Jatim Times Network Logo
Poling Pilkada 2024 Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Poling Pilkada 2024
Ruang Sastra

Di Bawah Asuhan Ratu Dwarawati: Jejak Kebo Kenanga dan Kebo Kanigara, Pewaris Darah Pengging

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Nurlayla Ratri

31 - May - 2025, 08:10

Placeholder
Suasana khidmat kenduri bersih desa di Situs Tri Tingal, Desa Purworejo, Kecamatan Sanankulon, Kabupaten Blitar, pada Selasa, 6 Mei 2025. (Foto: Aunur Rofiq/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Dalam lembar sejarah transisi antara kejatuhan Majapahit dan kemunculan Islam sebagai kekuatan dominan di Tanah Jawa, tersembunyi narasi penting mengenai dua tokoh bangsawan muda dari Pengging—Raden Kebo Kenanga dan saudaranya, Raden Kebo Kanigara. Mereka bukan sekadar anak dari Prabu Andayaningrat, penguasa terakhir Kadipaten Pengging, tetapi juga cucu dari Prabu Brawijaya V, penguasa Majapahit. 

Dibesarkan oleh sang nenek, Ratu Dwarawati, permaisuri dari Champa, kisah mereka menyimpan banyak lapisan makna: pewarisan kekuasaan, transisi budaya, serta peran perempuan dalam sejarah Jawa.

Baca Juga : Pencuri di SDN 2 Sukoraharjo Ternyata Komplotan Residivis

Pengging—yang kini termasuk dalam wilayah Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah—pada mulanya merupakan sebuah kerajaan kecil di pedalaman Jawa yang diperintah oleh Prabu Andayaningrat.Dalam catatan tradisi lisan dan babad Jawa, beliau memiliki dua orang putra: Raden Kebo Kenanga dan Raden Kebo Kanigara. 

Setelah wafatnya Prabu Andayaningrat, status wilayah ini diturunkan dari kerajaan menjadi kadipaten. Wilayahnya dibagi dua menjadi Pengging Tua dan Pengging Muda, masing-masing dikelola oleh keturunan serta sentana yang dipercaya.

Ibu mereka, Retno Pembayun, permaisuri Prabu Andayaningrat, masih tinggal di Pengging dan mendampingi putra-putranya. Namun setelah beberapa waktu, sang permaisuri pun wafat, meninggalkan kedua putra tersebut dalam keadaan yatim piatu. Situasi ini kemudian menarik perhatian Prabu Brawijaya V, atau Sri Prabu Kertawijaya, penguasa Majapahit yang juga merupakan kakek dari kedua pangeran muda tersebut. Dengan kasih sayang yang mendalam, beliau mengangkat keduanya sebagai putra sendiri dan membawa mereka ke pusat Kerajaan Majapahit.

Didikan Raja Majapahit dan Permaisuri Campa

Di Majapahit, Raden Kebo Kenanga dan Raden Kebo Kanigara diasuh oleh Prabu Brawijaya dan permaisurinya, Ratu Dwarawati (juga dikenal sebagai Putri Campa). Ratu Dwarawati dikenal sebagai seorang perempuan bijaksana yang memeluk Islam dan menjadi muslimah yang taat. 

Dalam lintasan sejarah Majapahit yang panjang dan rumit, satu nama muncul sebagai penghubung antara kejayaan Hindu-Buddha dan kebangkitan Islam di tanah Jawa: Sri Kertawijaya. Setelah wafatnya Rani Suhita pada tahun 1447 M, adiknya ini naik takhta sebagai penguasa baru Majapahit dan dikenal dalam tradisi Jawa sebagai Prabu Brawijaya V. Di tangannya, Majapahit tidak hanya bertahan di tengah tekanan internal dan eksternal, tetapi juga memasuki fase historis yang menentukan—yakni perjumpaan terbuka dengan Islam.

Berbeda dengan pendahulunya yang menjaga jarak dari komunitas Muslim, Sri Kertawijaya justru merangkulnya. Istrinya berasal dari Campa dan Tionghoa, dua komunitas pesisir yang telah lama bersentuhan dengan Islam, dan keduanya dikenal sebagai Muslimah. Langkah ini bukan sekadar politik pernikahan, melainkan juga isyarat kultural dan ideologis bahwa kekuasaan Majapahit mulai terbuka pada pluralitas keagamaan baru yang tumbuh di pelabuhan-pelabuhan utama Nusantara.

