JATIMTIMES - Berbagai pendapat dari akademi kampus Malang Raya terus bergulir terkait Peraturan Mendikbud Ristek (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS).
Tak terkecuali dari Staf Ahli Wakil Rektor III Universitas Brawijaya (UB) Ilhamudin MA. Walaupun secara tegas Ilhamudin mengatakan, pihaknya tak ingin memberikan tanggapan terkait konten yang jadi polemik.
Baca Juga : Permendikbud PPKS, Rektor Unikama Sebut Perlu Kaji Ulang dan Takut Disalahgunakan Oknum
"Apapun isinya, substansinya, debatable. Saya kira banyak ahli atau pakar yang bisa merespon tentang konten yang jadi pro kontra itu," ucap Ilhamudin.
Dalam Pasal 5 ayat 2 Permendikbudristek PPKS memuat frasa 'tanpa persetujuan korban' atau paradigma seks bebas yang berbasis persetujuan (Sexual-Consent).
Hal itu, menurut tim staf ahli bidang hukum Arif Zainuddin, MH, memang tidak perlu terdapat frasa 'tanpa persetujuan korban'. Sehingga, jika misalnya seseorang memperlihatkan kelaminnya tanpa persetujuan atau tidak, maka hal tersebut sudah termasuk aksi pelecehan.
Akan tetapi, pada sisi lain, keberadaan Permendikbud itu sangat diperlukan bagi perguruan tinggi dalam menyiapkan pranata aturan yang selaras. Pada prinsipnya, memberikan perlindungan kepada mahasiswa, memberikan rasa aman dan nyaman dalam menempuh pembelajaran di kampus, merupakan suatu keharusan dan salah satu tujuan pengelola perguruan tinggi.
"Jadi jika ditanya apakah UB punya landasan hukum penerapan Permendikbud itu, sebenarnya kami sudah membahas Permendikbud itu tahun kemarin dan sudah mengeluarkan Peraturan Rektor (Pertor) Nomor 70 tahun 2020 terkait dengan kekerasan seksual dan perundungan," jelasnya.
Baca Juga : Polemik Permendikbud PPKS, Rektor Unisma: Aturan Harus Mudah Dipahami Seluruh Pihak
Karena itu, dalam penerapan aturan tersebut tidak menjadi berat bagi UB. Bahkan di UB juga sudah memiliki unit khusus untuk menangani hal itu. UB memiliki Unit Pelayanan Terpadu Kekerasan Seksual dan Perundungan (UPTKSP) yang ada di setiap fakultas.
Namun, sekali lagi pihaknya menegaskan, Permendikbud harus ada. Hal itu sebagai rujukan hukum perguruan tinggi dalam mengembangkan program layanan atau kegiatan yang selaras dengan tujuan aturan itu.
"Kami terus memantau Permendikbud ini. Tapi substansinya kami serahkan ke Kemendikbud. Tapi yang di bawah sebagai pelaksana tugas kami siap," pungkasnya. (Bersambung)