Jatim Times Network Logo
Poling Pilkada 2024 Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Poling Pilkada 2024
Hiburan, Seni dan Budaya

Pedamaran 1450: Syekh Siti Jenar Berguru pada Arya Damar, Putra Sang Raja Brawijaya V

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

19 - Jul - 2025, 20:12

Placeholder
Arya Damar dan Syekh Siti Jenar digambarkan dalam lukisan realis—dua tokoh spiritual dari dua generasi. (Foto: AI created by JatimTIMES)

JATIMTIMES - Dalam sejarah Islam Nusantara, nama Syekh Siti Jenar muncul sebagai satu di antara sedikit figur sufi yang ajarannya bertahan lintas abad, sekaligus menimbulkan getar di jagat kerohanian Jawa. 

Di luar narasi dramatis tentang “eksekusi Wali Sanga”, warisan pemikiran Siti Jenar justru berakar kuat pada pertemuan-pertemuan sunyi di pusat-pusat sufi masa lampau, salah satunya adalah kampung Pedamaran di tepian Sungai Ogan, Palembang, pada pertengahan abad ke-15.

Baca Juga : Ini Alasan Empat Anak Kandung Serahkan Ibunya ke Griya Lansia Malang

Di situlah, Siti Jenar muda atau Syekh Abdul Jalil sebagaimana gelarnya kemudian berguru pada Arya Damar, sang Adipati tua yang meniti hari-hari senjanya sebagai penjaga ‘Cahaya Mahacahaya’ (núrun alâ nûr).Perjumpaan ini bukan sekadar momen personal; ia menandai jalur transmisi ajaran Kosmologi Emanasi — yang kelak menjadi dasar Manunggaling Kawula-Gusti di Jawa.

Konteks Politik: Pajajaran, Palembang, dan Jejak Samarkandi

Syekh Siti Jenar lahir di jantung Pakuwuan Caruban (Cirebon), tumbuh dalam bayang-bayang pertentangan Jawa Pajajaran dan Islam pesisir yang mulai menguat di Demak dan Cirebon. Sejak usia belia, ia dikenal dengan nama San Ali, murid kesayangan Syekh Datuk Kahfi di Padepokan Giri Amparan Jati.

Setelah menimba ilmu di Caruban dan melewati pengembaraan spiritual di Pajajaran, Siti Jenar menyeberang ke Palembang — pelabuhan sungai yang pada abad ke-15 tumbuh sebagai jalur pelayaran antara Demak, Malaka, dan Samudra Pasai.

Arya Damar, sang Adipati Palembang, bukan sekadar penguasa. Ia adalah murid Maulana Ibrahim Samarkandi, ulama perantau asal Asia Tengah yang menjejak Sumatra sebelum jaringan Wali Sanga menapak di Jawa.

Sumber-sumber babad menyebut Arya Damar kelak mendukung penaklukan Majapahit oleh Raden Patah, meski di masa tuanya ia memilih berdiam di Pedamaran, sebuah kampung sunyi di tepian Sungai Ogan — tempat ia menulis, berzikir, dan membimbing para pencari makrifat.

Pertemuan Dua Tarekat: Siti Jenar dan Arya Abdillah

Diperkirakan antara 1448–1450 M, Syekh Siti Jenar tiba di Pedamaran. Di hadapan Arya Damar yang dalam teks Suluk Abdul Jalil disebut Arya Abdillah ia tidak lagi sekadar murid yang menghafal kaidah syariat, tetapi seorang pencari sangkan paraning dumadi: pengetahuan asal-usul dan tujuan kembali setiap ruh.

Arya Abdillah, demikian ia menamai dirinya di dalam suluk, tidak lagi berkhidmat sebagai adipati semata. Dalam untaian hikmah tertulis:

“Segala sesuatu yang ada di alam semesta milik-Nya, tanpa kecuali… Bumi, hewan, manusia, malaikat, surga, bulan, matahari, tumbuhan, jin, setan, iblis, neraka. Segala sesuatu, sekecil apa pun, adalah milik-Nya.” (Suluk Abdul Jalil, I)

Di Pedamaran, Arya Damar menanamkan pada Siti Jenar doktrin tauhid wujudiyah: penegasan bahwa setiap eksistensi di alam raya tidak lain adalah penampakan Cahaya Mahacahaya (núrun alâ nûr). Dalam kerangka inilah, Siti Jenar belajar menafsirkan “Aku” bukan lagi sebagai diri biologis, melainkan titisan ruhani yang harus menanggalkan hijab-hijab kepalsuan dunia.

