Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Hukum dan Kriminalitas

Konsekuensi Pilkada Serentak 2024: Kekosongan Jabatan dan Pemotongan Masa Jabatan Kepala Daerah

Penulis : Anggara Sudiongko - Editor : Dede Nana

30 - Jun - 2022, 18:59

Dr Ahmad Siboy Pakar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (Ist)
Dr Ahmad Siboy Pakar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (Ist)

JATIMTIMES - 2024 akan menjadi tahun politik di Indonesia. Pada tahun tersebut, Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) bakal digelar serentak. Pesta demokrasi ini akan menjadi momen akbar pemilihan pertama yang terbesar di Indonesia. Sebab, pada momen pemilihan sebelumnya, pemilu dan pilkada belum pernah dilaksanakan pada tahun yang sama.

Namun, dalam pesta demokrasi serentak itu, terdapat polemik besar, yakni terkait dengan penyelenggaraan Pilkada. Dalam penyelenggaraan Pilkada 2024, terdapat konsekuensi pemotongan masa atau lama jabatan kepala daerah yang belum habis. Selain itu, terjadi kekosongan jabatan kepala daerah yang sudah habis masa periodenya sebelum Pilkada 2024.

Baca Juga : Fakultas Kedokteran Hewan UB Pastikan 500 Sapi Kurban di Kota Mojokerto Aman Dikonsumsi

"Pilkada 2024 serentak terjadi dua hal. Kekosongan jabatan akibat Pilkada ditunda (serentak 2024), dan ada pemotongan masa jabatan dari kepala daerah hasil Pemilukada 9 Desember 2020. Korbannya termasuk juga putra dan menantu presiden Bobby Wali Kota Medan dan Gibran Wali Kota Solo. Mereka sama-sama mengakhiri masa jabtan 2024. Artinya tidak genap menjabat 5 tahun," jelas Dr Ahmad Siboy Pakar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, Kamis (30/6/2022).

Kekosongan jabatan kepala daerah hasil pilkada 2017-2018 masih bisa dilakukan penunjukan penjabat kepala daerah agar tidak terjadi kekosongan kekuasaan. Namun untuk kepala daerah yang tidak menjabat genap lima tahun, misalnya selama 3,5 tahun, maka terdapat kerugian lama masa jabatan sekitar 1,5 tahun. 

Secara normatif, dijelaskan Boy, sapaan akrabnya hal itu sah. Sebab, penyelenggaraan Pilkada telah diatur dalam  Undang-Undang (UU) 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Akan tetapi, dilihat dari sisi kepala daerah terdapat kerugian yang dialami. Kerugian tersebut baik secara hak finansial, mulai dari hak gaji dan tunjangan selama sisa masa jabatannya.

Kemudian, hal ini memicu ketidaksinkronan dengan ketentuan peraturan yang lain. Dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, masa jabatan kepala daerah disebutkan jelas selama lima tahun. Selain itu, hal ini juga berkaitan dengan rencana pembangunan jangka menengah daerah yang telah diatur lima tahun.

"Artinya tidak ada sinkronisasi hanya demi pilkada serentak nasional. Tidak ada perlindungan hukumnya lagi, ya sulit. Ketentuan itu harus diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Nyatanya MK sudah menolak permohonan itu, tapi apakah bisa diuji lagi? Bisa," kata Boy.

Hal ini tentu tergantung bagaimana argumentasi kuat pemohon dalam merubah keputusan MK yang sebelumnya menolak menjadi diterima. Argumentasi kuat tersebut salah satunya dijelaskan Boy adalah terkait UU Pemda RPJMD dan juga kesiapan penyelenggaraan ketika dilakukan 2024, dalam hal ini infrastruktur kelembagaan.

