JATIMTIMES - Desa Purworejo di Kecamatan Sanankulon, Kabupaten Blitar, menjadi saksi sebuah peristiwa budaya yang jarang terjadi. Pada Minggu 9 November 2025, rombongan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat menggelar ziarah budaya ke Situs Tri Tingal, petilasan kuno yang dikaitkan dengan laku spiritual Raden Kebo Kenongo, ayah Joko Tingkir dan salah satu figur penting dalam masa transisi kekuasaan antara Demak, Pajang, dan Mataram.
Rombongan sentono dalem dan prajurit keraton tiba di Desa Purworejo pada pukul 06.30 WIB. Mereka disambut oleh Pemerintah Desa Purworejo dan para tokoh masyarakat.
Baca Juga : Semarak Karnaval SCTV, Bupati Fawait: Momentum Tampilkan Produk Unggulan Jember
Agenda dimulai dengan sarasehan budaya di rumah Kepala Desa Purworejo Kalinggo Purnomo. Dalam forum tersebut, perwakilan keraton dan pemerintah desa membahas sejarah, upaya pelestarian situs, serta riwayat kekancingan Tri Tingal oleh Keraton Surakarta.
Usai sarasehan, kirab budaya dimulai. Rombongan berjalan kaki sejauh tiga kilometer menuju Situs Tri Tingal sambil membawa panji-panji keraton. Bagi warga Desa Purworejo, kehadiran prajurit lengkap dengan seragam, tameng, dan tombak adalah tontonan langka. “Baru kali ini kami melihat kirab prajurit keraton secara langsung,” ujar beberapa warga yang menyampaikan kekagumannya kepada panitia desa.
Suasana jalan desa berubah menjadi panggung budaya. Derap prajurit mengiringi arak-arakan tokoh adat dan perwakilan keraton, sementara warga menabuh kentongan sebagai bentuk penghormatan. Kirab berakhir di Situs Tri Tingal, tempat digelarnya doa bersama sebelum dilanjutkan dengan ramah tamah.

Menggali Jejak Sri Tingal hingga Kebo Kenongo
Dalam sambutannya, Kepala Desa Purworejo Kalinggo Purnomo memaparkan perjalanan panjang sejarah situs tersebut. Ia menjelaskan bahwa masyarakat setempat dulu menyebut lokasi itu sebagai makam Sri Tingal, sebuah nama yang terikat dengan tradisi sadranan. Ia menyebut bahwa memori kolektif warga percaya makam itu adalah peristirahatan seorang perempuan keturunan Sunan Geseng.
“Dulu masyarakat percaya bahwa tempat itu adalah makam seorang perempuan, murid sekaligus keturunan dari Sunan Geseng,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa narasi tersebut bertahan hingga pemugaran oleh sebuah pondok pesantren pada 2010–2013, yang kemudian mengaitkan situs itu dengan tokoh Dipotaruno.
Namun, pemerintah desa menindaklanjuti perdebatan tersebut dengan penelitian historiografi. Berdasarkan dokumen desa, Kalinggo menyebut makam itu ditemukan pertama oleh Ki Karto, kepala desa pertama yang membuka wilayah Purworejo pada sekitar 1710. Fakta kronologis ini, menurutnya, membantah klaim bahwa situs tersebut adalah makam Dipotaruno. “Kalau merujuk tahun tersebut, sangat tidak mungkin itu makam Dipotaruno,” ungkapnya.
Kajian artefaktual memperkuat hipotesis tersebut. Fosil pohon kemuning dan batu-batu besar di sekitar situs diperkirakan berusia lebih dari lima abad. Temuan ini membuka ruang interpretasi baru dan mengarah pada sosok Raden Kebo Kenongo, tokoh spiritual dari masa transisi antara Demak dan Mataram, ayah Panembahan Senopati, yang dikenal melakukan laku prihatin di wilayah selatan Jawa.
Menurut Kalinggo, konsistensi data sejarah dan artefak mengarah pada kesimpulan kuat bahwa Tri Tingal adalah petilasan laku spiritual Kebo Kenongo. “Data sejarah menguatkan bahwa tempat itu dahulu adalah lokasi laku prihatin dan munajat Kebo Kenongo,” tegasnya.

