dan masa depan. Namun, sejarah tak pernah benar-benar usai. 

Para keturunan Amangkurat III memang telah dipulangkan, tetapi jejak pengasingan mereka tetap menjadi pengingat bahwa kekuasaan yang mengabaikan keadilan akan selalu meninggalkan luka yang sulit terhapus. Luka itu pun kembali menyala beberapa tahun kemudian, ketika meletusnya Geger Pecinan yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi, cucu dari Amangkurat III.

Baca Juga : Jadwal dan Ketentuan Penukaran Undangan Fisik Upacara 17 Agustus 2025 di Istana Merdeka

Luka sejarah yang diwariskan pengasingan itu tidak berhenti pada generasi penerusnya saja. Untuk memahami mengapa bayang-bayang itu begitu kuat, kita perlu menengok langsung pada riwayat Amangkurat III, sosok yang menjadi pangkal dari seluruh pergulatan sejarah ini.

Riwayat Amangkurat III: Versi Kediri vs Versi Belanda

Amangkurat III

Luka itu tidak dapat dilepaskan dari sosok asal muasalnya. Sebab, di balik kepulangan para keturunan dari Ceylon, berdiri bayangan seorang raja yang pernah dijatuhkan dan dibuang: Amangkurat III. Untuk memahami mengapa pengasingan itu membekas begitu dalam, kita harus menelusuri riwayatnya, baik melalui versi resmi kolonial maupun ingatan rakyat Jawa.

Dalam sejarah perpolitikan Jawa awal abad ke-18, nama Amangkurat III tidak pernah sepi dari perdebatan. Ia adalah raja Mataram keenam yang hanya memerintah selama dua tahun, dari 1703 hingga 1705. Namun, jejak historisnya melampaui waktu dan kekuasaan singkat itu. Ia bukan hanya raja yang ditumbangkan dalam kudeta, tetapi juga simbol dari perebutan makna sejarah antara kekuatan kolonial dan ingatan lokal. 

Dua versi mengenai akhir hayatnya mencerminkan ketegangan tersebut: versi Kediri yang melihatnya sebagai wali suci yang menolak hegemoni, dan versi Belanda yang menempatkannya sebagai figur kalah yang mati dalam pembuangan di Ceylon (Sri Lanka).

Amangkurat III lahir sebagai Raden Mas Sutikna, satu-satunya putra dari Amangkurat II. Sang ayah terkenal dengan pemerintahannya yang otoriter dan dekat dengan VOC. Ketika Amangkurat II wafat pada tahun 1703, Sutikna naik takhta dengan gelar Amangkurat III, membawa warisan kekuasaan yang sudah terpolarisasi. Penobatannya segera memicu ketegangan internal karena banyak elite istana, termasuk pamannya sendiri, Pangeran Puger, merasa lebih berhak atas takhta.

Pangeran Puger kemudian menyatakan diri sebagai raja tandingan dengan gelar Pakubuwana I. Dalam eskalasi konflik ini, VOC mengambil posisi strategis: mendukung Puger sebagai mitra politik yang lebih kooperatif. Maka pecahlah Perang Suksesi Mataram (1704–1708), konflik berskala penuh antara dua garis dinasti. Amangkurat III akhirnya dikalahkan, ditangkap, dan diasingkan bersama keluarganya ke Ceylon oleh VOC. Ini adalah versi yang selama dua abad menjadi narasi resmi dalam sejarah kolonial dan istana.

Namun, seperti dicatat dalam sejumlah tradisi lokal dan kisah lisan di Jawa Timur, cerita mengenai Amangkurat III tidak berakhir di pengasingan.

Menurut masyarakat Kediri, Amangkurat III tidak wafat di Sri Lanka. Setelah pengasingan yang panjang, ia disebut kembali ke Jawa secara diam-diam dan menetap di Kediri. Ia tidak lagi terlibat dalam konflik politik, melainkan menjalani hidup sebagai seorang ulama yang khusyuk dan menarik diri dari dunia.

Pusat dari narasi ini adalah situs Setono Gedong, yang dipercaya sebagai makam Amangkurat III. Di tempat itu pula tersimpan sejumlah pusaka peninggalan istana Kartasura, termasuk tombak dan keris, yang dikuburkan di sebelah makam utama. Dalam kesadaran masyarakat Kediri, keberadaan pusaka-pusaka tersebut menandai legitimasi spiritual dan politik sang raja. Sebuah cerita lokal bahkan menyebut, burung yang melintasi makam itu akan jatuh, sebagai bukti kehadiran kekuatan gaib dari seorang raja yang suci.

Lebih dari sekadar tempat ziarah, Setono Gedong menjadi pusat ingatan tandingan terhadap sejarah kolonial. Bagi masyarakat setempat, Amangkurat III bukanlah raja gagal, melainkan pemimpin yang menolak bekerjasama dengan VOC dan memilih hidup dalam jalan spiritual untuk menebus luka politik. Dalam struktur sejarah alternatif ini, ia ditokohkan sebagai wali dan pejuang kebenaran.

