Diponegoro di Tengah Pusaran Geger Sepehi 1812
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
A Yahya
03 - Sep - 2025, 02:38
JATIMTIMES - Pada pertengahan 1812, Yogyakarta diguncang oleh peristiwa besar yang kelak dikenal sebagai Geger Sepehi. Dalam ingatan Pangeran Diponegoro, yang terekam dalam Babad Diponegoro, peristiwa ini bukan sekadar serangan militer Inggris terhadap Kesultanan Yogyakarta. Ia merupakan babak pahit dari konflik kekuasaan, penghinaan terhadap martabat raja Jawa, dan pertarungan harga diri para bangsawan di tengah pusaran kekuatan kolonial yang semakin mencengkeram.
Awal Bara: Insiden Jayaningrat
Baca Juga : Kapan Wednesday Season 2 Part 2 Tayang di Netflix? Ini Jadwal Lengkapnya
Kronologi dimulai dengan sebuah insiden kecil namun fatal. Tumenggung Jayaningrat, seorang pejabat istana, tanpa sengaja berpapasan dengan seorang Inggris. Hubungan pribadi keduanya sudah lama memburuk. Pertemuan itu berakhir dengan duel singkat. Orang Inggris itu tewas, sementara Jayaningrat mengalami luka-luka. Peristiwa ini, menurut narasi Babad, menjadi pemantik langsung ketegangan antara istana dan pihak Inggris.
Bagi Raffles, Letnan Gubernur Inggris di Jawa, insiden ini menjadi dalih strategis. Ia segera mengutus seorang juru bahasa ke Srimenganti, tempat Sultan Hamengkubuwana II sedang berkumpul bersama keluarga, kerabat, para punggawa, putra-putranya, dan cucu-cucunya. Di hadapan seluruh anggota istana, utusan tersebut menyampaikan permintaan Raffles: Sultan harus turun takhta sementara, dan jika ingin kembali berkuasa, ia wajib meminta izin langsung ke loji Inggris.
Babad mencatat reaksi Sultan dengan jelas: kemarahan membara, tanpa kompromi. Utusan itu pulang dengan tangan hampa, melaporkan bahwa Sultan menolak keras permintaan tersebut.

Dentum Pertama Meriam
Mendengar laporan itu, Raffles marah. Ia memerintahkan pasukannya yang diperkuat oleh serdadu Sepoy asal India untuk menembaki istana dengan meriam. Ledakan pertama menjadi sinyal dimulainya serangan penuh.
Di pihak Yogyakarta, Tumenggung Kertawijaya dan Tumenggung Menaksela membalas tembakan dari ndalem kadipaten ke arah loji Inggris. Balas-membalas meriam ini bukan sekadar aksi militer, tetapi pertarungan simbolik: mempertahankan wibawa kraton dari penghinaan kekuatan asing. Sorak-sorai meledak di kedua kubu, memanaskan suasana.

Pengangkatan Panglima dan Pembagian Medan
Di tengah dentuman meriam, Sultan Hamengkubuwana II menunjuk Pangeran Sumadiningrat sebagai panglima perang untuk menghadapi Inggris. Raden Riya Sindureja dan Tumenggung Mertalaya diperintahkan menghadang bala bantuan musuh yang mencoba masuk kota.
Namun di ndalem kadipaten, kepemimpinan perang jatuh ke tangan Pangeran Diponegoro. Pasukannya kekurangan tenaga, sehingga ia meminta bantuan Pangeran Mangkudiningrat. Mula-mula Mangkudiningrat enggan, tetapi setelah didesak, ia mengirim sejumlah bangsawan dan prajurit, termasuk Pangeran Mangkubumi, Pangeran Arya Panengah, Pangeran Abu Bakar, dan Pangeran Arya Panular.
Dengan tambahan ini, perlawanan ndalem kadipaten menguat. Babad menggambarkan suasana dramatis: pasukan istana dan kadipaten berbaris di Brajanala, Kamendungan, dan pagelaran, siap menghadapi pasukan Inggris-Sepehi yang kian mendesak.