Ajaran Arya Damar: Nur di Atas Nur

Bagi Arya Damar, ketunggalan wujud bukan sekadar pengetahuan spekulatif. Ia mengajarkan ‘Kosmologi Emanasi’, cikal bakal Martabat Tujuh yang kelak mengakar dalam tarekat-tarekat Jawa.

“Ketahuilah bahwa Dia bukan hanya pemilik segala sesuatu, Dia menata dan mengatur semuanya. Jika engkau Muslim yang dianugerahi iman, maka sesungguhnya engkau berada dalam golongan yang tercerahkan oleh ‘al-Hâdi’ (Zat Maha Memberi Petunjuk).”
Suluk Abdul Jalil, I, hlm. 127.

Sebaliknya, mereka yang berjalan di jalur gelap pun, bagi Arya Damar, tetap bagian dari pola ke-Mahatunggal-an:

“Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, engkau tak bisa menyesatkannya. Siapa yang disesatkan oleh Allah, engkau tak bisa memberi petunjuk kepadanya.”
(QS. Az-Zumar: 23)

Dengan pemahaman inilah, Siti Jenar belajar meruntuhkan dikotomi najis-suci, terang-gelap, Islam-‘Bhairawatantra’ semua tunduk pada ‘takdir tauhid’ yang meniadakan pemisahan esensial.

Pedamaran: Perpustakaan Cahaya di Tepian Sungai

Kampung Pedamaran, di tepian Sungai Ogan, bukan sekadar desa terpencil. Di sana Arya Damar menuliskan syair-syair hikmah tauhid, menanamkan kesadaran bahwa dunia ini hanyalah pinjaman. Baginya, usia senja hanyalah penantian kala Sang Pemilik mengambil kembali apa yang telah dipinjamkan-Nya.

Tradisi lisan di Palembang mencatat bahwa Pedamaran di masa Arya Damar menjelma pusat zawiyah kecil. Di situ pula Siti Jenar menyalin suluk, mendalami wirid tauhid, dan mengolah ajaran tentang “Aku sejati.”
Dari Pedamaran, benih Manunggaling Kawula-Gusti yang akan meresap di Caruban, Demak, bahkan Surabaya, berakar pada nurun ‘alâ nurin yang dirumuskan Arya Damar.

Menyeberang ke Malaka: Saudagar Emas dan Jaringan Dakwah

Selesai berguru pada Arya Damar, Syekh Siti Jenar beranjak ke Malaka pelabuhan internasional tempat para saudagar Tamil, Gujarat, dan Arab berbaur. Di sana, ia dikenal dengan gelar Syekh Abdul Jalil atau Syekh Jabaranta.

Menyaru sebagai saudagar emas dan barang kelontong, ia belajar memahami karakter nafsu manusia di tengah gemerlap niaga. Keputusannya menjadi saudagar bukan sekadar untuk berdagang, tetapi untuk menegaskan zuhud sejati: memegang harta, tanpa diperbudak harta.

Hubungannya dengan para bangsawan Tamil dan Melayu di Malaka membuka jalur dakwah lintas pulau. Meski banyak orang hanya mengenalnya sebagai pedagang, para muridnya menuturkan bahwa di waktu sunyi, Syekh Abdul Jalil menuliskan suluk dan menanamkan doktrin ketunggalan wujud.

Jaringan Ilmu: Dari Pedamaran ke Cirebon

Setelah dari Malaka, Syekh Siti Jenar kembali ke Caruban membawa nur yang dihidupkan Arya Damar.
Di Giri Amparan Jati, ia merumuskan ajaran sangkan paraning dumadi yang menegaskan bahwa ruh setiap insan adalah percikan dari Sang Wujud Tunggal, dan setiap manusia harus ‘menyingsingkan hijab’ hingga tak ada sekat antara hamba dan Tuhan.

