JATIMTIMES - Pada suatu masa ketika Demak sedang berkembang sebagai kerajaan Islam pertama di tanah Jawa, seorang tokoh yang memiliki darah kebangsawanan memilih jalan yang tidak biasa. Dialah Ki Ageng Pengging, seorang putra dari Pengging—sebuah kadipaten yang dahulu pernah berjaya di bawah kekuasaan Majapahit.
Namun, alih-alih mengejar kekuasaan dan tahta, Ki Ageng Pengging justru memilih untuk menjalani kehidupan sebagai seorang santri dan petani, meninggalkan ambisi politik yang biasanya melekat pada keturunan bangsawan.
Baca Juga : Viral Tren Cuci Uang di TikTok, Bolehkah Menyetrika Uang Kertas?
Pilihan hidup Ki Ageng Pengging tidak terlepas dari konteks sejarah yang melingkupinya. Pasca-runtuhnya Majapahit dan berdirinya Kesultanan Demak, terjadi pergeseran politik yang membuat banyak bangsawan Hindu-Buddha mengalami transformasi budaya dan spiritual. Ki Ageng Pengging, meskipun berasal dari lingkungan aristokrasi, justru mengikuti jalur spiritual yang lebih dekat dengan ajaran Islam dan kehidupan sederhana.
Latar Belakang Sejarah Pengging
Pengging, sebelum menjadi kadipaten, adalah sebuah kerajaan yang memiliki pengaruh besar di kawasan pedalaman Jawa. Saat Majapahit mulai melemah, daerah-daerah bawahan seperti Pengging mengalami ketidakpastian politik. Dalam situasi ini, Kesultanan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah mulai memperluas pengaruhnya. Setelah Demak meneguhkan kekuasaannya, wilayah-wilayah seperti Pengging perlahan kehilangan statusnya sebagai pusat kekuatan dan hanya menjadi daerah bawahan.
Sebagai putra Andayaningrat—penguasa Pengging sekaligus menantu Brawijaya V—Raden Kebokenanga (nama asli Ki Ageng Pengging) memiliki peluang besar untuk menghidupkan kembali kejayaan keluarganya. Namun, politik Demak tidak memberinya ruang untuk itu. Bahkan setelah Sultan Demak II wafat, takhta justru jatuh ke tangan Raden Trenggana (Sultan Demak III). Kebo Kenanga dan saudaranya, Kebo Kanigara, merasa enggan mengabdi kepada sultan Demak dan memilih hidup sebagai rakyat biasa dengan kembali ke Pengging (kini wilayah Kabupaten Boyolali).
Alih-alih mencari perlawanan secara militer atau politik, Raden Kebo Kenanga justru memilih untuk menjauh dari istana, menanggalkan ambisi duniawi, dan menjalani kehidupan sebagai santri yang tekun beribadah serta petani yang bekerja di sawah.
Ki Ageng Pengging: Pewaris Majapahit di Wilayah Pengging
Ki Ageng Pengging, atau Raden Kebo Kenanga, merupakan putra Andayaningrat, adipati Pengging yang gugur dalam perang antara Demak dan Majapahit. Menariknya, dalam pertempuran tersebut, Andayaningrat bertarung satu lawan satu dengan Sunan Ngudung, ayah Sunan Kudus. Pertempuran ini menjadi simbol benturan besar antara dua kekuatan: sisa-sisa kejayaan Majapahit dan pengaruh Islam yang semakin kuat di tanah Jawa.
Sebagai bagian dari keluarga Kerajaan Majapahit, Andayaningrat menikah dengan Retna Pembayun, putri Prabu Brawijaya V dari pernikahannya dengan Dewi Dwarawati. Dari pernikahan ini, lahir tiga putra: Raden Kebo Kanigara, Raden Kebo Kenanga -yang kelak dikenal sebagai Ki Ageng Pengging- dan Raden Kebo Amiluhur, yang meninggal di usia muda.
Setelah kedua orang tuanya wafat, Raden Kebo Kenanga dan Raden Kebo Kanigara dibesarkan di istana Majapahit di bawah asuhan Dewi Dwarawati, permaisuri Dyah Kertawijaya (Brawijaya V).
Dewi Dwarawati, yang juga dikenal sebagai Ratu Champa, merupakan seorang putri dari Champa yang menikah dengan Prabu Brawijaya V (Dyah Kertawijaya) dan menjadi permaisuri Majapahit. Ia juga merupakan bibi dari Sunan Ampel atau Raden Rahmat, yang dikenal sebagai salah satu penyebar Islam di Jawa. Hubungan ini menunjukkan bahwa Dewi Dwarawati berasal dari keluarga bangsawan Champa yang memiliki keterkaitan erat dengan jaringan ulama Islam di Jawa.
