Jatim Times Network Logo
Poling Pilkada 2024 Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Poling Pilkada 2024
Agama

Mengarungi Laut demi Satu Ayat: Keteguhan Abu Thalhah di Ujung Usia

Penulis : Anggara Sudiongko - Editor : Nurlayla Ratri

22 - Nov - 2025, 10:47

Placeholder
Ilustrasi sosok Abu Thalhah al-Anshari (ist)

JATIMTIMES - Di balik riuh sejarah awal Islam, berdiri satu nama yang selalu dibicarakan dengan rasa hormat yang dalam: Abu Thalhah al-Anshari. Lelaki yang aslinya bernama Zaid bin Sahal ini bukan sekadar tokoh karismatik, fisiknya gagah, kemampuan berkudanya ditakuti, dan kepiawaiannya memanah membuatnya dihormati di Yatsrib jauh sebelum ia mengenal Islam. Status sosialnya mapan, hartanya melimpah, dan masyarakat memandangnya sebagai sosok teladan.

Namun, kehidupan Abu Thalhah berubah arah ketika ia memeluk Islam. Sejak saat itu, apa pun yang melekat padanya, waktu, tenaga, kedudukan, bahkan hartanya, dianggap amanah untuk dakwah. Ia menghabiskan usia panjangnya dengan dedikasi tanpa jeda, seolah setiap helaan napas adalah ladang berbuat untuk agamanya. Suami dari Ummu Sulaim ini tidak pernah berhenti melangkah, bahkan ketika rambutnya mulai diserbu uban.

Baca Juga : Lumajang-Malang Via Besuk Kobokan Ditutup Sementara Dampak Letusan Sekunder Semeru

Ketika masa kekhalifahan Usman bin Affan tiba dan kaum Muslimin dipanggil untuk berjihad di lautan, Abu Thalhah yang sudah sepuh masih berkeras mendaftar sebagai prajurit. Anaknya mencoba menahan, dengan suara yang penuh rasa sayang dan kekhawatiran. “Ayah sudah berjuang di masa Rasulullah, bersama Abu Bakar, bersama Umar. Sekarang biar kami yang maju,” pinta mereka.

Tetapi yang keluar dari mulut sang ayah bukan persetujuan, melainkan lantunan ayat: “Berangkatlah kalian dalam keadaan ringan maupun berat, dan berjihadlah dengan harta serta jiwa di jalan Allah. Itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.” (QS at-Taubah: 41). Setelah membaca ayat itu, ia menegaskan bahwa seruan ini tidak memandang usia. Tua maupun muda, semuanya terpanggil. Ia menolak tinggal di rumah.

Catatan sejarah menyebutkan bahwa ia wafat di atas kapal, beberapa hari sebelum pasukan Muslim mencapai daratan. Yang membuat banyak orang tertegun: jenazahnya tidak berubah sedikit pun selama enam hari. Seakan ia hanya tertidur dalam perjalanan panjang menuju keabadian.

Kisah ini menjadi cermin betapa seorang sahabat mampu menghidupi Alquran, bukan sekadar membacanya. Demi satu ayat, ia menyerahkan seluruh dirinya, termasuk nyawa yang paling berharga. Padahal secara fisik, ia termasuk yang mendapat keringanan untuk tidak ikut berperang. Namun ia memilih jalan berat, karena baginya perintah Tuhan tidak boleh dinegosiasikan.

Baca Juga : Manis Gurih Dawet Ngledok, Kuliner Legendaris Sejak 1950 di Jombang

Dan ia bukan pengecualian. Para sahabat Rasul hidup pada generasi yang menempatkan Alquran sebagai pusat segala keputusan, segala langkah. Tak heran masa hidup mereka disebut sebagai zaman terbaik umat manusia. Bukankah Allah sendiri telah berfirman, “Sungguh telah Kami turunkan kepadamu kitab yang di dalamnya terdapat kemuliaan bagi kalian. Tidakkah kalian memahaminya?” (QS al-Anbiyaa’: 10).

Syekh Muhammad al-Ghazali pernah mengingatkan bahwa generasi awal mulia karena menjunjung wahyu setinggi-tingginya, sementara generasi setelahnya terpuruk ketika menempatkan Alquran di bawah kepentingan dan keinginan pribadi. 


Topik

Agama Abu Thalhah al-Anshari



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Tulungagung Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Anggara Sudiongko

Editor

Nurlayla Ratri