Para muridnya yang kemudian menyebar ke Demak, Tuban, bahkan Pajang mewarisi ajaran Manunggaling Kawula-Gusti dengan segala kontroversinya. Namun, di akar sejarah, relasi guru-murid di Pedamaran itulah yang mematri fondasi Islam wujudiyah Jawa.

Refleksi Historiografi: Kesunyian di Balik Dendam Politik

Pertemuan Siti Jenar dengan Arya Damar tak dapat dipisahkan dari konstelasi politik abad ke-15: konflik Pajajaran–Demak, ekspansi Malaka, dan perebutan kuasa di pesisir utara Jawa. Namun di balik intrik politik, benih ajaran spiritual tetap mengakar melalui jalur sunyi tarekat saluran yang nyaris luput dicatat babad istana.

Dalam kacamata historiografi kritis, peristiwa ini menegaskan betapa jaringan spiritual seringkali bertahan di balik benteng kekuasaan politik. Arya Damar, sang Adipati Palembang, menjelma syekh penyendiri di Sungai Ogan — dan Siti Jenar, sang murid pengembara, menyalakan percikan itu kembali di Caruban.

Penjaga Cahaya Mahacahaya

Tak banyak yang tersisa dari Pedamaran kini, selain jejak nama di peta Sumatra Selatan. Namun dalam lembar-lembar suluk yang beredar di Caruban dan Tuban, warisan Arya Damar tetap hidup: nurun ‘alâ nurin Cahaya Mahacahaya yang menerangi batin para pencari makrifat.

Baca Juga : MIN 1 Kota Malang Bangun Kelas Baru Berbasis Digital dan Energi Surya

Lewat Syekh Siti Jenar, ajaran itu menembus sekat feodalisme, menantang dominasi para penguasa syariat. Ia tidak mati oleh fitnah, tetapi abadi dalam kerinduan orang Jawa akan kebebasan rohani warisan sufi yang menolak dibelenggu batas bumi.

Di ujung setiap zikir yang lirih, nama Pedamaran pun dibisikkan: kampung sunyi tempat seorang Adipati tua mengajari seorang pengembara muda, bahwa segala yang ada bahkan ‘Aku’ hanyalah milik-Nya, dan akan kembali kepada-Nya.

Arya Damar: Dari Bhairawa-Tantra ke Pelopor Islam Palembang

Sejarah Palembang pada pertengahan abad ke-15 adalah sepotong mosaik yang jarang disentuh dalam narasi besar Nusantara. Di sinilah sosok Arya Damar, kelak dikenal sebagai Ario Abdillah, tampil sebagai penentu zaman. Ia bukan sekadar Adipati Palembang pertama pasca kekacauan, tetapi juga jembatan antara warisan Majapahit yang renta, gelombang bajak laut Cina, serta gelora Islamisasi di pesisir timur Sumatra.

Dalam Babad Tanah Jawi, ia lahir dari rahim percampuran keraton Majapahit dengan dunia Bhairawa-Tantra yang gelap. Ia disebut sebagai Ki Dilah, putra Sri Kertawijaya Wijaya Parakramawardhana atau Brawijaya V, yang berkuasa 1447–1451 M. Ibunya, Endang Sasnitapura, digambarkan sebagai putri denawa istilah bagi penganut Syiwa-Buddha aliran Bhairawa-tantra, mahzab yang di Jawa kala itu kerap dikaitkan dengan praktik ritual rahasia, pancamakara, bahkan korban manusia.

Kelahiran Ki Dilah bukan di dalam istana yang gemerlap, melainkan di belantara Wanasalam, akibat ibunya diusir dalam keadaan mengandung. Lahirnya di hutan merangkai mitos sang pangeran buangan: manusia separuh dewa, separuh dunia kelam Bhairawa.