Dewi Dwarawati dikenal sebagai seorang muslimah yang saleh, meskipun hidup di lingkungan istana Majapahit yang masih kuat dengan tradisi Hindu-Buddha. Pada usia senjanya, ia tidak hanya menjalani kehidupan dengan penuh ketakwaan, tetapi juga berperan sebagai pembimbing spiritual bagi keluarganya. Di dalam istana, ia mengasuh dan mendidik kedua cucunya, Raden Kebo Kanigara dan Raden Kebo Kenanga, dengan nilai-nilai Islam yang mendalam.
Dengan kasih sayang dan kebijaksanaannya, ia menanamkan ajaran tauhid serta membimbing mereka dalam memahami ajaran agama secara lebih mendalam. Peran Dewi Dwarawati dalam membentuk pemahaman keislaman cucu-cucunya kelak berpengaruh besar terhadap perjalanan hidup mereka, terutama bagi Raden Kebo Kenanga yang kemudian dikenal sebagai Ki Ageng Pengging, tokoh yang turut berperan dalam penyebaran Islam di tanah Jawa.
Sebagai permaisuri Prabu Brawijaya V, Dewi Dwarawati melahirkan beberapa keturunan penting, termasuk Retna Pembayun dan Bathara Katong. Retna Pembayun kemudian menikah dengan Adipati Andayaningrat, penguasa Pengging, dan melahirkan Raden Kebo Kanigara, Raden Kebo Kenanga (Ki Ageng Pengging) serta Raden Kebo Amiluhur. Dengan demikian, Raden Kebo Kenanga adalah cucu dari Dewi Dwarawati. Sementara itu, Sunan Ampel, yang merupakan keponakan Dewi Dwarawati, adalah sepupu dari Retna Pembayun. Hal ini berarti Sunan Ampel memiliki hubungan kekerabatan dengan Raden Kebo Kenanga dan Raden Kebo Kanigara, yang masih berada dalam lingkup keluarga besar Majapahit.
Bathara Katong, yang dikenal sebagai pendiri Ponorogo, adalah putra Dewi Dwarawati dari pernikahannya dengan Prabu Brawijaya V. Dengan demikian, ia adalah saudara dari Retna Pembayun dan paman dari Raden Kebo Kenanga serta Raden Kebo Kanigara. Hubungan ini menunjukkan bahwa Bathara Katong dan Kebo Kenanga berasal dari garis keturunan yang sama, yakni Majapahit, tetapi memiliki peran yang berbeda dalam sejarah Islamisasi Jawa.
Bathara Katong dikenal sebagai sosok yang membawa Islam ke Ponorogo. Sementara Kebo Kenanga berperan dalam perkembangan Islam di wilayah Pengging sebelum akhirnya dieksekusi oleh Sultan Trenggana.
Dari hubungan nasab ini, terlihat bahwa Dewi Dwarawati memainkan peran penting dalam jaringan politik dan keagamaan di Jawa. Sebagai permaisuri Majapahit dan bibi Sunan Ampel, ia menjadi penghubung antara keluarga bangsawan Hindu-Buddha Majapahit dan jaringan Wali Songo yang membawa Islam ke tanah Jawa. Nasab ini menjelaskan bagaimana Kebo Kenanga, Sunan Ampel, dan Bathara Katong masih berada dalam satu lingkup keluarga besar yang memiliki pengaruh besar dalam sejarah Islamisasi dan politik di Jawa.
Kedekatan dengan Syekh Siti Jenar
Di masa itu, Jawa tengah mengalami perkembangan pesat dalam dunia tasawuf dan pemikiran Islam esoteris. Salah satu tokoh yang paling kontroversial adalah Syekh Siti Jenar, seorang sufi yang mengajarkan konsep manunggaling kawula gusti, yakni penyatuan hamba dengan Tuhan. Pemikirannya yang radikal membuatnya bentrok dengan para wali dan ulama Demak, yang lebih berorientasi pada syariat formal.
Ki Ageng Pengging, yang telah memilih jalan spiritual, tertarik dengan ajaran Syekh Siti Jenar. Ia pun berguru langsung kepada sang wali di Lemahbang. Dalam pertemuan-pertemuan itu, ia menyerap ilmu tasawuf tingkat tinggi dan mendapatkan pemahaman mendalam tentang hakikat kehidupan dan ketuhanan.
Banyak sahabat Ki Ageng Pengging juga ikut dalam perjalanan spiritual ini. Di antaranya Ki Gede Banyubiru, Ki Gede Getasaji, Ki Gede Balak, Ki Gede Butuh, Ki Gede Jati, Ki Gede Tingkir, dan banyak lainnya. Persaudaraan ini bukan sekadar perkumpulan spiritual, tetapi juga membentuk jaringan intelektual dan kultural yang akan memengaruhi perkembangan Islam di Jawa.
Kehidupan sebagai Petani dan Santri
Baca Juga : Perbankan Syariah Ikut Terdampak Lesunya Perekonomian Indonesia, Berharap Bangkit di Triwulan Kedua
Setelah sekian lama berguru kepada Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging kembali ke daerahnya dan menjalani kehidupan sederhana namun penuh kebijaksanaan.
