Kaki Terpotong, Iman Tak Terguncang: Kisah Menggetarkan Urwah bin Zubair

13 - Oct - 2025, 09:20

Ilustrasi sosok Urwah bin Zubair (ist)

JATIMTIMES - Dalam sejarah Islam, nama Urwah bin Zubair bukan sekadar tercatat sebagai ulama besar, tetapi sebagai simbol kesabaran yang melampaui batas manusia. Di tengah luka dan kehilangan yang berlapis, ia tetap berdiri tegak, dengan hati yang berserah sepenuhnya pada Allah.

Lahir di Madinah pada tahun 23 Hijriah (sekitar 643 Masehi), Urwah tumbuh di tengah keluarga yang namanya harum di kalangan sahabat Nabi. Ia adalah putra dari Zubair bin Awwam, sahabat dekat Rasulullah yang dijuluki Hawari Rasulillah, pembela setia Nabi Muhammad SAW. Ibunya, Asma binti Abu Bakar, adalah saudari Aisyah R.A., istri Rasulullah. Dari garis keturunan ini, Urwah mewarisi bukan hanya darah, tapi juga cahaya keilmuan dan keimanan yang menuntunnya sepanjang hidup.

Baca Juga : Kerap Gunakan Pin Kemenhan, Begini Penjelasan Yai Mim

Sejak muda, Urwah dikenal haus ilmu. Ia tumbuh dalam suasana rumah yang dipenuhi hikmah, kisah, dan nilai-nilai keislaman. Hubungannya yang dekat dengan bibinya, Aisyah, menjadikannya salah satu perawi hadis paling terpercaya dari beliau. Tak heran bila kelak namanya tercatat di antara “Tujuh Fuqaha Madinah”, kelompok ulama tabi’in paling berpengaruh pada zamannya.

Namun, perjalanan hidupnya tak selalu dipenuhi cahaya. Suatu ketika, dalam perjalanan menuju Damaskus untuk menemui Khalifah Walid bin Abdul Malik, Urwah menderita penyakit ganas pada kakinya. Seseorang dari kerajaan yang memahami tentang kesehatan, memastikan satu-satunya cara untuk menyelamatkan nyawanya hanyalah amputasi.

Ia ditawari untuk meminum arak agar tak merasakan sakit, namun Urwah menolak tegas. “Aku tidak akan meminum sesuatu yang menghilangkan akalku, sementara aku tahu Allah yang memberiku ujian ini,” ujarnya dengan keyakinan bulat. Ia hanya meminta satu hal: agar tindakan itu dilakukan ketika ia sedang shalat, saat jiwanya paling dekat dengan Tuhan.

Ketika pedang bedah mulai bekerja, Urwah tetap berdiri teguh dalam kekhusyukan. Tak ada jeritan, hanya bisikan zikir yang keluar dari bibirnya. Usai operasi, ia pingsan sejenak, lalu tersadar dan memerintahkan agar kakinya dimandikan, dikafani, lalu dikuburkan dengan hormat. Dalam doanya, ia berkata lirih,

“Ya Allah, Engkau telah mengambil satu anggota tubuhku. Berilah aku kesabaran, dan jangan biarkan aku terjerumus dalam kemaksiatan.”

Namun tak berhenti di sana, di hari yang sama anak laki-lakinya, Muhammad, meninggal dunia akibat terjatuh dari atap istana khalifah. Dua kehilangan besar dalam satu waktu, tapi Urwah tidak mengeluh. Ia hanya berkata,

Baca Juga : Gebyar Budaya Mataraman, Wayang Jadi Ruang Hiburan dan Guyub Rukun Warga Jatim

“Ya Allah, Engkau mengambil satu anakku, tapi Engkau masih menyisakan yang lain. Engkau mengambil satu anggota tubuhku, namun masih menyisakan tiga yang lain.”

Dari peristiwa itu, Urwah tak menjadi rapuh. Ia memilih untuk kembali ke Madinah, melanjutkan dakwah, menulis, dan mengajarkan ilmu kepada murid-muridnya. Ia dikenal pula sebagai salah satu penulis awal sejarah peperangan Nabi (Maghazi), kontribusi besar bagi dunia keilmuan Islam.

Kisah hidupnya diabadikan dalam berbagai karya klasik, seperti Al-Maraḍ wa al-Kaffarat karya Ibnu Abi al-Dunya, Tarikh Ibnu Asakir, Siyar A‘lam an-Nubala karya Adz-Dzahabi, dan Hilyatul Auliya karya Abu Nu‘aim. Dari halaman-halaman itu, kita melihat sosok yang tak hanya berilmu tinggi, tapi juga berjiwa besar, seorang hamba yang menjadikan cobaan sebagai jalan untuk semakin dekat pada Sang Pencipta.

Urwah bin Zubair mengajarkan satu hal penting: kesabaran bukan berarti diam dalam derita, tetapi berdiri teguh dalam keimanan meski dunia runtuh di depan mata.