Pandangan Keraton: Tri Tingal sebagai Warisan yang Perlu Dijaga
Keraton Kasunanan Surakarta menegaskan bahwa pengukuhan Tri Tingal sebagai situs cagar budaya keraton dilakukan setelah melalui kajian mendalam. Disampaikan bahwa pihak desa telah melakukan penelitian lebih dahulu sebelum mengajukan permohonan kekancingan kepada keraton. Pengukuhan ini dipandang bukan sekadar formalitas, melainkan mekanisme untuk melindungi warisan budaya lokal sekaligus memperkuat ekosistem kebudayaan. Diharapkan pengukuhan tersebut dapat mendorong munculnya tempat lain yang berpotensi menjadi destinasi wisata sejarah dan religi.
Kepala Desa Purworejo Kalinggo Purnomo menegaskan bahwa pengukuhan ini menjadi momentum penting bagi generasi muda untuk merawat jati diri desa. Ia mengatakan bahwa arus modernisasi berpotensi mengikis kesadaran sejarah sehingga dibutuhkan langkah-langkah sistematis untuk menjaga nilai lokal. “Kalau tidak kita bentengi, lambat laun budaya kita bisa tergerus,” ujarnya.
Dari pihak keraton, Pangarsa Prajurit Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kanjeng Pangeran Pandji Prawiroyudho, menyampaikan apresiasi kepada Pemerintah Desa Purworejo. Ia menegaskan bahwa Tri Tingal kini resmi menjadi bagian dari situs yang dikancingi keraton. “Kami mengapresiasi pemerintah desa yang telah merawat Situs Tri Tingal dengan baik. Dengan status sebagai tempat yang dikancingi keraton, situs ini menjadi tanggung jawab bersama untuk dijaga,” ujarnya.

Menjaga Masa Depan Situs Tri Tingal
Sejak dikukuhkan oleh Keraton Kasunanan Surakarta melalui Lembaga Dewan Adat pada perayaan Hari Jadi Desa Purworejo ke-312 pada tahun 2022, Tri Tingal berkembang menjadi pusat aktivitas budaya. Pemerintah desa secara berkala menggelar ritual adat, kegiatan keagamaan, serta diskusi sejarah.
Kalinggo mengajak semua pihak, terutama generasi muda, untuk menjaga kesinambungan budaya. “Pemuda harus ikut andil, karena merekalah yang akan mewarisi budaya ini di masa depan,” ujarnya.
Ziarah budaya Keraton Surakarta kali ini menegaskan bahwa Tri Tingal bukan sekadar ruang arkeologis, melainkan simpul sejarah yang menghubungkan tiga masa: masa kuno, masa kini, dan masa depan Blitar.
Baca Juga : Ramalan Zodiak 16 November 2025: Siap-Siap Terima Kabar Tak Terduga dari Semesta!
Dari titik inilah perhatian bergeser: jejak budaya yang dirayakan melalui ziarah ternyata membuka kembali pintu menuju lapisan sejarah yang lebih sunyi, lapisan yang selama berabad-abad terbungkus kabut mitos dan polemik identitas di sekitar Tri Tingal.

Membongkar Sejarah Syekh Siti Jenar Palsu dari Situs Tri Tingal
Situs Tri Tingal di Dusun Centong, Desa Purworejo, Kecamatan Sanankulon, Kabupaten Blitar, hari ini tampak seperti kompleks kecil berisi tiga nisan, sebuah batu gilang, dan sebatang pohon jenar yang merimbun. Namun ketika keraton Surakarta menetapkannya sebagai situs resmi dan Pemerintah Desa Purworejo mulai nguri-uri tempat ini, barulah lapisan-lapisan historis di dalamnya terbuka kembali. Tri Tingal bukan hanya situs leluhur. Ia adalah simpul penting rekonstruksi ulang atas salah satu polemik terbesar dalam sejarah Islam Jawa: pemalsuan tokoh dan ajaran Syekh Siti Jenar.
Selama ratusan tahun, narasi populer mengulang-ulang kisah bahwa Syekh Siti Jenar dihukum mati oleh para Wali Songo karena ajaran “Manunggaling Kawula Gusti” yang dianggap menyimpang. Namun data genealogis Keraton Cirebon, serpihan tradisi lisan di Pengging dan Blitar, serta pembacaan ulang terhadap Carita Purwaka Caruban Nagari dan Atlas Wali Songo, menunjukkan bahwa narasi tersebut tidak sesederhana itu.
Catatan dari Keraton Surakarta menyebutkan bahwa Tri Tingal merupakan lokasi pertemuan tiga tokoh kunci abad ke-16: Syekh Siti Jenar asli, Sunan Kalijaga, dan Kebo Kenongo (Ki Ageng Pengging). Dalam tradisi setempat, pertemuan itu bukan dialog pedagogis, melainkan sidang kecil untuk menyelidiki ancaman yang mengemuka kala itu: dua tokoh yang mengaku sebagai Syekh Siti Jenar dan berkeliling Jawa dengan mengajarkan mistisisme vulgar yang bertentangan dengan ajaran tauhid.
Dua orang itu adalah Hasan Ali dan seorang ulama keturunan Persia bernama San Ali Anshar al-Isfahani. Babad menyebut bahwa keduanya memanfaatkan popularitas Siti Jenar dan kedalaman ajarannya untuk menyebarkan doktrin yang cenderung merombak syariat dan memicu keresahan di wilayah Demak, Lasem, dan sebagian pesisir Cirebon. Mereka menyebut diri sebagai “Syekh Lemah Abang” untuk Hasan Ali dan “Syekh Siti Jenar” untuk San Ali, sehingga masyarakat pada masa itu yang masih lemah dalam literasi sulit membedakan mana yang asli dan mana yang palsu.
Ketika ajaran tersebut menimbulkan gejolak, terutama di wilayah Demak yang kala itu menjadi pusat kekuasaan Islam pesisir, Sunan Kalijaga dipanggil untuk memeriksa kasus ini. Kalijaga dikenal sebagai wali yang moderat, hati-hati, dan memiliki wibawa spiritual yang kuat di kalangan santri maupun bangsawan. Ia memimpin investigasi dengan mendengar kesaksian masyarakat dan mencocokkan ajaran yang dibawa San Ali dengan prinsip dasar tauhid.

