Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Hiburan, Seni dan Budaya

Raden Mas Garendi, Cucu Amangkurat III Pemimpin Laskar Jawa-Tionghoa di Peristiwa Geger Pecinan

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Nurlayla Ratri

03 - Feb - 2023, 17:08

Tembok benteng jebol di Situs Karaton Kartasura, jejak sejarah Geger Pecinan. (Foto : Aunur Rofiq/JATIMTIMES)
Tembok benteng jebol di Situs Karaton Kartasura, jejak sejarah Geger Pecinan. (Foto : Aunur Rofiq/JATIMTIMES)

JATIMTIMES- Dilengserkannya Sri Susuhunan Amangkurat III dari tahta Kasultanan Mataram mewariskan dendam para keturunannya. Catatan sejarah pun menyatakan pernah ada letupan perlawanan dari keturunan Amangkurat III. Salah satunya pemberontakan Jawa-Tionghoa yang dipimpin Raden Mas Garendi.

Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning, adalah putera bungsu Pangeran Teposono. Cucu Amangkurat III ini lahir pada tahun 1726. Sejak kecil, kehidupan dari Raden Mas Garendi sudah diwarnai dengan politik berdarah. Selain kakeknya yang dibuang jauh ke Srilanka, ayahnya Pangeran Teposono terbunuh karena konflik di istana Kasultanan Mataram.

Baca Juga : Wujudkan Kejayaan Lamongan Berkeadilan, Bupati Yes Lakukan Pemerataan Pembangunan Infrastruktur

Setelah ayahnya meninggal dunia dan dimakamkan di Setono Gedong Kediri, paman Raden Mas Garendi yang bernama Wiramenggala menyelamatkan keponakannya dan melarikan diri meninggalkan istana Mataram di Kartasura. 

Pelarian itu melalui jalan yang cukup panjang, melintasi Gunung Kemukus hingga menuju Grobogan. Di lokasi itu, rombongan pelarian Kartasura berjumpa dengan keluarga Tionghoa, Tan He Tik. Garendi lantas diangkat anak oleh He Tik.

Babad Kartasura II menjelaskan perihal deskripsi fisik Raden Mas Garendi. Putera Pangeran Teposono itu disebut sebagai remaja ganteng yang populer dan banyak penggemar.

"Akan halnya Raden Mas Garendi, memang rupawan. Kebagusannya sudah terkenal di mana-mana, apalagi banyak cerita-cerita yang turut meramaikannya. Bahwasannya seorang bangsawan yang bijaksana, lagi pula baik hatinya. Adalah tidak mustahil, banyak yang turut senang, melihat Raden Mas Garendi," demikian keterangan yang tertulis dalam Babad Kartasura II.

Nama Raden Mas Garendi kemudian muncul dalam peristiwa Geger Pecinan. Geger Pecinan adalah peristiwa pemberontakan besar sebagai imbas kekecewaan para Panglima Perang Jawa dan Laskar Tionghoa terhadap sikap Raja Kasultanan Mataram Sri Susuhunan Pakubuwono II yang berbalik arah mendukung kompeni.

"Nama Raden Mas Garendi muncul akibat kekecewaan pemberontak dan masyarakat Kartasura terhadap Pakubuwono II yang menyerahkan Patih Notokusumo ke VOC. Sikap tidak konsisten PB II itu kemudian memunculkan tokoh tersebut," kata Pakar Sejarah Universitas Negeri Solo DR Susanto dilansir JATIMTIMES dari merdeka.com.

Sejarah mencatat, Geger Pecinan diawali oleh aksi VOC membantai orang-orang Tionghoa di Batavia pada bulan Oktober 1740. Sejumlah orang Tionghoa yang melarikan diri kemudian bersekutu dengan kekuatan Mataram di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka mengucap sumpah setia pada Pakubuwono II.

Geger Pecinan sebagai awal dari kehancuran istana Mataram di Kartasura, berawal dari pembantaian etnis Tionghoa di Batavia pada 9 Oktober 1740. Kebijakan Gubernur Jenderal Batavia saat itu, Adriaan Valckenier, membuat banyak orang Tionghoa eksodus.

Warga etnis Tionghoa dari Batavia itu kemudian pergi ke daerah timur, di kawasan pesisir. Setelah itu mereka mulai masuk ke daerah pedalaman dan menggalang kekuatan untuk melawan Belanda.

Setelahnya, seluruh wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur nyaris berkobar perang besar-besaran. Aksi heroik pasukan gabungan Jawa-Tionghoa berhasil merebut beberapa kota. Dalam pandanganya, Sejarawan Universitas Negeri Semarang Prof Wasino menyebut perang ini adalah perang terbesar yang dialami VOC.

"Perang gabungan Jawa-Tionghoa ini adalah perang terbesar sepanjang sejarah penjajahan VOC di Nusantara," kata Prof Wasino.