Keseimbangan yang Runtuh
Awalnya, perang berlangsung sengit dan seimbang. Namun situasi berubah ketika Tumenggung Sumadiwirya dan Tumenggung Kartawijaya gugur terkena peluru. Gelombang kematian juga melanda pasukan yang bertahan di Sitihinggil. Moral pasukan Yogyakarta merosot.
Hingga malam tiba, serangan Inggris-Sepehi tak surut. Pasukan pimpinan Jayasentika, Kartadirja, dan Sokawati dihancurkan. Inggris maju ke Baluwarti, menembus pertahanan. Bahkan pasukan kadipaten yang dipimpin Pangeran Mangkubumi, Arya Panengah, Arya Panular, Abu Bakar, dan Pangeran Muhammad pun terpaksa mundur ke Tanjunganom.
Pangeran Arya Panular melaporkan kekalahan ini kepada putra mahkota, Pangeran Adipati Anom, ayah dari Pangeran Diponegoro. Dalam situasi genting, putra mahkota meminta pendapat Diponegoro, yang merupakan putranya dari istri selir Raden Ayu Mangkorowati. Jawaban Diponegoro singkat namun tegas: ia akan tetap menghadapi pasukan Inggris-Sepehi dan meminta adiknya, Pangeran Suryabrangta, untuk ikut. Putra mahkota bersikeras mendampingi di medan perang, tegas menyatakan, “Suka atau duka, kalah atau menang, hidup atau mati, kita tetap bersama.”

Darah di Tamansari
Menjelang tengah malam, Diponegoro, putra mahkota, dan Suryabrangta menuju Tamansari. Kabar buruk menanti: Pangeran Sumadiningrat dan Ratu Kedaton telah gugur.
Diponegoro kemudian mengarahkan langkah ke Gading, berharap bentrok terjadi di medan lapang Alun-Alun Kidul. Tetapi pasukan Inggris-Sepehi memburu mereka. Ejekan dari arah Baluwarti dan Plengkung membuat Diponegoro berbalik, kembali ke Tamansari, memilih menghadapi hujan peluru sendirian.
Babad mencatat keyakinan spiritual Diponegoro: meski ribuan peluru dimuntahkan, tak satu pun mengenai kulitnya. Perlindungan Tuhan, demikian ia meyakini, menjaga dirinya dari maut.

Tertangkapnya Sultan dan Air Mata Diponegoro
Baca Juga : Ramalan Keuangan Zodiak 3 September 2025: Cek Prediksi Finansial Libra hingga Pisces
Akhirnya, pasukan Inggris di bawah Jenderal Gillespie mengepung Diponegoro. Putra mahkota sempat mengira Diponegoro gugur, tetapi Gillespie justru datang menawarinya naik takhta, menggantikan Sultan Hamengkubuwana II.
Dengan persetujuan Diponegoro, putra mahkota dibawa ke loji Inggris, di mana Raffles menanti. Ia dinobatkan sebagai Sultan Hamengkubuwana III.
Nasib berbeda menimpa Hamengkubuwana II. Ia ditangkap bersama tiga putranya, Pangeran Mangkudiningrat, Pangeran Mertasana, dan Pangeran Dipajaya, serta tujuh punggawa istana, kemudian dibuang ke Pulau Pinang oleh John Crawfurd.
Babad menutup episode ini dengan gambaran emosional: Diponegoro meneteskan air mata melihat kakeknya, sang raja, diasingkan. Sebuah momen yang menandai retaknya martabat kerajaan Jawa di hadapan kekuatan kolonial.