Hasilnya jelas: San Ali terbukti memalsukan identitas dan menyebarkan ajaran batil yang menyimpang dari tradisi keilmuan para wali. Dewan Wali Songo kemudian menjatuhkan hukuman mati. San Ali dieksekusi di wilayah Demak oleh otoritas spiritual yang dipimpin Sunan Kalijaga. Eksekusi ini dilakukan sebagai tindakan tegas untuk menghentikan kerusakan teologis yang semakin melebar.
Sementara itu, Hasan Ali, yang menyebarkan ajaran serupa di jalur barat, ditangkap oleh otoritas Cirebon. Data lokal Cirebon dan catatan pada Carita Purwaka Caruban Nagari menguatkan bahwa ia dihukum mati setelah menjalani pemeriksaan oleh lingkar dekat Sunan Gunung Jati. Bagi Cirebon, pemalsuan tokoh dan ajaran semacam itu tidak hanya merusak ketertiban keagamaan, tetapi juga mengancam kestabilan politik yang sedang dibangun di bawah Kesultanan Caruban.
Dua eksekusi ini tercatat jelas dalam tradisi lisan dan naskah daerah, tetapi justru tidak muncul dalam narasi besar yang kemudian berkembang pada era Mataram dan masa kolonial.
Kelak, simpang-siur penulisan sejarah yang diperparah oleh politik narasi dari berbagai rezim membuat cerita berbelok arah. Narasi yang paling populer menyebut bahwa yang dieksekusi adalah Syekh Siti Jenar yang asli. Bahkan tokoh seperti Sunan Kudus kerap digambarkan sebagai figur antagonis yang mengeksekusi Siti Jenar, meskipun data historis tidak mendukung klaim tersebut.
Ironisnya, fitnah sejarah ini menimpa dua pihak sekaligus. Syekh Siti Jenar menjadi korban karena namanya dipakai para pemalsu dan kemudian digambarkan sebagai penyebar ajaran sesat. Pada saat yang sama, Sunan Kudus dikenang secara keliru sebagai algojo Siti Jenar, meskipun ia tidak terlibat dalam eksekusi tersebut. Distorsi ini berlangsung ratusan tahun, hingga jejak penyelidikan kini mulai kembali ditautkan melalui Situs Tri Tingal.
Hari ini, Pemerintah Desa Purworejo merawat Tri Tingal sebagai benteng menghadapi arus globalisasi budaya. Tetapi lebih dari itu, situs ini memiliki fungsi yang jauh lebih mendalam: ia adalah petunjuk fisik untuk mengembalikan sejarah ke bentuknya yang paling jernih.
Dari Tri Tingal, dari daftar nama yang terlupakan, dan dari fragmen babad yang tercecer, kita belajar bahwa sejarah Jawa bukan hanya soal mitos atau legenda, tetapi juga soal manipulasi, pencatutan, dan perjuangan kebenaran.