Geger Pecinan memunculkan beberapa nama tokoh yang menjadi pimpinan. Diantaranya Kapiten Sepanjang atau Siaw Pan Chiang, Patih Notokusumo, Raden Mas Said/Pangeran Sambernyawa dan Pangeran Mangkubumi. Juga ada Singseh yang memimpin laskar Tionghoa dan para jago silat. Dalam peristiwa ini Raden Mas Garendi muncul dengan nama lain yang terkenal Sunan Kuning. Tokoh Sunan Kuning dijadikan sebagai simbol perlawanan Jawa-Tionghoa kepada Mataram dan VOC kala itu.

Garendi adalah bangsawan Jawa Ningrat cucu dari Sri Susuhunan Amangkurat III (Raja ke-6 Kasultanan Mataram). Dia disebut sebagai Sunan Kuning karena banyak pasukannya adalah etnis Tionghoa yang berkulit kuning. Koalisi Jawa-China di bawah Sunan Kuning adalah penentang VOC alias Kompeni pada paruh awal abad ke-18. Adapun 'sunan' adalah gelar pemimpin Mataram, kependekan dari 'susuhunan'.

Masih soal asal-usul nama, ada teori lainnya. Istilah Sunan Kuning diberikan oleh Panglima Tionghoa pengikut RM Garendi. Panglima Tionghoa menyebut Raden Mas Garendi sebagai 'cun ling', yang berarti 'bangsawan tertinggi'. Orang Jawa kemudian mempermudah pelafalan 'cun ling' menjadi 'kuning'.

Kembali membahas peristiwa Geger Pecinan, VOC yang terkenal licik kemudian memainkan strategi untuk meredam Geger Pecinan. Pada awal 1742, VOC berhasil menekan beberapa posisi Mataram dan Laskar Tionghoa. Sadar posisinya terjepit, Sri Susuhunan Pakubuwono II kemudian memutuskan untuk berbalik arah dan mendukung VOC.

Beralihnya arah perjuangan Pakubuwono II mendapat tentangan dari sejumlah petinggi Keraton Mataram. Tentangan juga datang dari Panglima Perang dan Bupati di bawah Mataram. Petinggi Keraton, Panglima Perang dan Bupati-bupati di bawah kekuasaan Mataram menegaskan sikap untuk tetap setia berjuang bersama Laskar Tionghoa melawan VOC.

Peperangan semakin besar setelah membelotnya Pakubuwono II kepada VOC. Pasukan Raden Mas Garendi dan Kapiten Sepanjang bergerak untuk merebut Keraton Mataram di Kartasura. Terdesak, Pakubuwono II kemudian melarikan diri dengan kawalan VOC. Evakuasi Pakubuwono II dan keluarganya dipimpin oleh Kapten Van Hohendorff, pemimpin tentara kolonial VOC di Kartasura. Mereka melarikan diri ke Magetan melalui Gunung Lawu. Pakubuwono II kemudian mendapat perlindungan dengan aman di Ponorogo.

Puncak dari Geger Pecinan terjadi pada 30 Juni tahun 1742. Pasukan gabungan Jawa-Tionghoa menyerang istana Kasultanan Mataram di Kartasura. Pasukan Sunan Kuning berhasil menjebol benteng istana Kartasura. Penjebolan dilakukan dengan menggunakan meriam. Jejak dahsyatnya serangan ini masih bisa ditemui hingga saat ini. Jejak tersebut berupa jebolan tembok selebar 2 meter di komplek Situs Karaton Kartasura di Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah.

Walau masih muda, Raden Mas Garendi dipilih karena punya kharisma dan kepemimpinan. Tanggal 1 Juli 1742 setelah puncak serangan Geger Pecinan ke Karaton Kartasura, Raden Mas Garendi naik tahta dengan gelar Sri Susuhunan Amangkurat V Senopati Ing Alaga Abdurahman Sayidin Panatagama. Garendi dianggap sebagai pewaris sah tahta Kasultanan Mataram. Garendi juga punya darah keturunan raja dari kakeknya Sri Susuhunan Amangkurat III.

Baca Juga : Cerita Nunung Idap Kanker Payudara: Saya Sedih, Tapi Ngga Boleh Marah 

Seperti ditulis JATIMTIMES di ulasan sebelumnya dengan judul “Bukan di Srilanka, Amangkurat III Ternyata Habiskan Hidup dan Wafat di Kediri”, Raja ke-6 Kasultanan Mataram Sri Susuhunan Amangkurat III dikenal sebagai raja yang anti terhadap Belanda. Keberadaanya di singgasana Istana Mataram dinilai Belanda sebagai sebuah ancaman untuk mengabadikan hegemoni kolonialisme di tanah Jawa. 

