JATIMTIMES - Siapa peran pemuda yang merobek kain biru pada bendera Belanda saat pertempuran 10 November 1945 di Hotel Yamato Surabaya atau Hotel Majapahit saat ini? Jawaban atas pertanyaan ini belum dijelaskan secara gamblang pada buku-buku sejarah yang beredar.
Hal ini diungkap Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Prof Katjung Maridjan saat berbicara pada Orasi Kebangsaan: Resolusi Jihad Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy'ari Sebagai Fakta Sejarah Berdirinya Republik Indonesia di Aula Ternate Aseec Kampus B Unair Surabaya.
Baca Juga : Mengenal Musik Keroncong: Perpaduan Budaya Indonesia dan Portugis
Menurutnya, langkah berani dan inisiatif tak terduga dari para pemuda yang naik ke atas hotel tempat bendera itu dikibarkan perlu mendapat tempat dalam catatan sejarah, terutama di buku-buku sejarah.
Alasannya, tidak semua pejuang saat itu memiliki inisiatif dengan tindakan berani melakukan hal tersebut. Mereka yang naik ke Hotel Yamato tahu betul risiko terkena timah panas penjajah yang ingin kembali merebut Surabaya.
Prof Katjung menjabarkan, saat itu perlawanan besar justru dilakukan oleh banyak organisasi masyarakat.
"Di Jawa Timur perlawanan lebih besar lantaran didukung Fatwa Resolusi Jihad yang dikeluarkan Hadratusyaikh KH Hasyim Asy'ari," tuturnya.
Ulama dan santri se-Jawa dan Madura tumpah ruah di Surabaya. Ini yang membuat pasukan terheran-heran lantaran perlawanan seakan tidak ada habisnya.
"Saya kira perlawanan rakyat yang dikomandani Bung Tomo tidak akan hebat kalau tidak ada peran ulama dan tidak didukung adanya Resolusi Jihad yang menegaskan berperang melawan penjajah wajib hukumnya," katanya.
Baca Juga : IWAPI Kabupaten Malang Dorong Pelaku Usaha untuk Ekspor
Di sinilah kemudian, lanjut dia, peran pemuda-pemuda dari berbagai kalangan sangat menonjol salah satunya pemuda Ansor yang melakukan perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato.
Namun, ujarnya, ini tidak ditulis dalam buku sejarah. "Mungkin ulama dan santri waktu itu memang cukup ikhlas sehingga tidak memikirkan soal fakta sejarah ke depan," kata dia.
Untuk itu, lanjut Prof Katjung dirinya sepakat adanya revisi penulisan sejarah. Terutama mengenai adanya Resolusi Jihad yang berperan cukup vital dalam berdirinya Indonesia.
"Ada banyak buku sejarah, namun lagi-lagi peran ulama dan santri tidak dimunculkan, makanya perlu kita revisi," kata dia.