Dari Pangeran Demang ke Pakubuwana II: Raja Mataram Berdarah Kediri
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Nurlayla Ratri
03 - Aug - 2025, 12:26
JATIMTIMES - Langit mendung menggantung di atas Setono Gedong, kompleks pemakaman tua di jantung Kota Kediri. Di balik hiruk-pikuk Jalan Dhoho, tempat ini menyimpan narasi panjang kekuasaan, spiritualitas, dan perlawanan. Di sinilah bersemayam Ratu Jalu atau Pangeran Demang, tokoh yang menjadi penghubung antara dua era besar dalam sejarah Jawa: masa kejayaan Dinasti Demak dan masa keruntuhan Kartasura. Dari pusara sunyi ini pula, benih-benih kekuasaan Pakubuwana II mulai ditanamkan, jauh sebelum Keraton Surakarta berdiri.
Silsilah dan Lintasan Trah: Dari Demak ke Kartasura
Baca Juga : Daftar Tontonan Baru Netflix Agustus 2025: Ada Wednesday Season 2 Hingga Drama Korea Terbaru
Pangeran Demang adalah cucu dari Sunan Prawoto, putra Sultan Trenggana, raja ekspansionis Kesultanan Demak. Setelah pembunuhan Sunan Prawoto pada 1549 oleh utusan Arya Penangsang, dinasti Demak mulai tercerai-berai. Sebagian keturunannya memilih melawan, sebagian mengungsi ke daerah-daerah pinggiran untuk membangun pusat kekuasaan alternatif. Salah satunya adalah Panembahan Wirasmoro, putra Sunan Prawoto, yang lari, menetap dan wafat di Kediri.
Anaknya, Ratu Jalu atau Pangeran Demang, bukan hanya sekadar pewaris darah biru Demak. Ia adalah pemimpin spiritual dan politik yang membangun basis kekuasaan baru berbasis pesantren, ketokohan ulama, dan simbolisme darah Demak sebagai warisan sakral. Dikenal sebagai Adipati Kediri pertama pasca-Demak, ia dilantik oleh Pangeran Surabaya tahun 1586, menjadikan Kediri sebagai episentrum Islam Mataraman di tengah kemunduran kekuasaan Demak.
Kediri di bawah Ratu Jalu berkembang sebagai pusat keulamaan dan kekuasaan yang memadukan jaringan ulama, pesantren, dan trah spiritual Jawa. Dari sinilah, darah Demak terus mengalir ke generasi selanjutnya, termasuk ke dalam tubuh kekuasaan Mataram dan kelak menyatu dalam diri Pakubuwana II, Raja terakhir Kartasura.
Jalur Suci Sunan Kudus - Ratu Jalu: Merentang ke Kartasura
Silsilah Susuhunan Pakubuwana II tidak hanya berhenti pada garis keturunan raja-raja Demak atau Mataram Islam. Ia juga merupakan keturunan langsung dari Sunan Kudus, salah satu Wali Sanga, serta memiliki akar genealogis yang mengakar kuat pada darah bangsawan Campa dan Majapahit.
Jalur ini bermula dari Maulana Ibrahim Asmara (Maulana Abu Ngali Ibrahim), seorang ulama asal Mekah yang menjadi imam di tanah Campa dan kemudian menikahi Dewi Sasanawati, putri Raja Kiyan dari Campa. Kakak Dewi Sasanawati, yaitu Dewi Andharawati, adalah istri Prabu Brawijaya V dari Majapahit. Dari pernikahan Maulana Ibrahim Asmarakandi dan Dewi Sasanawati lahirlah Raden Rahmat, yang dikenal dengan nama Sunan Ampel.
Dari salah satu putri Sunan Ampel yang bernama Nyai Agêng Manyuran, lahirlah Sunan Kudus, tokoh penting dalam penyebaran Islam di Jawa. Sunan Kudus memiliki keturunan yang menyebar di kalangan aristokrasi pesisir utara Jawa. Salah satu putranya, Panembahan Kudus, menurunkan cucu bernama Pangeran Demang yang kemudian dimakamkan di Kediri.
Pangeran Demang adalah putra dari Panembahan Wirasmara, bangsawan Kediri, dengan seorang putri dari Panembahan Kudus. Dari pernikahan tersebut, lahirlah tiga orang putra: Pangeran Mêmênang, Pangeran Rajungan, dan Pangeran Kandhuruan. Keluarga ini termasuk dalam trah Kudus–Kediri yang merupakan cabang dari garis besar keturunan para wali dan tokoh-tokoh utama dalam sejarah Islam di Jawa.