Catatan Akhir: Politik, Dendam, dan Warisan Geger Sepehi 1812
Dari perspektif historiografi kritis, Geger Sepehi 1812 menyimpan makna yang berlapis. Pertama, ini adalah peristiwa politik internal dan kolonial. Penolakan Sultan Hamengkubuwana II terhadap ultimatum Thomas Raffles berakar pada sejarah panjang ketegangan dengan kekuatan kolonial, VOC sebelumnya dan kini Inggris. Strategi Inggris mengganti Sultan dengan putra mahkota Raden Mas Surojo adalah contoh klasik rekayasa politik kolonial, menempatkan penguasa yang lebih mudah dikendalikan untuk memastikan dominasi.
Kedua, peristiwa ini menguji ikatan keluarga bangsawan. Peran Diponegoro di medan perang menunjukkan loyalitasnya kepada ayah dan kakek, meski ia memberikan restu bagi pengangkatan putra mahkota sebagai Sultan Hamengkubuwana III. Keputusan ini, mendukung transisi kekuasaan di bawah tekanan kolonial, menjadi dilema moral yang membentuk pandangan politik dan spiritualnya serta menyiapkan benih-benih perlawanan yang kelak meletus dalam Perang Jawa 1825 hingga 1830.
Ketiga, Geger Sepehi adalah arena benturan ideologi dan spiritualitas. Diponegoro memandang konflik bukan sekadar militer, tetapi krida, ujian iman dan keberanian. Kepercayaannya bahwa Tuhan melindunginya dari peluru memperkuat citra dirinya sebagai pemimpin yang diberi mandat ilahi, citra yang menjiwai perjuangan Perang Jawa di kemudian hari.
Dari sisi dampak, Geger Sepehi 1812 membawa kerugian nyata bagi Kesultanan Yogyakarta. Banyak harta benda dan naskah-naskah berharga keraton dirampas Inggris. Raffles memanfaatkan wawasan Pangeran Natakusuma dalam bidang sastra untuk memilah dan menginventarisasi ribuan naskah sebelum dibawa ke Inggris, memperlihatkan bagaimana kolonialisme menguasai tidak hanya wilayah, tetapi juga pengetahuan dan budaya.
Secara politik, peristiwa ini menandai pengangkatan Raden Mas Surojo sebagai Sultan Hamengkubuwana III dan pendirian Kadipaten Pakualaman di bawah Sri Pakualam I pada 22 Juni 1812. Kadipaten ini, hasil pengakuan Inggris atas jasa Natakusuma, mengambil wilayah seluas 4.000 cacah dari Kesultanan Yogyakarta. Sementara itu, Sultan Hamengkubuwana II beserta Pangeran Mangkudiningrat dan Pangeran Mertasana disingkirkan ke Semarang dan dibuang ke Pulau Pinang pada 3 Juli 1812.
Batas wilayah Kesultanan Yogyakarta juga menyempit secara signifikan, dengan beberapa wilayah, Jipang di Bojonegoro, Japan di Mojokerto, dan Grobogan, diambil alih Inggris. Selain itu, perjanjian pemangkasan kekuatan militer yang dipaksakan pada 1 Agustus 1812 membuat Kesultanan hanya memiliki kekuatan terbatas, menandai subordinasi politik dan militer kepada kekuasaan kolonial.

Bagi Diponegoro, Geger Sepehi adalah luka awal dan pelajaran pahit. Ia menyaksikan bagaimana kekuatan kolonial dapat mengubah peta politik Jawa dalam sekejap, melalui kombinasi tekanan militer, manipulasi internal, dan strategi licin. Babad Diponegoro mengabadikan tragedi ini bukan sekadar kronik perang, melainkan pengingat bahwa kehormatan, kekuasaan, dan spiritualitas saling terkait erat dalam sejarah Jawa.
Geger Sepehi juga dapat dipandang sebagai peristiwa besar terakhir di Yogyakarta sebelum meletusnya Perang Jawa. Dalam perjalanan hidupnya yang panjang, Pangeran Diponegoro, lahir pada 1785 dengan nama Bendara Raden Mas Mustahar dan kemudian dikenal sebagai Antawirya, kelak tampil sebagai tokoh sentral perlawanan terhadap kekuasaan kolonial Belanda. Perang Jawa sendiri berawal dari tindakan pemerintah Hindia Belanda yang memasang patok di tanah milik Diponegoro di Tegalrejo. Tindakan itu, ditambah penghinaan terhadap adat setempat serta beban pajak yang mencekik rakyat, memantik kemarahan Diponegoro dan mengukuhkan tekadnya untuk memimpin perlawanan.
Sejumlah literatur Belanda mencoba membelokkan penyebab perang dengan menyebutnya sebagai akibat sakit hati pribadi Diponegoro karena tidak naik takhta. Padahal, perlawanan itu berakar pada penderitaan rakyat serta tekad Diponegoro untuk membebaskan istana dari cengkeraman kolonial dan candu madat. Dengan demikian, luka Geger Sepehi 1812 dapat dipandang sebagai titik balik. Dari tragedi politik dan kehormatan yang tercabik lahirlah api perlawanan yang kemudian membakar Jawa pada abad ke-19.