Dari rahim pernikahan itu lahir generasi baru bangsawan Majapahit yang menjadi pelaku utama dalam penyebaran Islam. Di antara mereka adalah Arya Damar yang menjadi Adipati Palembang, Bhattara Katong yang memerintah Ponorogo, Arya Lembu Peteng di Pamadegan, Arya Menak Koncar di Lumajang, serta tokoh sentral Raden Patah di Demak. Nama-nama lain seperti Raden Bondan Kejawen (Kyai Ageng Tarub II) dan Raden Dhandhun Wangsaprana (Syekh Belabelu) memperlihatkan bagaimana darah raja bercampur dengan ruh dakwah Islam di berbagai penjuru Jawa dan Sumatra.

Tak berhenti pada aspek keluarga, keterbukaan Kertawijaya juga terlihat dari kebijakannya yang memberikan ruang politik kepada kaum Muslim. Arya Teja, seorang tokoh Muslim terkemuka, diangkat menjadi Adipati Tuban—kota pelabuhan penting yang telah menjadi pusat perniagaan Islam sejak abad ke-14. Sementara itu, ulama besar Ali Rahmatullah atau Sunan Ampel diberi legitimasi sebagai imam di Surabaya. Ini bukan hanya bentuk toleransi, melainkan rekognisi terhadap peran strategis komunitas Muslim dalam menjaga stabilitas dan regenerasi kekuasaan Majapahit.

Namun, masa transisi ini juga menyimpan bara dalam sekam. Sepeninggal Sri Kertawijaya pada tahun 1451 M, yang dimakamkan di Kertawijayapura—situs yang oleh sebagian masyarakat dipercaya sebagai makam Prabu Damarwulan—kerajaan segera terjerumus dalam konflik suksesi yang berkepanjangan. Putra-putra dari berbagai selir dan garis keturunan mulai memperebutkan legitimasi dan wilayah, memperlemah otoritas pusat dan membuka celah bagi kekuatan-kekuatan Islam lokal untuk bangkit secara independen.

Dalam perspektif historiografis, pemerintahan Sri Kertawijaya menandai pergeseran mendasar dalam orientasi Majapahit. Ia bukan sekadar raja yang mempertahankan takhta, tetapi pemimpin yang membuka gerbang pertemuan antara peradaban lama dan semangat baru. Islam tidak lagi berada di luar tembok kekuasaan, melainkan telah masuk ke jantung istana, menyiapkan panggung bagi kemunculan kerajaan-kerajaan Islam di kemudian hari—terutama Kesultanan Demak yang kelak dipimpin oleh putranya sendiri: Raden Patah.

Dengan demikian, Kertawijaya bukan hanya saksi perubahan zaman, tetapi juga aktor sentral dalam proses transformasi kebudayaan Jawa. Di tangannya, Majapahit memang tidak lagi dalam puncak kejayaan militer, tetapi justru mewariskan pengaruh baru yang jauh lebih bertahan lama: Islam yang membumi dalam darah biru, dalam bahasa kekuasaan, dan dalam naskah-naskah sejarah masa depan.

Setelah suaminya wafat, Ratu Dwarawati menerima amanah dari Prabu Brawijaya untuk tetap tinggal di Majapahit dan mengasuh keturunan serta sentana kerajaan. Ia juga diminta agar mendidik mereka dalam ajaran agama Islam. Dalam konteks ini, kita menyaksikan peran transformatif dari seorang permaisuri yang bukan hanya pengasuh secara biologis, tetapi juga pembentuk akidah dan spiritualitas generasi baru bangsawan Majapahit.

Keponakan dari Ratu Dwarawati dikenal luas sebagai Raden Rahmat, kelak menjadi Sunan Ampel—salah satu dari Walisongo yang paling awal dalam menyebarkan Islam di Tanah Jawa. Dari keturunan ini pula lahir Sunan Bonang (Jeng Susuhunan Benang), cucunya yang menjadi murid utama sekaligus penerus ajaran Sunan Ampel.

Raden Kebo Kenanga dan Raden Kebo Kanigara, yang besar bersama Sunan Bonang di bawah asuhan Ratu Dwarawati, memiliki hubungan darah sekaligus spiritual yang erat. Mereka disebut sebagai sepupu dan hidup dalam satu lingkungan religius di Ampel Gading dan Benang, yang kelak menjadi pusat-pusat pendidikan Islam dan dakwah.

