JATIMTIMES - Pasal baru yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terus menyita perhatian banyak orang.
Kali ini, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej juga ikut mengomentari mengenai pasal tersebut.
Baca Juga : Bukan Pemerkosaan, Jendral Andika Sebut Kasus Mayor Paspampres-Kowad Suka Sama Suka
Ia mengatakan, pasal perzinaan yang diatur dalam KUHP itu tidak bisa dibanding-bandingkan dengan negara satu dengan yang lainnya.
"Berbicara soal pasal-pasal kejahatan kesusilaan jangan dibanding-bandingkan. Amerika Serikat tidak bisa bandingkan dengan Indonesia," ujar Edy, dikutip dari CNNIndonesia, Jumat (9/12/2022).
Edy mengatakan negara asing harus tetap menghormati kebijakan yang sudah diambil oleh Indonesia.
Lebih lanjut, Edy mengatakan tugas dari pemerintah dan DPR selaku pembentuk UU adalah menjelaskan sejelas-jelasnya mengenai muatan dari KUHP baru tersebut untuk menghindari kekhawatiran dari pihak luar.
"Bahwa ada kekhawatiran asing dari Amerika dan Australia, tugas kita pembentuk UU adalah menjelaskan sejelas-jelasnya," katanya.
Edy lalu memberikan penjelasan mengenai pasal kohabitasi atau perzinaan yang ramai menjadi pembicaraan.
"Kita sedang susun penjelasan resmi soal industri pariwisata dan asing. Pertama, KUHP ini enggak langsung berlaku, masih ada tiga tahun dan yang lebih penting termasuk asosiasi hotel di Indonesia," katanya.
Baca Juga : Tambah Modin Perempuan, Upaya Pemkot Kediri Maksimalkan Pemulasaraan Jenazah
Ia mengatakan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif agar para pelaku industri pariwisata tidak risau. Pasalnya pidana perzinaan merupakan delik aduan.
"Pasal ini tidak perlu dikhawatirkan karena penerapannya enggak mungkin dengan penggerebekan," tambah Edy.
Sebelumnya, DPR secara resmi telah mengesahkan RKUHP menjadi undang-undang pada Selasa (6/12).
Pengesahan itu tetap dilakukan meski banyak penolakan dari publik. KUHP baru itu memuat banyak pasal kontroversial.
Muatan pasal baru itu banyak disoroti publik nasional maupun internasional. Beberapa media asing mengkritik hukuman terhadap penghina presiden dan lembaga negara yang dinilai melanggar ideologi Pancasila itu sendiri.