Lebih lanjut dijelaskannya, penyelenggaraan Pilkada 2024 dikatakan tak siap. Pasal 157 menyatakan bahwa kewenangan mengadili perselisihan hasil pilkada bukan  lagi diadili oleh MK, namun oleh badan peradilan khusus. Badan peradilan khusus harus dibentuk selambat-lambatnya sebelum penyelenggaraan Pilkada 2024.

"Sekarang 2022, kejelasan lembaga yang mengadili itu nggak ada. Konsepnya saja belum jelas kok, akan ada di bawah Mahkamah Agung (MA) atau berdiri sendiri. Siapa hakimnya, bagaimana hukum acaranya itu tidak ada, lalu kenapa dipaksakan 2024?" ungkap Boy.

Ketika rezim pilkada dilepaskan oleh MK dari bagian rezim pemilu, artinya pilkada berdiri sendiri dan pemilu berdiri sendiri secara otomatis ini terdapat masalah. Terkait penyelenggara, KPUD provinsi maupun KPUD kabupaten dan kota merupakan lembaga yang dibentuk untuk menyelenggarakan pemilihan umum dan bukan Pilkada.

"Lha gimana? Kita ingin menyelenggarakan tapi infrastruktur politik dan hukumnya tidak jelas. Kemudian kalau kita berargumentasi, apa sih keuntungan mempercepat pemilu pemilihan kepala daerah secara serentak. Tidak ada, hanya ya satu kali," ujarnya.

Baca Juga : Jokowi Tunjuk Menko Perekonomian Airlangga sebagai Ketua Dewan Nasional KEK

Mengenai hal ini, pihaknya berpendapat jika pemerintah dan DPR telah satu suara dalam satu undang-undang. Namun jika pemerintah punya komitmen yang baik, dengan tidak memaksakan Pilkada, tentunya pemerintah harus mengubah undang-undangnya.

Bilamana DPR enggan dalam mengubah, akana tetapi Presiden bersedia, tentunya perubahan ini masih bisa terlaksana. Sebab, presiden bisa menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Buktinya, ketika Pandemi Covid-19, Pilkada 2020 harusnya dilaksanakan pada 9 September 2020 sesuai undang-undang. Akan tetapi kemudian ditunda karena presiden mengeluarkan Perppu.

"Belum lagi pemekaran daerah di Papua sekarang, la kalau pemekaran daerah ingin maju jadi calon kepala daerah pakai kursi apa, kan belum ada DPRD nya. Syarat untuk maju calon kepala daerah kan ada DPRD-nya. ini kemudian bagi saya belum ada harmonisasi," jelasnya.

Kepala daerah yang merasa dirugikan secara hukum memiliki legal standing. Sehingga, yang bisa dilakukan adalah mengajukan pembatalan penyelenggaraan Pilkada untuk 2024 dengan mengajukan ke MK.

Selain bisa saja dalam keputusannya 9 hakim konstitusi berubah pikiran. Dengan pengajuan ke MK, bisa jadi terdapat  putusan lain, di mana bagi kepala daerah hasil pemilihan 2020 tidak diikutkan dalam pemilihan 2024 dalam rangka menjalankan hak konstitusional masa jabatan kepala daerah.

"Bisa saja MK seperti itu. Artinya Pilkada tetap 2024, tapi tidak berlaku untuk kepala daerah yang masa jabatannya belum habis. MK bisa menambahkan hal itu. Karena MK juga berfungsi sebagai positif legislator hari ini," paparnya.

Seperti halnya Bupati Malang  pun juga bisa mengajukan ke MK bilamana memang merasa dirugikan. Sehingga walaupun Sanusi berhadapan dengan undang-undang yang dibuat oleh presiden dan DPR, hal tersebut menurutnya bukanlah menjadi sebuah masalah.

"Ya tinggal berani apa tidak, berniat apa tidak. Toh keputusan MK bisa berubah,"pungkasnya.


Topik

Hukum dan Kriminalitas


Bagaimana Komentarmu ?


JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Tulungagung Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Anggara Sudiongko

Editor

Dede Nana