JATIMTIMES - Dalam gelombang besar peradaban Islam di Nusantara, nama Raden Patah muncul sebagai salah satu figur sentral yang menentukan arah sejarah, meskipun posisinya kerap kali dikesampingkan dari daftar resmi Wali Songo. Ia bukan sekadar pendiri Kesultanan Demak Bintara, tetapi juga seorang negarawan, pembaharu hukum, pelindung seni budaya, dan ulama yang mengakar dalam tradisi sufistik Islam Jawa.
Peran dakwahnya, meskipun sering kali tersembunyi di balik gelar-gelar keraton dan istana, tidak bisa dipisahkan dari arus besar Islamisasi Jawa abad ke-15 hingga awal abad ke-16.
Baca Juga : Anggaran Diusulkan Naik hingga Rp 16 Triliun, Ahmad Irawan: Pembangunan IKN Jalan Terus
Menurut Serat Walisana, Raden Patah justru tergolong ke dalam jajaran Wali Nukbah, kategori wali di luar sembilan tokoh utama Wali Songo. Ia disebut dua kali dalam teks tersebut, masing-masing dengan gelar "Sultan Syah Alim Akbar" dan "Panembahan Palembang".
Gelar pertama merujuk pada statusnya sebagai pendiri Kesultanan Demak sebagaimana dijelaskan dalam Serat Pranitiradya, sedangkan gelar kedua, menurut Babad Tanah Jawi, adalah titel resmi kerajaannya yang panjang: Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama.
Pembedaan ini menandai pentingnya memahami bagaimana historiografi Jawa mencatat peran pemimpin Muslim tidak hanya dalam kacamata kekuasaan politik, tetapi juga sebagai pemuka agama yang memelihara dan mengembangkan tradisi keilmuan dan spiritualitas Islam. Dengan demikian, Raden Patah bisa dipandang sebagai figur yang menyatukan antara kekuasaan duniawi dan otoritas keagamaan.
Tahun 1479 menjadi tonggak penting dalam sejarah Demak. Pada saat itu, Raden Patah sebagai Adipati Demak secara resmi membangun Masjid Agung Demak, sebuah pusat spiritual yang juga menjadi simbol legitimasi Islam atas kekuasaan politik. Selain peresmian masjid, yang lebih penting adalah pemakluman Kitab Undang-Undang Salokantara, yang menjadi cikal bakal kodifikasi hukum Islam dalam sistem kesultanan. Tak lama kemudian, ia juga menetapkan Kitab Undang-Undang Angger Suryo Ngalam sebagai hukum positif yang berlaku di Demak.
Salokantara dan Angger Suryo Ngalam merupakan manifestasi konkret dari sintesis antara syariat Islam dengan sistem hukum pra-Islam di Jawa. Meskipun banyak pasalnya mengacu pada syariat, namun struktur dan semangat hukumnya banyak dipengaruhi oleh Kitab Undang-Undang Kutara Manawa Dharmasastra dari era Majapahit. Ini menunjukkan bahwa Raden Patah bukan saja seorang raja, tetapi juga pemikir hukum yang mengerti pentingnya transisi budaya dan hukum secara gradual di tengah perubahan kepercayaan masyarakatnya.
Kitab Kutara Manawa terdiri atas 19 bagian hukum yang merinci berbagai aspek kehidupan sosial, mulai dari perlindungan anak, pencurian, pembunuhan, jual-beli, utang-piutang, hingga perkawinan dan warisan. Di antaranya, aturan tentang Astadusta (delapan jenis pembunuhan), Astacorah (delapan jenis pencurian), Paradara (perzinahan dan pelecehan seksual), dan Ahutang-Apihutang (utang-piutang) menjadi struktur dasar yang kemudian dimodifikasi dan dijiwai oleh nilai-nilai Islam dalam Angger Suryo Ngalam.
Fakta bahwa masyarakat Demak menerima dan mengamalkan hukum ini tanpa perlawanan menunjukkan kecanggihan politik hukum Raden Patah dalam mengintegrasikan dua sistem kepercayaan: Hindu-Buddha dan Islam. Di tengah kemunduran hukum Majapahit, kekuatan Demak menjadi alternatif hukum dan spiritualitas baru bagi masyarakat pesisir utara Jawa yang mulai condong ke arah Islam.
Lebih dari itu, Raden Patah juga dikenal sebagai pelindung seni dan budaya. Seni pewayangan, sebagai bentuk tertinggi seni tradisi Jawa karena menggabungkan seni lukis, pahat, bentuk, drama, musik, dan sastra, justru berkembang pesat di bawah perlindungannya. Namun, sebagai raja Muslim, Raden Patah sadar bahwa perlu ada penyesuaian agar seni wayang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
Menurut R. Poedjosoebroto, Raden Patah sangat menggemari wayang. Namun ia merasa perlu untuk mendialogkan seni ini dengan prinsip Islam. Karena itu, ia meminta fatwa dan nasihat dari Wali Songo. Hasilnya adalah lahirnya pakem baru dalam pertunjukan wayang, termasuk penggantian lakon-lakon yang mengandung unsur politheisme, serta modifikasi bentuk wayang agar tidak menyerupai manusia, yang bertentangan dengan ajaran tauhid.

