JATIMTIMES - Polemik soal penggunaan sound horeg kembali mencuat. Suara bising yang keluar dari sound system berkekuatan besar dalam acara hajatan hingga dini hari tak cuma bikin tetangga geleng kepala, tapi juga jadi sumber kegaduhan yang terus menuai pro dan kontra.
Menanggapi fenomena ini, akun TikTok santri Ahmad Faruq Aqil mengunggah kajian logis dan etis soal sound horeg dengan pendekatan silogisme. Unggahan ini muncul setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur secara resmi menerbitkan Fatwa Nomor 1 Tahun 2025 yang membahas penggunaan sound horeg dari sudut pandang syariat Islam.
Baca Juga : Pemkab Blitar dan Pemprov Jatim Apresiasi 328 Huffadz: Insentif untuk Penjaga Kalamullah
Dalam fatwa MUI Jatim, istilah sound horeg dijelaskan sebagai sistem audio bervolume tinggi dengan penekanan pada frekuensi rendah (bass). Kata “horeg” berasal dari bahasa Jawa yang artinya “bergetar”, menggambarkan efek suara yang terasa mengguncang tubuh dan dinding rumah tetangga.
Secara umum, teknologi audio tidak dilarang. Tapi ketika penggunaannya kelewat batas, misalnya sampai bikin orang sakit kepala, memicu keributan warga, atau digunakan dalam kegiatan yang melanggar norma, maka hukum penggunaannya bisa berubah jadi haram.
Dalam unggahannya, Faruq menyampaikan kajian yang cukup unik dan logis. Dia mengajak masyarakat menilai sound horeg bukan cuma dari sisi selera atau kebiasaan, tapi juga dengan berpikir sistematis lewat metode silogisme.
1. Sudut Pandang Syariat Islam
• Premis mayor: Segala aktivitas yang merusak ketenangan dan mengganggu masyarakat dilarang dalam Islam.
• Premis minor: Sound horeg mengganggu ketenangan masyarakat.
• Kesimpulan: Maka, sound horeg dilarang dalam Islam.
Dalil yang dikutip pun cukup jelas:
“La dharara wala dhiraar”
(Tidak boleh membahayakan diri dan orang lain) — HR. Malik, Ahmad.
Sejalan dengan ini, MUI Jatim menyatakan bahwa sound horeg haram hukumnya bila digunakan secara berlebihan hingga mengganggu ketertiban umum, merusak fasilitas, mengundang maksiat seperti joget campur laki-laki dan perempuan, atau digelar di tempat terbuka tanpa kontrol.
2. Dari Kacamata Kesehatan
• Premis mayor: Semua aktivitas yang bisa merusak pendengaran dan kesehatan mental adalah aktivitas yang merugikan.
• Premis minor: Sound horeg berpotensi merusak pendengaran dan menimbulkan stres.
• Kesimpulan: Maka, sound horeg adalah aktivitas yang merugikan.
Ini juga bukan asumsi semata. WHO sudah mengingatkan bahwa kebisingan di atas 85 desibel bisa menyebabkan gangguan pendengaran permanen.
Baca Juga : Polres Batu Batasi Sound Horeg dan Jam Karnaval, Perketat Izin Keramaian
3. Dilihat dari Sisi Sosial
• Premis mayor: Kalau suatu kegiatan memicu konflik antarwarga, maka kegiatan itu harus dihentikan.
• Premis minor: Sound horeg sering menimbulkan konflik antarwarga.
• Kesimpulan: Maka, sound horeg harus dihentikan.
Faktanya, banyak kejadian di lapangan yang membuktikan ini. Mulai dari warga cekcok karena volume terlalu keras, hingga pelaporan ke pihak berwajib yang berujung pembubaran acara. Di sinilah letak potensi mudarat yang dikhawatirkan.
MUI Jatim lewat Fatwa Nomor 1 Tahun 2025 tidak serta-merta mengharamkan semua penggunaan sound system. Pihaknya tetap mengakui bahwa teknologi audio boleh dimanfaatkan untuk kegiatan sosial, budaya, maupun keagamaan. Tapi dengan catatan, tidak berlebihan dan tidak melanggar norma hukum dan syariat.
“Ayo suarakan penolakan dengan hujjah, bukan hanya emosi,” tulis Faruq, dalam video yang kini banyak dibagikan ulang warganet.