JATIMTIMES - Thomas Karsten, seorang arsitek dan urban planner asal Belanda, memainkan peran penting dalam pembentukan tata kota Malang antara tahun 1930 dan 1935. Dengan visi modern dan pendekatan yang inovatif, Karsten berhasil menciptakan tata kota yang tidak hanya estetis tetapi juga fungsional.
Siapa sebenarnya Thomas Karsten, dan bagaimana kontribusinya selama periode tersebut membentuk wajah Malang yang kita kenal sekarang?
Baca Juga : Anaknya Terlindas Truk, Orang Tua Justru Meminta Maaf Timbulkan Beragam Spekulasi Netizen
Thomas Karsten berkuliah di Delft Polytechnische School (pendahulu Universitas Teknologi Delft) di Belanda. Dari yang awalnya belajar teknik mesin, Karsten akhirnya beralih ke teknik struktur pasca adanya reformasi institusional terhadap kampusnya.
Karsten bukan mahasiswa terpintar, tetapi ia berhasil lulus dari fakultas yang hanya meluluskan 3-10 orang per tahun hingga tahun 1920.
Untuk menghindari Perang Dunia I di Eropa, pria kelahiran 22 April 1884 itu lalu pindah ke Hindia Belanda (kini Indonesia), yang ia lihat sebagai tempat yang netral dan jauh dari perang. Ia pergi ke Jawa atas undangan dari Henri Maclaine Pont, temannya semasa kuliah, untuk membantu firma arsitektur milik Pont. Karsten pun mengaku tidak pernah berlatih untuk menjadi perencana perkotaan.
Menurut sejarawan Hendaru Tri Hanggoro, Malang dan Bandung dirancang oleh Thomas Karsten, yang mempunyai nama lengkap Herman Thomas Karsten. “Karsten itu yang jadi penanggung jawab rencana induk Kota Bandung dan Malang,” ujar Hendaru dilansir Kompas, Minggu (26/5).
Selain kedua kota itu, kata Hendaru, Thomas Karsten juga mendesain tata kota Bogor yang dahulu namanya Buitenzorg. Menurutnya, Karsten datang ke Indonesia pada 1910-an dan mulai mendapatkan tugas untuk merancang tata kota pada 1920-an.
Serupa dengan sejarawan Hendaru, sejarawan Asep Kambali juga menyebutkan bahwa tata kota Malang dan Bandung dirancang oleh Thomas Karsten. “Malang pada 1930-1935, Bandung 1941-1942,” ucap Asep.
Karsten juga punya andil besar untuk tata kota di kota Malang. Dia menjadi Konsultan perencanaan kota Malang pada tahun 1930-1935. Konsep garden city adalah konsep yang dia terapkan untuk Kota Malang.
Sebut saja kawasan Idjen Boulevard jadi salah satu Mahakarya tata ruang Kota Malang yang dikonsep oleh Karsten dan masih dapat dinikmati hingga saat ini. Rencana tata kota Bouwplan I – VIII yang andil Karsten merupakan konsep tata kota Malang yang diharapkan bertahan hingga 100 tahun.
Pembangunan wilayah Idjen Boulevard sendiri dilakukan oleh Karsten pada tahun 1930-1935 dan kemudian diharmonisasikan perencanaan tata kota yang sesuai kondisi gerografis kota Malang. Termasuk bentuk jalannya dibuat menjadi boulevard, yaitu jalan kembar dengan pembatas berupa taman indah di bagian tengah antara dua jalan.
Di sebelah kanan dan kiri juga diberi pohon Palem Raja untuk mempercantik penampilan dari jalan tersebut. Wilayah tersebut banyak dihuni oleh pejabat Hindia Belanda dan para pedagang hasil pertanian dari Eropa kala itu.
Sementara, rumah-rumah yang ada di jalan Ijen pada masa itu dibangun model vila dengan banyak taman kota di sekeliling wilayah jalan gunung-gunung. Sebut saja ada taman Victoria Park, taman slamet, taman malabar dan hutan kota yang berfungsi sebagai bozem di sebelah selatan Pasar Oro-oro Dowo.
Selain itu, Karsten juga ditunjuk sebagai penasihat tata kota saat Malang ditetapkan sebagai Kotamadya. Dia juga yang membentuk alun-alun baru bernama J.P Coen Plein, yang kini dikenal sebagai alun-alun tugu Kota Malang.
Dalam buku 100 Tahun Kota Malang, disebutkan bahwa jejak arsitektur Karsten dapat ditemukan di 12 Kota. Selain Kota Malang, ada juga Bandung, Yogyakarta, Semarang, Bogor, Padang, Jakarta, Surakarta, Magelang, Madiun, Cirebon, Banjarmasin dan Palembang.
Baca Juga : Viral Pemotor tak Bersedia Ditilang Usai Masuk Jalur Busway: Ngaku Punya Bekingan
Karena dirancang oleh orang yang sama, tata kota Malang dan Bandung juga disebut sama. Suasana dari kedua kota tersebut tampak mirip. Di mana Kota Malang dirancang oleh Karsten pada 1930-1934 dan Bandung pada 1941-1942.
Sebagai arsitek, karya Karsten juga cukup banyak. Meliputi rumah pribadi, kantor perusahaan, dan bangunan umum, baik itu pasar, sekolah, masjid stasiun, maupun balai kota. Karsten memang menemukan dunianya sebagai perencana kota.
“Untuk beberapa tahun, saya pernah berharap dapat melepaskan diri dan pekerjaan arsitektur, kecuali mungkin untuk perumahan rakyat, dan mengabdikan waktu saya sepenuhnya untuk pekerjaan perencanaan (kota). Saya semakin tidak menyukai bangunan untuk orang kaya,” tulis catatan pribadinya.
Selain karya-karya arsitektur yang sudah disebutkan di atas, masih banyak karya Karsten lainnya selama ia tinggal di Hindia Belanda. Di antaranya Pasar Jatingaleh Semarang, Stasiun Solo Balapan, Museum Sonobudoyo Jogja, dan lain-lain.
Selain berkarya di bidang arsitektur, pada tahun 1941 Karsten diangkat sebagai staf pengajar di Technische Hoogeschool te Bandoeng yang kemudian dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB). Murid-muridnya banyak yang menjadi arsitek generasi pertama Indonesia.
Walau keturunan Belanda campuran Jawa, Karsten mampu memadukan unsur Barat dan Jawa dalam karya-karyanya. Misalnya saat di Solo, dia merancang bangunan Pasar Gede yang dibangun tahun 1929.
“Keinginan dalam setiap membangun, suatu bangunan harus ada harmonisasi keserasian dan kenyamanan antara pengguna, lingkungan sekitar, dan indera mata ketika memandang bangunan tersebut,” tulis Karsten.
Tiap rancangannya, Karsten juga selalu menganggap pentingnya keberadaan taman kota serta ruang terbuka. Ciri khasnya adalah mengandung nilai kemanusiaan dan kepedulian terhadap lingkungan.
Karsten juga menegaskan bahwa perancangan arsitektur yang dilakukan lebih kepada semangatnya melayani seluruh masyarakat, bukan hanya segelintir elite. Hal ini karena idealismenya sebagai seorang sosialis yang disalurkan melalui profesinya.
Pada 1945, Karsten meninggal dunia ketika berusia 60 tahun. Karsten dikebumikan di Cimahi.