Transformasi ini memperlihatkan kemampuan Raden Patah membaca dinamika zaman. Ia tidak memutus akar budaya lokal, tetapi menyuburkannya dalam tanah yang baru, yakni Islam. Inilah bentuk akulturasi yang halus tetapi mendalam, yang membuat Islam tidak hadir sebagai kekuatan yang asing, melainkan sebagai bagian dari jiwa Jawa itu sendiri.
Dalam konteks dakwah, Raden Patah berperan sebagai tokoh kunci dalam menjembatani misi para wali dengan struktur kekuasaan. Dengan mendirikan Kesultanan Demak, ia menyediakan payung politik yang kokoh bagi penyebaran Islam. Para wali seperti Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Ampel, dan Sunan Kudus berperan aktif dalam pengajaran, sementara Raden Patah memberikan perlindungan dan legitimasi struktural.
Kehadiran Wali Songo dalam sistem sosial politik Demak bukanlah simbol semata, tetapi juga berfungsi sebagai penasehat dan pelaksana kebijakan moral-etik dalam istana. Demak dengan demikian tidak hanya kerajaan politik, tetapi juga menjadi pusat spiritual Islam Jawa.
Historiografi lokal seperti Serat Kandha dan Babad Tanah Jawi menggambarkan bagaimana hubungan antara raja dan para wali ini bersifat organik dan saling melengkapi. Wali Songo menyebarkan ajaran, Raden Patah melindungi dan menerapkan ajaran itu dalam hukum dan pemerintahan.
Penulis mencatat bahwa peran Raden Patah bukan hanya sebagai penerus kekuasaan Majapahit dalam bentuk Islam, tetapi juga sebagai reformis yang membawa hukum Islam dalam kerangka lokal. Ia bukan hanya penerima warisan, tetapi pemurni dan penyusun ulang sistem nilai dan hukum yang lebih sesuai dengan semangat zamannya.
Dari perspektif ini, Raden Patah sejajar dengan reformis besar dunia Islam. Ia tidak hanya mengislamkan rakyatnya, tetapi juga mengislamkan struktur hukum, budaya, dan kesenian masyarakatnya. Ia membuktikan bahwa Islam bukanlah kekuatan perusak, tetapi transformator budaya yang mampu menyatu dalam jiwa masyarakat Nusantara.
Kita perlu mencermati pula bagaimana gelar-gelar Raden Patah seperti Panembahan Palembang dan Sultan Syah Alim Akbar menyiratkan pentingnya peran spiritual dan politik sekaligus. Gelar tersebut mencerminkan posisi Raden Patah sebagai pemimpin umat yang tidak hanya memerintah, tetapi juga membimbing secara ruhani. Dalam bahasa sufistik, Raden Patah dapat dikatakan telah mencapai maqam wali quthub dalam konteks kepemimpinan politik dan spiritual.
Dengan segala perannya, Raden Patah telah menapaki jalan yang jarang dilalui pemimpin lain. Ia tidak hanya mendirikan kerajaan, tetapi juga membangun tradisi hukum, budaya, dan keilmuan Islam di Jawa. Dalam sejarah Islam Nusantara, ia menjadi contoh nyata dari penyatuan antara din dan dawlah, antara syariat dan adat, antara kekuasaan dan hikmah.
Baca Juga : Tasbih Fatimah: Zikir Ringan Penuh Berkah, Hadiah Cinta Rasul untuk Putrinya
Dalam cahaya inilah, kita harus menempatkan Raden Patah bukan hanya sebagai raja, tetapi sebagai imam, bukan hanya sebagai pendiri negara, tetapi juga sebagai mujtahid yang menyusun hukum berdasarkan syariat tetapi tidak mencabut akar tradisi. Dialah raja yang menjadi ulama, ulama yang menjadi pembaharu, dan pembaharu yang meninggalkan warisan tak ternilai bagi Islam Nusantara.
Asal Usul dan Riwayat Singkat Raden Patah: Antara Majapahit dan Islamisasi Jawa
Raden Patah merupakan figur sentral dalam sejarah Islamisasi Jawa. Ia dikenal luas sebagai pendiri Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di tanah Jawa, serta simbol transisi dari kekuasaan Hindu-Buddha menuju dominasi Islam di Nusantara. Namun, siapa sebenarnya Raden Patah? Pertanyaan ini mengundang diskusi panjang dalam historiografi Jawa karena berbagai sumber menyajikan narasi silsilah yang tidak seragam.