Ia tidak lagi melihat dirinya sebagai bangsawan yang berhak atas takhta, melainkan sebagai seorang manusia yang harus mengabdi kepada Tuhan melalui kerja dan ibadah. Sehari-hari, ia menghabiskan waktunya di sawah bersama masyarakat, mengolah tanah, dan mengajarkan nilai-nilai agama Islam kepada penduduk sekitar.
Namun, wibawanya tetap besar. Penduduk Pengging dan Pajang masih menganggapnya sebagai sosok pemimpin spiritual. Dengan 3.000 pengikut setia, ia tetap dihormati sebagai tokoh besar meskipun tidak lagi memegang kekuasaan politik.
Pada masa itu, Ki Ageng Pengging, yang seharusnya mewarisi kedudukan sebagai raja atau adipati di Pengging, justru memilih untuk menanggalkan seluruh status kebangsawanannya. Alih-alih hidup dalam kemewahan atau mendirikan istana sebagaimana layaknya seorang penguasa, ia justru menjalani kehidupan sederhana di tengah masyarakat. Di Pengging, tidak ada istana kerajaan, dan Ki Ageng Pengging lebih memilih tinggal di rumah biasa, jauh dari kemegahan istana.
Ia berbaur tanpa sekat dengan para petani, menjalani kehidupan sebagai bagian dari mereka, serta mengajarkan ajaran Islam di masjid setempat. Keputusannya ini mencerminkan sikapnya yang lebih mengutamakan nilai-nilai spiritual dan sosial daripada ambisi kekuasaan, menjadikannya sosok yang dihormati dan dicintai oleh masyarakat Pengging.
Benturan dengan Kesultanan Demak
Namun, keputusan Ki Ageng Pengging untuk mengikuti ajaran Syekh Siti Jenar membawa konsekuensi berat. Di mata elite Demak, ajaran Syekh Siti Jenar dianggap menyimpang dari Islam ortodoks yang diajarkan oleh para wali seperti Sunan Kudus dan Sunan Giri.
Demak, yang saat itu dipimpin oleh Sultan Trenggana, merasa ajaran Syekh Siti Jenar berbahaya bagi stabilitas kerajaan. Akhirnya, Syekh Siti Jenar ditangkap dan dijatuhi hukuman mati atas tuduhan menyebarkan ajaran yang menyesatkan.
Ki Ageng Pengging, sebagai salah satu murid utama Syekh Siti Jenar, juga tidak luput dari ancaman. Meskipun ia tidak melakukan perlawanan terbuka, keberadaannya tetap dianggap sebagai ancaman potensial bagi Kesultanan Demak.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa Ki Ageng Pengging dieksekusi atas perintah Demak. Sementara versi lain menyatakan bahwa ia menghilang secara misterius, memilih hidup dalam penyamaran seperti layaknya seorang pertapa.
Warisan Ki Ageng Pengging
Meskipun akhirnya ia tidak berkuasa secara politik, Ki Ageng Pengging meninggalkan warisan spiritual dan intelektual yang sangat berharga. Ia dianggap sebagai penerus ajaran Syekh Siti Jenar yang mengajarkan kebebasan berpikir dalam Islam.
Lebih dari itu, ia juga dikenal sebagai ayah dari Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir), pendiri Kesultanan Pajang. Dengan demikian, meskipun ia memilih jalan santri dan petani, darah kebangsawanannya tetap mengalir dalam sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.
Bagi masyarakat Jawa, kisah Ki Ageng Pengging adalah simbol perlawanan terhadap kemapanan, tetapi bukan dengan kekerasan, melainkan dengan spiritualitas dan pengabdian kepada rakyat. Ia menunjukkan bahwa seorang raja tidak selalu harus memimpin dari atas tahta, tetapi bisa juga membimbing rakyat dari sawah dan surau.
Kisah Ki Ageng Pengging adalah contoh unik dalam sejarah Jawa: seorang bangsawan yang memiliki kesempatan untuk berkuasa, tetapi justru memilih jalan kesederhanaan dan spiritualitas.
Keputusannya untuk meninggalkan politik dan menjadi santri serta petani menunjukkan bahwa kekuasaan sejati bukan terletak pada singgasana, tetapi pada kebijaksanaan dan ketulusan hati.
Dalam tradisi Islam Jawa, ia tetap dikenang sebagai seorang wali sekaligus seorang petani, bukti bahwa jalan kepemimpinan bisa hadir dalam berbagai bentuk—tidak hanya dalam bentuk kerajaan, tetapi juga dalam bentuk kesalehan dan kebijaksanaan.
Sejarah telah membuktikan bahwa pilihan Ki Ageng Pengging bukanlah sebuah kekalahan, melainkan sebuah kemenangan yang lebih tinggi -kemenangan atas ego dan dunia.