JATIMTIMES, BANYUWANGI – Di Kelurahan Lateng, Kabupaten Banyuwangi, terdapat sosok yang memiliki jasa besar dalam pembentukan tonggak landasan penetapan hari santri Nasional, yakni momentum ‘Resolusi Jihad’, 22 Oktober 1945.
Dia adalah almarhum kiai Saleh. Semasa hidupnya, ulama yang terkenal dengan sebutan kiai Saleh Lateng tersebut memiliki intelektual tinggi. Selain itu, juga dikenal pandai bergaul dan sakti mandraguna. Sehingga, Banyuwangi yang kala itu terkotak – kotak dan menjadi sarang bromocorah berhasil dia satukan.
Bahkan, saking kagumnya dengan kiai Saleh, para Bromocorah, secara suka rela menjadi santri dan ikut membantu pergerakan melawan penjajah.
Menurut Bahrur Rohim, Ketua Pimpinan Anak Cabang Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) mengutip catatan sejarah, kiai Saleh merupakan keturunan kerajaan Palembang lahir di Kampung Mandar, Banyuwangi pada tahun 1862, dengan nama lengkap Kiagus Muhammad Saleh.
Ayahnya yang berdarah bangsawan Palembang bernama Kiagus Abdul Hadi dan ibunya yang asli Banyuwangi memiliki nama Aisyah.
“Pada usia remaja, kiai Saleh belajar mengaji di pondok Kyai Mas Ahmad, Kebon Dalem, Surabaya. Lalu mondok ke Kiai Kholil Bangkalan Madura, kemudian melanjutkan ke Bali, yakni kepada Tuan Guru Muhammad Said di Jembrana dan di Makkah selama enam tahun,” katanya, Jumat (23/10/2015).
Selepas menimba ilmu di tanah suci, kiai Saleh, di utus kiai Kholil untuk segera pulang dan menyebarkan Islam di tanah kelahirannya di Kelurahan Lateng, Banyuwangi. Dan disinilah awal mula nama Kiai Saleh Lateng mulai dikenal.
Dalam pengajaran kepada murid - muridnya, almarhum sangat menjunjung sikap tegas terhadap penjajahan. Ia sering berpesan kepada santri - santrinya untuk berusaha keras menjadi orang pintar agar tidak terus dijajah oleh bangsa lain.
Sebagai bekal perjuangan, selain mengajarkan ilmu - ilmu agama, kiai Saleh juga mengajarkan ilmu kesaktian yang dipelajarinya sejak mondok di Bangkalan. Maka jangan heran, kala itu murid - murid Kiai Saleh bukan hanya terdiri dari kaum santri yang taat beribadah. Melainkan juga para jagoan dan bromocorah - bromocorah setempat yang ingin menambah kesaktian. (*)