Amangkurat III kemudian dilengserkan secara paksa oleh pamanya Pangeran Puger dengan bantuan VOC. Puger kemudian mengambil alih kekuasaan dan naik tahta dengan gelar Sri Susuhunan Pakubuwono I. Sebagai cucu Amangkurat III, Garendi termotivasi menyerang Karaton Kartasura untuk menuntut hak waris kakeknya.

Dalam Buku Geger Pacinan 1740-1742 yang ditulis Daradjadi dan diterbitkan Kompas tahun 2013, disebutkan juga Raden Mas Garendi disebut Sunan Kuning.Kabarnya, kata ini berasal dari Cun Ling yang berarti bangsawan tertinggi. Sunan Kuning juga diartikan sebagai raja yang memiliki pasukan berkulit kuning saat melawan VOC.

Setelah berkuasa, Amangkurat V bermaksud menggempur pasukan Belanda di Semarang. Ia mengirim 1.200 prajurit gabungan etnis Jawa dan Tionghoa di bawah pimpinan Raden Mas Said dan Singseh (Tan Sin Ko). 

Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa merupakan Jawa Ningrat yang dendam kepada Mataram karena konflik kerajaan. Ayah Raden Mas Said yakni Pangeran Arya Mangkunegara dibuang VOC ke Srilanka akibat konflik kekuasaan.

Serangan Amangkurat V ke Semarang dilancarkan. Namun, pasukan Belanda berhasil mengalahkan pasukan Amangkurat V di Welahan. Kondisi Amangkurat V yang kehilangan banyak pasukan dimanfaatkan PB II merebut kembali Keraton Kartasura.

Baru saja bertahta, namun hidup Amangkurat V tenang. Dia menghadapi lawan yang sangat hebat, yakni Sri Susuhunan Pakubuwono II, VOC dan pasukan Madura di bawah komando Cakraningrat.

Setelah serangan ke Semarang, Amangkurat V digempur dari berbagai penjuru oleh pasukan gabungan Pakubuwono II, VOC dan Cakraningrat. Serangan bertubi-tubi akhirnya berhasil melengserkan cucu Amangkurat III dari tahta istana Mataram.

Pada 26 November 1742, PB II dibantu Cakraningrat IV dari Madura menyerang Kartasura dari arah Bengawan Solo, sementara pasukan Belanda dari arah Ungaran dan Salatiga. Pakubuwono II berhasil merebut kembali Karaton Kartasura dan memaksa Amangkurat V atau Sunan Kuning meninggalkan istana Mataram dan mengungsi ke selatan bersama pasukannya.

Perjuangan yang berakhir antiklimaks, Amangkurat V kemudian lari dan kabar dari Belanda menyebutkan tertangkap di Surabaya pada bulan Desember 1743 setelah terpisah dari rombongannya. 

Setelahnya, Amangkurat V atau Raden Mas Garendi dibawa ke Semarang, lalu ke Batavia dan akhirnya dibuang ke Ceylon atau Sri Lanka. Tidak ada yang tahu kapan Raden Mas Garendi wafat. Catatan Belanda menyatakan Garendi wafat saat pembuangan di Srilanka.

Berbeda dengan catatan Belanda, cerita rakyat di Semarang menyatakan Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning sejatinya tidak pernah tertangkap oleh Belanda. Dalam pelariannya dia kemudian menyamar sebagai tabib dari Cina. Sunan Kuning di Semarang juga menyebarkan agama Islam.

Sunan Kuning disebut memiliki nama Cina Soen An Ing. Makamnya pun ada,  lokasi yang disebut-sebut sebagai makam Sunan Kuning ada di Jalan Taman Sri Kuncoro, RW 2 RT 3, Kali Banteng, Semarang Barat. Lokasi malam ini berjarak sekitar sekitar 100 meter saja dari pusat lokalisasi prostitusi.

Catatan tersebut juga menyebutkan Sunan Kuning hidup pada tahun 1740. Kemampuan Sunan Kuning dalam mengobati orang sakit membuat banyak masyarakat tertarik dan memeluk Islam.

Tidak seperti lazimnya makam penyebar agama Islam lainnya, makam Sunan Kuning di Semarang kental dengan nuansa China. Arsitektur khas negeri tirai bambu akan menyambut pengunjung pada gerbang makam. Begitupun cungkup dan pusara. Bergaya Cina dengan warna serba merah dan kuning.

Di makan Sunan Kuning terdapat tiga bangunan bergaya China, yakni cungkup makam Sunan Kuning, cungkum makam tiga pengikutnya, dan satu musala. Di samping makan Sunan Kuning, ada dua makan pengikutnya yakni makam Sunan Kali dan makam Sunan Ambarawa.


Topik

Hiburan, Seni dan Budaya


Bagaimana Komentarmu ?


JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Tulungagung Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Nurlayla Ratri