JATIMTIMES - Kurang lengkap rasanya jika berkunjung ke Nusa Tenggara Timur (NTT) tapi tidak mampir ke Kampung Wae Rebo. Ya karena Wae Rebo ibarat kampung surga di atas awan yang masih menyajikan nuansa tradisional.
Tak heran, karena keindahan, keunikan, serta masih menyimpan nilai-nilai tradisional, Wae Rebo sudah menjadi salah satu tempat favorit para wisatawan, baik wisatawan mancanegara maupun Nusantara.
Baca Juga : 9 Berkah Menikah dalam Pandangan Islam, Calon Pengantin Wajib Tahu Nih
Wae Rebo terletak di Kecamatan Satarmese Selatan, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Wae Rebo terletak di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut.
Yang menarik d Wae Rebo ini adalah rumah adatnya yang sepenuhnya tertutup daun lontar dan membentuk kerucut. Dalam bahasa Manggarai, rumah adat ini disebut “Mbaru Niang”. Rumah semacam ini umum untuk wilayah Manggarai, sebagai simbol kebudayaan yang diwariskan leluhur sejak lama.
Rumah yang ada di Wae Rebo berjumlah tujuh. Ada cerita tersendiri mengapa jumlahnya hanya tujuh. Menurut cerita nenek moyang masyarakat Manggarai, jumlah tujuh memiliki makna dalam peradaban masyarakat Manggarai dahulu kala. Untuk itu, pembuatan rumah adat itu pun sangat eksotis dan berdaya magis.
Butuh perjuangan untuk sampai di Wae Rebo ini, karena letaknya di atas gunung. Untuk mencapai Wae Rebo, pengunjung menyusuri daerah terpencil yang dikelilingi hutan lebat, menyeberangi sungai serta melintasi bibir jurang.
Total waktu yang ditempuh jika perjalanan dimulai dari wisata populer lainnya di NTT, yakni Labuan Bajo, menuju Wae Rebo sekitar delapan sampai sebelas jam. Pertama kita akan menempuh perjalanan dari Labuan Bajo menuju Ruteng selama tiga sampai empat jam. Harga untuk travel Labuan Bajo-Ruteng berkisar antara Rp 100.000-Rp 300.000 per orang.
Dari Ruteng, kita masih akan menempuh perjalanan yang cukup jauh. Sampai di Ruteng, kita akan menuju Kampung Denge. Perjalanan menuju Denge memakan waktu sekitar 3-4 jam dan dapat ditempuh menggunakan ojek seharga Rp 150.000-Rp 200.000.
Denge merupakan desa terakhir sebelum menuju Wae Rebo. Dari Denge, kita akan berjalan kaki menuju pos 1 Desa Wae Rebo, yang ditempuh selama 45 menit. Dari pos 1 akan dilanjutkan perjalanan menuju pos 2 dan tetap ditempuh dengan berjalan kaki karena hanya terdapat jalan setapak.
Perjalanan dari pos 1 ke pos 2 melalui jalan berupa hutan yang menanjak dengan jarak tempuh sekitar 2-3 jam. Pos 2 merupakan tempat dengan pemandangan yang indah. Pengunjung dapat melihat Desa Denge dari kejauhan jika cuaca sedang bagus.
Dari pos 2, perjalanan masih berupa hutan dan mulai memasuki perkebunan kopi warga Wae Rebo. Kondisi jalan sudah datar dan mulai menurun.
Sebelum memasuki Wae Rebo, terdapat Rumah Kasih Ibu. Di sini kita harus membunyikan kentongan. Kentongan ini menandakan terdapat tamu yang akan mengunjungi Wae Rebo.
Jarak tempuh dari pos 2 menuju Wae Rebo sekitar satu jam. Ketika sampai di Wae Rebo, pengunjung harus melaksanakan upacara adat terlebih dahulu, baru kemudian boleh berkeliling dan berfoto.
Baca Juga : 13 Cara Menjadi Suami yang Baik Bagi Istri Menurut Pandangan Islam
Sebelum upacara adat dimulai, pengunjung harus bayar terlebih dahulu. Tidak ada patokan harga masuk ke Wae Rebo. Pengunjung dapat memberikan seiklasnya saja.
Rumah adat Mbaru Niang sudah dilestarikan warga Wae Rebo dari generasi ke generasi, sejak bangunan ini dibuat oleh nenek moyang mereka kurang lebih tahun 1920 silam. Nenek moyang mereka mewarisi 7 rumah Mbaru Niang. Namun, 3 dari 7 rumah itu sempat mengalami kerusakan.
Pada tahun 2008, 7 rumah Mbaru Niang tersebut telah dikonstruksi ulang melalui sebuah program revitalisasi yang didukung oleh Yayasan Tri Utomo dan Yayasan Rumah Asuh. Proses pembangunan atau rekonstruksi rumah adat Mbaru Niang dilakukan warga Wae Rebo sendiri sehingga tidak ada nilai sejarah dan dan keasliannya yang dibuang.
Proses rekonstruksi ini sangat memegang peranan penting karena adanya transfer ilmu dari warga yang sudah tua kepada warga yang masih muda. Sebab, kaum muda nanti yang akan melanjutkan kehidupan di Wae Rebo dan mempertahankan budaya nenek moyang mereka.
Usaha dan upaya warga Wae Rebo dalam mempertahankan sejarah, budaya, dan kearifan mereka juga tidak luput dari perhatian badan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang mengurusi budaya, yakni UNESCO. Organisasi tersebut menghadiahkan Desa Wae Rebo sebuah penghargaan UNESCO Asia Pacific Award for Cultural Heritage Conservation pada 27 Agustus 2012. Penghargaan tersebut merupakan penghargaan tertinggi yang diberikan kepada mereka yang melakukan konservasi terhadap suatu warisan budaya.
Bukan hanya itu. Pada kategori daya tarik wisata pada Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) tahun 2021, Desa Wae Rebo meraih juara satu.
Tujuh rumah Mbaru Niang yang dibuat nenek moyang Desa Wae Rebo memiliki arti untuk menghormati 7 arah mata angin dari puncak-puncak gunung yang yang mengelilingi Kampung Wae Rebo. Hal itu mereka percayai sebagai cara untuk menghormati roh-roh yang memberikan mereka kesejahteraan.
Semua Mbaru Niang berdiri di tanah datar dan dibangun mengelillingi sebuah altar yang disebut “Compang”. Compang berdiri sebagai titik pusat dari ketujuh rumah tersebut dan dipercaya sebagai bangunan paling sakral yang ada di di sana. Fungsi Compang sebagai altar untuk memuji dan menyembah Tuhan serta para roh-roh nenek moyang.