Aktivitas di kawasan Jalan Dhoho Kota Kediri seolah hampir tak pernah mati . Kawasan dengan panjang kurang lebih sekitar satu kilometer tersebut dipenuhi dengan kegiatan perdagangan baik dalam skala besar ataupun skala kecil.
Sebagai urat nadi perekonomian , di sepanjang Jalan Dhoho banyak berderet toko yang sejak jaman Kolonial hingga sekarang masih menjadi Pusat perekonomian
Sebagai jalan utama, toko-toko di kawasan ini umumnya mendagangkan barang fashion, elektronik, optikal, onderdil kendaraan, hingga binatu.
Namun siapa-siapa pemilik kerajaan bisnis di kawasan ini? Dilihat dari kelompok ras, mereka terbagi atas Pribumi dan Tionghoa. Kelompok Pribumi terbagi dalam dua keluarga yaitu, keluarga Madiun dan keluarga Bawean. Kelompok lain adalah dari etnis India dan Arab namun kini sudah tidak ada lagi.
Kelompok usaha dari Pribumi baik dari keluarga Madiun dan Bawean yang merupakan kelompok usaha dari satu pohon keluarga, sedangkan kelompok usaha etnis Tionghoa bukanlah dari satu pohon keluarga, mereka berasal dari berlainan marga.
Sedangkan untuk etnis Tionghoa rata-rata mereka berdagang di sektor elektronik, otomotif, optikal, apotek, elektronik dan lain-lain. Ada pula yang berusaha di sektor jasa, salah satunya usaha binatu. Kelompok usaha dari etnis Tionghoa di antaranya Toko Delta, Sumber Listrik, Perdana Teknik, Binatu Kimia Dhaha, Aries Motor, dan lain-lain.
Kelompok usaha ini yang dari generasi ke generasi, rata-rata meneruskan usaha ayah mereka. Sebagian dari mereka, ayahnya pendatang dari Tiongkok yang membuka usaha di Kediri. Sebagian yang lain, adalah etnis Tionghoa kelahiran Kediri.
Ayah mereka telah memulai usaha perdagangan pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Contohnya adalah, Toko Delta yang menjual onderdil mobil dan Binatu Kimia Dhaha. Dua pemilik toko di Jalan Dhoho ini memulai usaha pada era kolonial. “Seingat saya, ketika saya kecil toko ini sudah ada,” kata Didik Sutanto (77) pemilik toko Delta.
Didik mengisahkan, ayahnya dahulunya memulai usaha pracangan. Namun ketika perusahaan pabrik gula di Ngadirejo Kecamatan Ngadiluwih didirikan, ayahnya diminta oleh pengelola pabrik yang orang Belanda untuk berdagang onderdil mobil. Sejak saat itu, ayahnya sedikit demi sedikit menyediakan onderdil mobil di tokonya.
Pemilik Binatu Kimia Dhaha, Pao Siu Cheng (72) juga meneruskan usaha binatu yang telah dirintis ayahnya, Po Le Fong. Dahulu usaha binatu miliknya merupakan satu-satunya di Kediri. Rata rata pelanggannya pejabat lokal dan pengusaha kaya. Ketika pada masa ayahnya, pelanggannya orang-orang dari Belanda dan kalangan ningrat pribumi.
“Ayah saya ketika di Tiongkok sudah membuka usaha binatu. Ketika di Kediri ia juga membuka usaha yang sama. Saat itu pelanggannya orang Belanda dan kaum ningrat pribumi,” kata wanita yang kini mengeleola usaha sendirian.
Baik Didik dan Cheng tidak mengembangkan usaha serta melakukan regenerasi. Didik beralasan, dua anaknya telah sukses membuka usaha sendiri di Surabaya. Dia sendiri juga tidak berminat mengembangkan usaha, alasannya faktor usianya yang sudah tua.
Sementara Chen memang tidak memiliki keturunan lantaran tidak menikah. Keponakan-keponakan yang sejak kecil diasuhnya dan diperlakukan sebagai anaknya sendiri juga tidak meminati usaha miliknya. Keponakan-keponakannya memilih usaha sendiri di luar kota.
Sementara itu, dari keluarga Madiun terbagi dalam dua keluarga besar yang dahulunya merupakan dua bersaudara. Mereka adalah Salimo Takim dan adiknya Salimun Takim. Keduanya berasal dari Gorang Gareng, Madiun. Mereka memulai membuka toko di Jalan Dhoho sekitar tahun 1941.
Dari dua bersaudara ini berkembanglah beberapa toko yang dikelola anak-anak mereka. Sebut saja Toko Takim yang menjual batik, dan busana muslim. Toko yang dikelola Saptowo Salimo ini berada di pertengahan Jalan Dhoho. Toko ini dahulunya terkenal lantaran termasuk yang awal berdagang kain.“Nama Takim ini sudah dari dahulu,” tutur Saptowo
Saudara perempuannya Saptowo, juga membuka usaha di bidang yang sama yang lokasinya tidak jauh dari tempat usahanya yang dinamai ‘Murni’. Ada toko milik keluarga ini yang dikelola kakak laki-laki Saptowo yang bernama Sefaham Salimo (Faham). Toko ini dahulunya bernama ‘Fiesta’ yang menjual sepatu dan tas. Toko ‘Fiesta’ yang berada di Jalan Dhoho sebelah utara itu kini telah berganti nama menjadi ‘Zam-zam’. Toko telah beralih pemilik yang sekarang dikelola oleh ponakannya Faham dari keturunan Salimun Takim.
Dari pihak Salimun Takim, beberapa toko yang dikelola keturunan mereka, antara lain toko Rama, Noro, Asri, Sarina, dan Al-Barkah. Toko-toko ini rata-rata menjual pakaian. Beberapa diantaranya menjual busana muslim.
Dari keluarga Bawean tidak banyak keterangan yang didapat. Ketika KEDIRITIMES berusaha mewawancarai salah satu anggota keluarga ini, ia menghindar untuk memberikan keterangan. Namun menurut sedikit keterangan yang didapat, kelompok keluarga Bawean berhasil melakukan regenerasi. Bahkan, usaha mereka bisa dikatakan berkembang pesat.
Kelompok keluarga ini juga rata-rata menjual pakaian. Beberapa toko milik kelompok keluarga ini diantaranya, Semoga Jaya, Pudakit Indah, Madina, Mentari, President. Mereka ini mengembangkan usaha perdagangan ke sektor lain.
Ada kelompok usaha dari Bawean yang bukan dari keluarga. Mereka juga membuka usaha perdagangan bidang pakaian, tas, kosmetik dan aneka barang lainnya. Kelompok usaha ini diantaranya, Jaya Raya, Tenang Baru, dan Tenang.
Kini di Jalan Dhoho, telah banyak pendatang baru dari kelompok etnis Tionghoa. Mereka orang Tionghoa yang sebelumnya memiliki usaha di kawasan luar di Kediri.
Sebagian yang lainnya merupakan pendatang dari luar kota. Selain etnis Tionghoa, pendatang baru di kawasan Jalan Dhoho dari beragam etnis, mulai etnis Minang, Jawa, dan etnis lainnya. Mereka kini mulai menguasai kawasan Jalan Dhoho dalam pertarungan dunia bisnis.