Pangeran Rajungan, salah satu putra Pangeran Demang, menikah dengan keturunan Kyai Maja Agung II dan menurunkan Pangeran Sarêngat, yang kemudian diangkat menjadi Pangeran Kudus pada masa pemerintahan Susuhunan Amangkurat. Penunjukan ini terjadi setelah Pangeran Sarêngat turut berperan dalam dinamika politik saat pemberontakan Trunajaya. Ia kemudian menetap di wilayah Kudus dan menjadi figur penting di sana.
Dari jalur ini, lahir Raden Bagus Lêmbu, juga dikenal sebagai Raden Martapura atau Raden Martakusuma. Ia merupakan salah satu cucu Pangeran Demang dari keturunan Pangeran Rajungan. Raden Bagus Lêmbu menurunkan Raden Ayu Pandansari, yang menikah dengan Panembahan Purbaya, putra dari Sunan Amangkurat II.
Dari pernikahan Pandansari dan Panembahan Purbaya lahirlah Kangjêng Ratu Mas, yang menjadi permaisuri Susuhunan Amangkurat IV, serta ibunda dari Susuhunan Pakubuwana II, raja Mataram terakhir yang memindahkan pusat pemerintahan dari Kartasura ke Surakarta pada 17 Februari 1745.
Dengan demikian, Susuhunan Pakubuwana II memiliki garis keturunan langsung dari Pangeran Demang, yang juga berakar pada silsilah para wali, termasuk Sunan Kudus dan Syekh Jumadil Kubra. Ini menunjukkan bahwa raja Surakarta Hadiningrat tersebut tidak hanya merupakan penerus kekuasaan politik Mataram, melainkan juga pewaris legitimasi spiritual dan kultural dari jalur para wali penyebar Islam di tanah Jawa.
Maka secara nasab, Susuhunan Pakubuwana II yang lahir dengan nama Bendara Raden Mas Gusti Prabusuyasa pada 8 Desember 1711 merupakan keturunan langsung dari sejumlah tokoh penting dalam sejarah Islam dan bangsawan Jawa. Ia mewarisi darah Sunan Kudus melalui jalur wali, menyambung silsilah Maulana Ibrahim Asmarakandi dan Raja Campa yang menautkannya pada tradisi dakwah Islam awal serta garis darah luar Jawa. Dari jalur bangsawan pesisir timur, ia merupakan keturunan Panembahan Kudus dan Pangeran Demang dari Kediri. Ia juga mewarisi garis keturunan para sultan Demak, terutama melalui trah Sunan Prawata dan Sultan Trenggana, dua tokoh sentral dalam sejarah suksesi kerajaan Islam pertama di Jawa.
Susuhunan Pakubuwana II sendiri menjadi tokoh penting dalam transisi pusat kekuasaan Mataram dari Kartasura ke Surakarta, usai geger Pecinan dan kehancuran kraton lama. Ia menjadi pendiri Kraton Surakarta Hadiningrat dan meninggal dunia pada 21 Desember 1749. Jenazah beliau sempat dimakamkan di Laweyan karena kondisi politik Perang Suksesi Jawa ketiga, sebelum kemudian dipindahkan ke Imogiri oleh Pakubuwana III.
Dengan silsilah yang menggabungkan darah wali, bangsawan Majapahit, Campa, dan para elite pesisir, sosok Pakubuwana II merepresentasikan akumulasi legitimasi politik, spiritual, dan kultural dalam sejarah panjang kerajaan Jawa.

Pangeran Demang dan Jejak Berdarah Demak-Kediri-Mataram
Hingga kini, sangat sedikit dokumentasi yang mengangkat sosok Pangeran Demang, yang juga dikenal dengan nama Ratu Jalu, dalam sejarah Jawa pada akhir abad keenam belas. Ia muncul hanya dalam fragmen naskah dan silsilah, berdiri di persimpangan antara legitimasi lama Kesultanan Demak dan kemunculan kekuatan baru seperti Pajang dan Mataram. Tulisan ini berusaha menelusuri jejaknya di tengah pusaran transisi kekuasaan, ketika otoritas lama runtuh dan para penguasa lokal mulai mengisi ruang yang kosong.