Sejak kecil, Ki Dilah diasuh seorang bijak bernama Ki Kumbarawa, didatangkan dari Blitar. Dialah yang menurunkan ajaran kesaktian Bhairawa kepercayaan yang bertahan pasca keruntuhan Sriwijaya, mengendap dalam sendi batin masyarakat Palembang. Tidak mengherankan, kelak ketika Palembang jatuh ke tangan bajak laut Cina, rakyat menantikan figur dengan daya magis sekaligus darah raja.

Narasi yang dikutip dari Carita Damarwulan menunjukkan bagaimana Arya Damar memainkan peran penentu di medan politik Majapahit. Ia memadamkan pemberontakan Bhre Daha, putra Bhre Wirabhumi, pada masa Rani Suhita berkuasa. Ia pula yang dikisahkan menumpas Pasunggiri, pangkalan perlawanan pinggiran di Jawa Timur. Sosoknya muncul sebagai senapati yang tangguh, kesaktiannya disandingkan dengan para tokoh pewayangan.

Sekitar pertengahan abad ke-15, Palembang, bekas pusat Sriwijaya, bergejolak. Pemberontakan Parameswara — bangsawan Sriwijaya yang kemudian hijrah mendirikan Melaka — memecah tatanan. Kekosongan ini dimanfaatkan armada bajak laut Cina, dipimpin nama-nama seperti Liang Tau Ming, Cheng Po-ko, Chen Tsui, dan Shi Chin Ching. Sumber-sumber lokal menegaskan betapa Palembang runtuh menjadi sarang bajak laut, pelabuhan penuh asap candu, serta perdagangan gelap budak.

Dalam konteks inilah, Arya Damar muncul sebagai pemulih marwah. Ia diangkat sebagai Adipati Palembang pertama. Namun, di balik penobatan ini, terbaca pola klasik Majapahit: mengirim darah raja ke daerah rawan, sekaligus menyalurkan para senapati beraliran Syiwa-Buddha untuk mengikat loyalitas lokal.

Kronik Bali yang dikumpulkan C.C. Berg dan Th.G.Th. Pigeaud menunjukkan Arya Damar tidak hanya berkiprah di Palembang. Di luar Jawa, ia terhubung dengan upaya Majapahit menguasai Bali. Babad Ratu Tabanan menempatkannya sebagai leluhur Raja-Raja Tabanan, lewat keturunan Arya Yasan. Tradisi Bali mencatat gelar-gelar kyai (Kyai Nengah, Kyai Ketut, Kyai Dangin, dst.) sebagai penanda jalur keturunan Arya Damar.

Historiografi Madura — sebagaimana terekam dalam Silsilah Raja-Raja Madura — menempatkan Arya Damar sebagai akar dari Arya Menak Sunaya, leluhur para Cakraningrat di Bangkalan dan Ario Adikoro. Rangkaian nama seperti Kyai Demang Pelakaran, Kyai Adipati Pramono, dan Kyai Pragalbo menegaskan tradisi gelar kyai sebagai penanda darah biru sekaligus penuntun spiritual.

Tak berhenti di situ, Tedhak Poespanegara menuturkan bahwa melalui putranya, Raden Kusen Adipati Terung, Arya Damar menurunkan beberapa tokoh penting, di antaranya Arya Terung (Adipati Sengguruh) dan Arya Balitar (Adipati Blitar). Dari garis Raden Kusen pula lahir para Bupati di Gresik, Lamongan, Pasuruan, hingga Bangil. Nama-nama seperti Kyai Tumenggung Pusponegoro, Kyai Tumenggung Joyonegoro, hingga Kyai Ngabehi Yudhonegoro menelusuri akarnya pada satu sosok: sang pangeran Bhairawa yang meniti jalan dakwah.

Fase penting Arya Damar justru muncul ketika gelombang dakwah Islam menyeberang ke Sumatra. Menurut riwayat lokal, Sunan Ampel — yang berlayar dari Champa — sempat singgah di Palembang. Dari pertemuan inilah Arya Damar berpaling: meninggalkan jalur Bhairawa-Tantra, memeluk Islam, dan berganti nama Ario Abdillah. Perubahan nama ini bukan sekadar formalitas; ia adalah simbol penghapusan gelap Bhairawa, menukar darah dengan cahaya syahadat.