Adipati Mandura, Lembupeteng, yang juga bagian dari jaringan keluarga besar ini, turut menetap di Benang. Ia memperlihatkan rasa sayang yang mendalam terhadap Raden Kebo Kenanga dan Raden Kebo Kanigara, serta turut membina mereka dalam syariat Islam. Kebersamaan mereka menunjukkan bagaimana transformasi kekuasaan Majapahit tidak serta merta musnah, melainkan bermetamorfosis menjadi kekuatan spiritual yang baru.

Pasca wafatnya Prabu Brawijaya, Ratu Dwarawati melanjutkan pengabdiannya sebagai tokoh pengayom spiritual dan pemersatu trah Majapahit. Beliau menetap bersama para cucunya, termasuk Raden Kebo Kenanga, Raden Kebo Kanigara, dan Sunan Bonang. Dalam masa-masa itu, ia menjadi figur pemersatu di tengah arus perubahan besar yang melanda struktur sosial-politik Jawa.

Momen penting terjadi ketika Ratu Dwarawati wafat karena usia lanjut dan dimakamkan di Karang Kemuning. Upacara pemakaman dilakukan dengan khidmat, menampilkan perpaduan antara tradisi lama dan praktik keagamaan baru.

Wafatnya Ratu Dwarawati menjadi momen duka yang besar bagi keturunan dan sentana Majapahit. Ia dikenang bukan hanya sebagai permaisuri, tetapi juga sebagai ibunda spiritual. Upacara pemule (peringatan kematian) yang diadakan ditandai dengan tilawah Al-Qur’an, tahlil, tasmi’ dan istighatsah—suatu tanda bahwa Islam telah menjadi jantung kebudayaan baru di Jawa.

Dari Pengging ke Dunia Wali

Kematian Ratu Dwarawati menjadi batas simbolis antara dua era: akhir kebesaran Majapahit dan awal dominasi Islam melalui Kesultanan Demak. Negara Demak, yang berdiri di atas reruntuhan Majapahit, tumbuh menjadi kekuatan dominan. Seluruh wilayah bekas Majapahit tunduk pada kekuasaan Demak, dan para penganut kepercayaan lama perlahan-lahan berganti haluan menjadi Muslim. Di sini kita menyaksikan proses transisi keagamaan paling besar dalam sejarah Jawa.

Pada masa itu, kekuasaan Demak berkembang pesat sebagai kelanjutan spiritual dan politik dari Majapahit. Seluruh Tanah Jawa, bahkan bekas jajahan Majapahit, mengakui kekuasaan Demak. Islam menjadi agama resmi dan dominan. Para ajar, sogata, resi, dan begawan yang sebelumnya menjadi pengemban ajaran Hindu-Buddha kini banyak yang beralih menjadi ulama, kiai, dan mursyid sufi.

Baca Juga : Perjanjian 22 Juni 1830: Saat Pakubuwana VII Menyerahkan Mancanegara

Pertemuan besar para wali di Demak menjadi bukti konsolidasi kekuatan Islam di Jawa. Pertemuan ini dihadiri oleh delapan martabat wali: Sunan Bonang (Kutub Rabbani), Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga (Seh Malaya), Sunan Kudus, Sunan Murya, Sunan Majagung, dan Sunan Derajad, serta ditambah satu lagi: Panembahan Senopati Jimbun sebagai Wali Umran. Mereka adalah pilar dakwah yang melanjutkan visi dan misi spiritual Majapahit yang telah diislamkan.

Kehadiran para Adipati dari seluruh penjuru Jawa—Palembang, Lumajang, Blambangan, Terung, Panataran, Surabaya, Madura, dan lainnya—menunjukkan bahwa struktur kekuasaan lama tidak runtuh, melainkan dibentuk ulang dalam bingkai spiritual Islam. Jejaring ini diperkuat oleh hubungan darah dan pernikahan antar trah Majapahit, serta oleh kesamaan misi dakwah dan keadaban baru.

Kisah Raden Kebo Kenanga dan Raden Kebo Kanigara bukan sekadar kisah dua anak yatim piatu bangsawan. Mereka adalah simbol peralihan: dari dinasti Hindu-Buddha ke jejaring spiritual Islam. Dari kekuasaan kerajaan ke struktur kadipaten yang Islami. Dari pusat kekuasaan Majapahit ke simpul-simpul dakwah para wali di Benang, Ampel, dan Demak.

