Selalu ada kisah-kisah menakjubkan dari para tokoh pergerakan Indonesia. Kisah yang tak lekang oleh zaman dan tetap bisa jadi suri teladan sampai saat ini. Khususnya bagi para penyelenggara pemerintahan yang kini bisa merasakan kemerdekaan dengan berbagai bonusnya.
Satu kisah mengharukan sekaligus menebalkan sosok kepemimpinan sang proklamator Indonesia, yaitu Mohammad Hatta, sebagai pemimpin yang patut jadi contoh hidup untuk saat ini. Pemimpin dengan jabatan kedua tertinggi di Indonesia yaitu sebagai wakil presiden, tapi kehidupannya terbilang sederhana.
Dalam buku karya Fasisal Basri dan Haris Munandar berjudul Untuk Republik: Kisah-Kisah Teladan Kesederhanaan Tokoh Bangsa, kisah kesederhanaan Bung Hatta bertebaran. Dan mungkin berbanding terbalik dengan gaya hidup para pemimpin saat ini, baik di eksekutif, legislatif maupun di yudikatif.
Satu kisah paling menarik adalah terkait hasrat Hatta yang sangat ingin memiliki sepatu Bally. Sepatu yang diproduksi di Swiss sekitar tahun 1851 dan memiliki jejak panjang popularitas sampai saat ini. Nama Bally yang diambil dari nama belakang pemilik pabrik sepatu bernama Carl Franz Bally itu adalah jaminan mutu bagi produk sepatu secara internasional. Menjadi tren bagi masyarakat dunia, tak terkecuali di Indonesia, dan tentunya memiliki banderol harga yang sangat mahal pada zamannya.
Hatta pun tergiur dengannya dan begitu ingin mendapatkannya. Tapi, apa daya tabungan dan gajinya tak mungkin untuk membeli sepatu impiannya itu. Bahkan, sampai akhir hayatnya, Hatta yang merupakan wakil presiden kala itu membawa impiannya untuk bisa membeli sepatu Bally ke liang lahat.
Perkenalan Hatta dengan sepatu Bally yang diidamkannya berawal dari sebuah iklan sepatu di koran. Melihat iklan itu, Hatta seketika terpincut dengan model dan nama Bally. Maka, diguntinglah koran berisikan iklan itu serta disimpannya dalam dompet. Dirinya tidak mungkin serta merta membeli sepatu Bally yang terbilang mahal pada zamannya itu.
Hasrat memiliki sepatu Bally dibawanya ke mana-mana. Sayangnya, uang tabungan Hatta tidak pernah mencukupinya. Gajinya pun sebagai wakil presiden selalu terpakai untuk keperluan rumah tangga dan untuk membantu kerabat yang datang meminta pertolongan.
Maka, sampai akhir hayatnya, sepatu Bally yang diimpikan bisa dibeli dan dipakainya hanya jadi kenangan. Tak lama setelah wafat pada 14 Maret 1980, keluarga Bung Hatta menemukan lipatan guntingan iklan lama dalam dompetnya. Iklan itu adalah iklan sepatu Bally, yang dulu disimpannya.
Kertas usang di dompet Hatta menjadi saksi kesederhanaan seorang Hatta, sang proklamator Republik Indonesia. Sosok manusia pemimpin yang sangat dibutuhkan saat ini di Indonesia yang telah menginjak usia ke-74.
"Jujur, lugu, dan bijaksana/Mengerti apa yang terlintas dalam jiwa Rakyat Indonesia/Hujan air mata dari pelosok negeri/Saat melepas engkau pergi/Berjuta kepala tertunduk haru/Terlintas nama seorang sahabat/Yang tak lepas dari namamu" Begitulah lirik lagu Bung Hatta yang ditulis dan dinyanyikan Iwan Fals, dalam mengenang sang proklamator.