Tepasana

Narasi Kediri tidak lahir dalam ruang hampa. Ia muncul dari sejarah panjang ketegangan antara kekuasaan resmi dan komunitas lokal. Sementara versi Belanda menekankan keteraturan politik, versi rakyat menekankan pengkhianatan, penderitaan, dan spiritualitas sebagai fondasi kepemimpinan. Dalam pandangan lokal, Amangkurat III adalah simbol raja adil yang dikhianati bukan karena kelemahan, tetapi karena konsistensinya menolak kooptasi VOC.

Sebaliknya, laporan-laporan Belanda sejak 1730-an menggambarkan Amangkurat III sebagai tokoh bermasalah. Ia digambarkan paranoid, keras kepala, dan tidak stabil. Sikapnya dianggap mengancam stabilitas kawasan dan hubungan dagang VOC. Maka pengasingan dianggap solusi politik yang “wajar.” 

Menurut arsip VOC, ia wafat di Ceylon tahun 1734. Jenazah Amangkurat III akhirnya dipulangkan ke tanah Jawa dan dimakamkan kembali di Imogiri, beriring dengan kepulangan keluarganya yang masih hidup. Di antara mereka terdapat kedua putranya, Pangeran Tepasana dan Pangeran Wiramenggala. Namun riwayat keluarga ini belum selesai: Pangeran Tepasana kelak dihukum mati atas perintah Pakubuwana II, setelah dituduh terlibat dalam pemberontakan keraton tahun 1741.Dari garis Tepasana inilah lahir Raden Mas Garendi, cucu Amangkurat III, yang kelak membalas kematian leluhurnya dengan memimpin pemberontakan besar dalam peristiwa Geger Pecinan tahun 1742.

Namun narasi ini juga sarat kepentingan. Penghapusan simbol-simbol dinasti lama adalah taktik umum dalam konsolidasi kekuasaan. Dalam konteks ini, versi Belanda berperan meneguhkan narasi pengganti kekuasaan baru: Pakubuwana I dan Pakubuwana II sebagai raja yang sah karena restu VOC.

Pertemuan dua narasi itu terwujud secara fisik dalam dua makam yang diyakini sebagai tempat peristirahatan terakhir Amangkurat III: satu di Setono Gedong, satu di Imogiri. Yang pertama menyimpan makna spiritual dan perlawanan; yang kedua adalah simbol penerimaan terhadap sistem kekuasaan baru di bawah kendali VOC.

Bagi masyarakat Kediri, Setono Gedong adalah penegasan bahwa tidak semua kisah harus dikendalikan oleh narasi resmi. Di tempat itu, Amangkurat III hidup dalam memori rakyat sebagai raja yang dizalimi namun tetap suci. Sementara bagi istana dan kolonial Belanda, makam di Imogiri menjadi bentuk “pengendalian” akhir terhadap tokoh yang pernah mengganggu kestabilan politik Jawa.

Riwayat Amangkurat III memperlihatkan bagaimana sejarah bisa pecah menjadi banyak tafsir, tergantung siapa yang menulisnya dan untuk siapa ia ditulis. Versi Belanda menyusun narasi atas nama ketertiban politik. Versi Kediri menyusun kenangan atas nama keadilan dan spiritualitas. Keduanya tidak saling meniadakan, tetapi saling menantang dalam memahami masa lalu yang penuh luka.

Dalam konteks historiografi kritis, perbandingan dua versi ini membuka ruang bagi pembacaan baru terhadap sejarah Mataram, bahwa raja yang kalah tidak selalu salah, dan bahwa kekuasaan bukan hanya soal legitimasi, tetapi juga soal ingatan yang dijaga dalam diam oleh rakyat yang tak bersuara.

Kisah Amangkurat III dan pemulangan keturunannya dari pengasingan memperlihatkan bahwa sejarah Jawa tidak pernah hadir sebagai garis lurus, melainkan sebagai mozaik yang dipenuhi luka, simbol, dan tafsir yang saling bersilang. Dari satu sisi, kita melihat narasi resmi yang lahir dari kepentingan kekuasaan dan kolonialisme. Dari sisi lain, kita menemukan ingatan rakyat yang memilih menjaga kisah alternatif, menjadikan raja yang dibuang sebagai wali, bukan sebagai pecundang.

Pakubuwana

Dua makam yang diyakini sebagai peristirahatan terakhir Amangkurat III, yaitu di Imogiri dan Setono Gedong, adalah metafora dari sejarah itu sendiri: selalu jamak, tidak tunggal, dan sering kali kontradiktif. Namun justru di situlah letak kekuatan ingatan Jawa. Yang kalah pun masih bisa hidup, bukan melalui catatan resmi, melainkan lewat doa, ziarah, dan cerita yang diwariskan.

Sejarah Mataram dengan segala tahta dan intriknya mungkin telah berakhir, tetapi luka yang ditinggalkannya terus menjadi cermin bagi generasi berikut. Ia mengingatkan bahwa kekuasaan yang lahir dari pengkhianatan selalu menyisakan bayang-bayang, dan bahwa keadilan dalam ingatan rakyat bisa bertahan lebih lama daripada legitimasi politik. Pada akhirnya, Amangkurat III tidak hanya tercatat sebagai raja yang dibuang, tetapi juga sebagai simbol bahwa sejarah Jawa selalu lebih luas daripada yang dicatat oleh istana maupun kolonial.


Topik

Serba Serbi mataram sejarah jawa amangkurat 3 ceylon srilanka



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Tulungagung Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Dede Nana