Pengging, sebagai titik mula cerita ini, menjadi penting dalam memahami sejarah Islamisasi Jawa. Ia bukan hanya panggung kecil dari politik lokal, tetapi menjadi laboratorium transisi besar dari zaman Majapahit menuju Jawa Islam. Anak-anak Prabu Andayaningrat, bersama Sunan Ampel dan Sunan Bonang, mewakili generasi yang menjembatani dua dunia: dunia lama yang agung dan dunia baru yang bercahaya.

Kisah Raden Kebo Kenanga dan Kebo Kanigara adalah potret transisi sejarah yang langka: dua putra Kadipaten yang yatim-piatu, diasuh seorang permaisuri agung yang menolak meninggalkan Majapahit, dibesarkan di lingkungan Wali Sanga, dan menjadi simpul dari silsilah Majapahit-Islam di Jawa.

Jejak mereka adalah bagian dari ikhtiar besar pembentukan peradaban baru. Di tangan Ratu Dwarawati, Islam disampaikan tidak dengan senjata atau paksaan, tetapi dengan kasih sayang, pendidikan, dan pemeliharaan trah. Di pundak Kebo Kenanga dan Kebo Kanigara, tersimpan memori Majapahit dan harapan Islam. Dan di tanah Benang, lahirlah ikatan yang menjahit masa lalu dan masa depan dalam satu kain sejarah besar bernama Jawa.

Narasi ini memperlihatkan bahwa Islamisasi Jawa tidak semata-mata akibat penaklukan militer, melainkan lebih sebagai hasil dari asimilasi trah bangsawan dengan spiritualitas Islam. Ketika para bangsawan seperti Kebo Kenanga dan Kebo Kanigara memilih ikut dalam gerakan Islam, mereka bukan sedang meninggalkan leluhur, tetapi justru merawatnya dalam wajah baru. Islam menjadi bentuk baru dari kebangsawanan spiritual Jawa, dan Pengging menjadi titik tolak penting dalam sejarah itu.

Dengan demikian, peristiwa-peristiwa yang melibatkan anak-anak Prabu Andayaningrat, Prabu Brawijaya, dan Ratu Dwarawati bukanlah cerita domestik keluarga istana semata. Ia adalah fragmen penting dari sejarah besar peralihan peradaban di Jawa. Dari reruntuhan istana Hindu-Buddha lahir kerajaan Islam. Dari putra-putra kadipaten lahir jejaring wali yang menjadi fondasi peradaban Jawa Islam. Dan dari Pengging, kisah ini bermula.

Kebo Kenanga: Pewaris Majapahit yang Memilih Jalan Spiritual

Ki Ageng Pengging, yang bernama asli Raden Kebo Kenanga, adalah putra Prabu Andayaningrat dari Kadipaten Pengging serta cucu Prabu Brawijaya V Majapahit dari garis ibu, Retna Pembayun. Ia dibesarkan dalam lingkaran kekuasaan Majapahit dan memiliki peluang besar untuk melanjutkan kejayaan trah leluhurnya. Namun, pasca keruntuhan Majapahit dan menguatnya hegemoni Kesultanan Demak, ia justru memilih menyingkir dari arus perebutan kekuasaan. Sementara itu, saudaranya, Raden Kebo Kanigara, meninggalkan Pengging dan memilih jalan spiritual. Dalam usia muda, ia memutuskan menjadi pertapa dan mengembara meninggalkan dunia keduniawian.

Setelah Sultan Demak II wafat dan Raden Trenggana naik takhta, Ki Ageng Pengging bersama saudaranya Kebo Kanigara menolak mengabdi pada Demak. Mereka kembali ke Pengging (kini wilayah Boyolali) dan hidup sebagai rakyat biasa. Ki Ageng Pengging memilih menjadi petani dan santri, mencerminkan transisi sosial-politik dari bangsawan Hindu-Buddha ke muslim spiritualis.

Ki Ageng Pengging dibesarkan oleh Dewi Dwarawati, permaisuri Prabu Brawijaya V, yang juga dikenal sebagai Ratu Champa, seorang muslimah salehah dan bibi Sunan Ampel. Hubungan ini menempatkan Ki Ageng Pengging dalam satu garis keluarga besar dengan tokoh-tokoh penting Islamisasi Jawa seperti Bathara Katong (pendiri Ponorogo) dan Sunan Ampel.

Ia berguru kepada Syekh Siti Jenar, tokoh sufi yang mengajarkan konsep manunggaling kawula gusti. Dalam proses spiritual ini, Ki Ageng Pengging bergabung dalam jaringan ulama dan intelektual seperti Ki Gede Tingkir, Ki Gede Banyubiru, dan lainnya. Kelompok ini turut membentuk basis tasawuf dan perlawanan kultural terhadap hegemoni politik Islam formal Demak.