Jaringan dakwah Palembang bertaut erat dengan figur Rio Minak Usang Sekampung, alias Syarif Husin Hidayatullah, seorang penyebar Islam yang bermukim di Pulau Sekampung. Ia menikahkan putrinya, Nyai Sahilan, dengan Arya Damar. Keduanya melahirkan Raden Sahun bergelar Pangeran Pandanarang, cikal bakal Adipati Semarang yang kelak menurunkan Sunan Tembayat — penyebar Islam yang membangun jaringan di pedalaman Jawa.

Sejarah lokal Pedamaran mencatat nama Kholik Hamirullah, armada asal Jawa yang menjejak di Danau Pedamaran, diambil menantu oleh Rio Minak Usang. Ia diberi gelar Rio Damar, gelar yang melanggengkan memori Arya Damar di delta dan lebak Sumatra Selatan.

Penduduk di sekitar Danau Pedamaran adalah penganut ajaran Buddha yang keras. Syarif Husin Hidayatullah, meski gigih, ditolak mentah-mentah. Berbeda dengan Arya Damar: ia memahami relung batin rakyat, karena ia sendiri dididik dalam dunia Syiwa-Buddha aliran Bhairawa-tantra. Kepekaan ini membuatnya mampu meredam dendam spiritual, menjembatani nalar ajaran lama dengan laku syariat Islam.

Perjalanan Arya Damar adalah contoh bagaimana dendam sejarah, spiritualitas, dan kekuasaan melebur. Ia lahir sebagai anak buangan: hasil asmara rahasia, dibesarkan di pinggiran, mewarisi ilmu mistis yang pada zamannya ditakuti. Tetapi justru warisan ini membuatnya mampu menjinakkan bajak laut Cina, mendamaikan klan pedalaman, dan mematahkan pemberontakan Bhre Daha yang berpotensi memecah Majapahit lebih awal.

Islamisasi Palembang tidak bisa dilepaskan dari kearifan Arya Damar. Ia tahu bahwa Sriwijaya pernah menjadi pusat Mahayana-Buddha raksasa. Maka jalan dakwah tidak bisa frontal. Strategi pelan, mengikat menantu dengan penyebar Islam dari Arab, menempatkan para pengikut Bhairawa di lingkaran aman, hingga memberi gelar-gelar kyai bagi keturunan, adalah bentuk dialektika ideologi.

Jejak inilah yang menurunkan rantai genealogi besar: Raja-Raja Tabanan di Bali, Cakraningrat di Madura, Bupati Terung di Jawa Timur, Pandanarang di Semarang, hingga Sunan Tembayat di lereng gunung. Sebuah jalinan silsilah lintas pulau yang bertahan ratusan tahun.

Makam Ario Abdillah di Kebun Sahang, KM 4, Palembang — di seberang Makam Pahlawan — menjadi penanda sunyi pergulatan ini. Di satu sisi, ia adalah anak Majapahit yang dibuang ke hutan. Di sisi lain, penakluk bajak laut Cina yang menyelamatkan Palembang dari kejatuhan. Dan di ujung hidupnya, pelopor Islam di hulu Sumatra, pewaris semangat Sunan Ampel, penanam benih Wali Songo, yang silsilahnya merambat ke Bali, Madura, dan Jawa Tengah.

Arya Damar membuktikan bahwa sejarah Nusantara tidak berdiri pada garis lurus. Di sanalah dendam berdialog dengan spiritualitas, kesaktian Bhairawa tunduk pada dakwah Walisongo, dan para kyai menabur Islam di tanah-tanah bekas Bhairawa. Sebuah warisan yang hari ini menuntut kita untuk menengok jejak leluhur: bagaimana toleransi, kearifan, dan strategi kebudayaan pernah menumbuhkan damai di palung zaman yang bergejolak.


Topik

Hiburan, Seni dan Budaya Sejarah Sejarah Nusantara Syekh Siti Jenar sejarah islam



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Tulungagung Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Sri Kurnia Mahiruni