Tradisi lisan Jawa dan sejumlah naskah seperti Babad Tanah Jawi menyebut bahwa Raden Patah adalah putra Prabu Brawijaya, raja terakhir Majapahit. Namun, persoalannya terletak pada identitas "Brawijaya" itu sendiri. Sejarawan modern berpendapat bahwa sebutan Brawijaya adalah gelar simbolik, bukan nama resmi raja tertentu. Dalam konteks kronologi dan silsilah, Dyah Kertawijaya yang memerintah antara 1447–1451 dianggap sebagai Brawijaya V dan lebih layak disebut sebagai ayah biologis Raden Patah dibanding Bhre Kertabhumi yang baru naik takhta pada 1468.

Sumber seperti Serat Kandaning Ringgit Purwa dan Carita Purwaka Caruban Nagari memperkaya kisah ini dengan menyebut bahwa ibu Raden Patah adalah seorang wanita Tionghoa bernama Siu Ban Ci, putri dari Tan Go Hwat atau Syekh Bantong, seorang saudagar sekaligus ulama Muslim di Gresik. Dalam narasinya, wanita ini awalnya menjadi selir Prabu Brawijaya, tetapi kemudian diserahkan kepada Arya Damar, Adipati Palembang, karena kecemburuan permaisuri raja yang berasal dari Champa. Dari pernikahan tersebut lahirlah Raden Kusen, yang merupakan saudara seayah atau seibu dari Raden Patah.
Menurut sumber resmi seperti Pararaton dan Prasasti Waringin Pitu, Dyah Kertawijaya merupakan raja sah Majapahit yang bergelar Sri Maharaja Wijayaparakramawarddhana. Ia adalah putra Wikramawardhana dan saudara dari Ratu Suhita. Dyah Kertawijaya naik takhta setelah Suhita mangkat tanpa keturunan, tetapi masa pemerintahannya singkat karena dibunuh oleh Rajasawardhana.
Dyah Kertawijaya dipercaya sebagai raja Majapahit yang lebih progresif terhadap penyebaran Islam. Beberapa kerabatnya, termasuk Raden Patah dan Raden Kusen, tumbuh dalam pengaruh Islam yang kuat, berkat keberadaan tokoh-tokoh seperti Sunan Ampel dan kekuatan spiritual serta perdagangan Islam di wilayah pesisir utara Jawa.
Berbagai versi babad menyebut bahwa Raden Patah menolak ajaran Hindu-Buddha sejak muda dan memilih memeluk Islam. Hal ini menunjukkan adanya ketegangan spiritual dan ideologis di lingkungan elite Majapahit menjelang kejatuhannya. Tome Pires dalam Suma Oriental juga mencatat bahwa “Pate Rodin” (sebutan Portugis untuk Raden Patah) berasal dari keturunan rendah di Gresik—penegasan bahwa garis keturunannya dari pihak ibu sangat berpengaruh dalam pembentukan jati dirinya sebagai Muslim.
Pasca wafatnya Dyah Kertawijaya, Majapahit mengalami ketidakstabilan politik luar biasa. Takhta berpindah tangan beberapa kali, mulai dari Dyah Wijayakumara (Sri Rajasawardhana) hingga Hyang Purwawisesa dan Singhawikramawarddhana, sebelum akhirnya dikuasai oleh Bhre Kertabhumi pada 1468. Namun, jika mengacu pada kronologi, Bhre Kertabhumi adalah Brawijaya IX, bukan Brawijaya V seperti yang lazim diyakini dalam narasi populer.
Kondisi Majapahit yang kian rapuh menjadi peluang bagi Raden Patah untuk memantapkan pengaruh Islam di tanah Jawa. Ia kemudian mendirikan Kesultanan Demak sekitar akhir abad ke-15, yang dalam waktu singkat berkembang menjadi pusat kekuatan politik, militer, dan keagamaan. Dalam narasi politik, Demak tak hanya menjadi simbol kejayaan Islam, tetapi juga pelanjut legitimasi kekuasaan Majapahit dari jalur sah Dyah Kertawijaya.
Raden Patah bukan hanya pendiri kerajaan, tetapi juga simbol sejarah yang menghubungkan dua zaman: Majapahit dan Islam. Ia adalah hasil pertemuan antara darah biru Majapahit dan spiritualitas Islam pesisir, antara pengaruh aristokratik dan gerakan ulama saudagar dari Gresik. Meski kisah hidupnya diliputi mitos dan versi-versi berbeda, peranannya dalam sejarah Nusantara tidak dapat disangkal.
Narasi tentang Raden Patah memperlihatkan bahwa peralihan kekuasaan tidak selalu berarti kehancuran total, melainkan dapat menjadi kelahiran baru dari warisan yang telah ada. Kesultanan Demak tidak dibentuk untuk menghancurkan Majapahit, melainkan untuk melanjutkan jejaknya dalam lanskap budaya dan politik yang telah bergeser menuju dominasi Islam di kawasan maritim Asia Tenggara.
_____________
Catatan Redaksi: artikel ini merupakan rangkuman dari berbagai sumber