Pilihan hidup Ki Ageng Pengging untuk menjadi petani sekaligus santri bukanlah sekadar pelarian, melainkan perwujudan dari sikap batin yang mendalam. Ia memilih jalan sunyi, menjauh dari hiruk-pikuk kekuasaan, dan menapaki kehidupan spiritual di tengah rakyat jelata. Di Pengging, ia membangun kehidupan baru: menanam padi, membimbing santri, mendirikan langgar, dan memakmurkan masjid. Dari hari ke hari, kawasan itu berkembang menjadi pusat pembelajaran Islam yang hidup dan egaliter.Namun, justru dari kesalehan dan pengaruhnya yang meluas, benih-benih kecurigaan mulai tumbuh.

Dalam Serat Kandaning Ringgit Purwa, Babad Tanah Jawi, dan Babad Pengging, digambarkan bahwa Ki Ageng Pengging memilih jalan sunyi: hidup sebagai petani dan kiai desa, membina pesantren rakyat, dan membimbing masyarakat dalam nilai-nilai spiritual yang dalam. Namun, kesederhanaannya justru menciptakan keresahan di istana Demak. Kemunculan sosok kharismatik dengan pengaruh luas, yang tidak tunduk pada struktur otoritas politik–keagamaan resmi Demak, ditafsirkan sebagai ancaman. Kekhawatiran ini diperparah oleh kedekatannya dengan ajaran Syekh Siti Jenar, tokoh kontroversial yang oleh para Wali dituding menyebarkan paham manunggaling kawula-Gusti secara harfiah—suatu doktrin yang oleh sebagian dianggap membahayakan legitimasi kekuasaan.

Sultan Trenggana, yang saat itu sedang mengonsolidasikan Demak sebagai kekuatan Islam sentral di Jawa, tidak tinggal diam. Ia mengutus Sunan Kudus, ulama fiqih terkemuka yang dikenal keras dalam menjaga ortodoksi Islam, untuk memeriksa dan—jika perlu—menindak Ki Ageng Pengging. Pertemuan keduanya di Pengging menjadi babak akhir dari sebuah sejarah yang muram. Dalam babad disebutkan bahwa terjadi debat terbuka antara Ki Ageng Pengging dan Sunan Kudus. Tuduhan disampaikan bahwa Ki Ageng menyebarkan ajaran menyesatkan dan secara diam-diam membangun kekuatan baru yang bisa mengancam Demak.

Namun, Ki Ageng Pengging membantah keras. Ia menyatakan bahwa dirinya bukan pemberontak, tidak berambisi mendirikan kerajaan baru, dan justru telah menanggalkan seluruh hasrat duniawi demi jalan spiritual yang sejati. Tetapi, dalam tatanan kekuasaan yang mencurigai segala bentuk otoritas di luar kendali istana, pembelaannya sia-sia. Maka, seperti tertulis dalam Serat Kandaning Ringgit Purwa, eksekusi pun dilaksanakan.

Dalam satu versi yang populer, Ki Ageng Pengging bahkan memohon agar Sunan Kudus sendiri yang mengakhiri hidupnya, dengan menyayat bagian tubuhnya menggunakan keris. Ia menyatakan bahwa kematian bukanlah akhir, melainkan transisi menuju kesempurnaan batin. Setelah darah mengalir dari lengannya yang disayat, ia wafat dalam keadaan duduk tafakur—sunyi, damai, dan tanpa perlawanan.

Kini, kisah Ki Ageng Pengging hidup dalam dua wajah sejarah: di satu sisi, ia dikenang sebagai korban kesewenang-wenangan politik keagamaan; di sisi lain, sebagai tokoh spiritual yang teguh menolak tunduk pada tafsir tunggal otoritas agama. Namanya tidak tenggelam dalam kabut waktu. Sebab, putranya—Raden Jaka Tingkir, yang kelak bergelar Sultan Hadiwijaya—mendirikan Kesultanan Pajang, sebuah dinasti yang menjadi jembatan kelahiran Mataram Islam. Ironisnya, dua kerajaan besar dalam sejarah Islam Jawa justru lahir dari rahim seorang tokoh yang pernah dicap sesat dan dianggap ancaman oleh kekuasaan.


Topik

Ruang Sastra Pengging kebo kenanga kebo kanigara



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Tulungagung Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Nurlayla Ratri