Setelah wafatnya Pangeran Mas, Adipati Kediri, Pangeran Surabaya menunjuk Ratu Jalu sebagai pengganti. Keputusan ini ditolak oleh saudara-saudara Pangeran Mas, yakni Senapati Kediri, Saradipa, Kentol Jejanggu, dan Kartimasa. Mereka tidak menyukai intervensi kekuasaan dari Surabaya. Bagi mereka, pengangkatan Ratu Jalu sebagai pemimpin baru bukan sekadar keputusan politik, melainkan bentuk ancaman terhadap otonomi dan kehormatan lokal. Penolakan ini dengan cepat berubah menjadi pembelotan: mereka menyatakan kesetiaan kepada Panembahan Senapati di Mataram.
Baca Juga : Sambil Menangis, Son Heung Min Resmi Tinggalkan Tottenham Hotspur Setelah 10 Tahun Mengabdi
Panembahan Senapati tengah mengalami kesulitan setelah kehilangan dukungan wilayah Pati. Keputusan empat tokoh Kediri untuk bergabung dengan Mataram menjadi faktor strategis yang mengubah peta politik Jawa. Mereka membawa pengetahuan medan, kekuatan militer lokal, serta klaim legitimasi darah Demak. Panembahan Senapati menyambut mereka dengan tangan terbuka. Pangeran Wiramenggala diutus menyambut mereka, menandai aliansi baru antara kekuatan pusat dan elite lokal Kediri.
Ratu Jalu, merasa kekuasaannya terancam, bersiap mempertahankan Kediri. Namun gelombang pembelotan terus membesar: 200 tokoh Kediri keluar dari kota dan bergabung dengan pasukan Mataram. Pertempuran pecah di Krakal. Ratu Jalu terpaksa mundur ke dalam benteng, tapi kekalahan ini menciptakan momentum bagi Mataram untuk menguasai Kediri secara permanen. Senapati Kediri yang terluka dibawa ke Mataram, disambut sebagai pahlawan, dan diangkat anak oleh Panembahan Senapati. Ia diberi tanah 1.500 petak, sementara saudara-saudaranya diangkat dalam jabatan-jabatan penting.
Namun sejarah belum selesai. Dua hingga empat tahun kemudian, kekuatan lama bangkit. Koalisi Jawa Timur dipimpin Adipati Gending dan Adipati Pesagi melakukan pemberontakan terhadap Mataram. Kedua adipati ini memiliki relasi erat dengan faksi Ratu Jalu yang belum tersingkir seluruhnya. Di Uter, pasukan 50.000 dari timur berhadapan dengan 20.000 prajurit Mataram. Pertempuran besar terjadi di Jatisari. Senapati Kediri berhadapan langsung dengan pamannya sendiri, Adipati Pesagi. Keduanya gugur dalam perang tanding yang dikenang sebagai simbol perang saudara antar keturunan Demak.
Senapati Kediri dimakamkan di Wedi, tidak jauh dari makam Sunan Bayat. Sebelumnya, ia menjadi arsitek pembangunan Kuta Bacingah, yaitu tembok pertahanan Mataram yang kemudian menjadi cikal bakal Kotagede. Proyek ini diselesaikan dalam waktu tiga tahun dan menjadi simbol stabilitas serta kekuatan baru. Batu bata merah dan putih yang digunakan mencerminkan harmoni simbolik antara spiritualitas Jawa dan kekuatan Islam. Kuta yang dibangun tanpa lubang senjata itu mencerminkan keyakinan Mataram atas superioritas militer dan spiritualnya.
Sementara itu, jejak Ratu Jalu tak pudar. Ia dikenal pula sebagai Pangeran Demang, Panembahan Demang atau Sunan Demang, dan dimakamkan di kompleks Setono Gedong, Kediri. Ia adalah anak Panembahan Wirasmara, keturunan langsung Sunan Prawoto. Posisinya sebagai Adipati Kediri dilandasi bukan hanya oleh intervensi Surabaya, tetapi oleh klaim darah Demak dan basis spiritual yang kuat. Kediri di bawahnya menjadi pusat pesantren, ulama, dan tarekat, sebagai alternatif kekuasaan yang tidak bersenjata.

Pangeran Demang bukan sekadar seorang adipati administratif. Ia adalah simbol kesinambungan dinasti Demak yang bertahan di luar lingkar kekuasaan pusat. Sebagai pemimpin spiritual dan politik, ia membangun basis kekuasaan baru berbasis pesantren, ketokohan ulama, dan pemaknaan kembali darah Demak sebagai warisan sakral. Kediri di bawah kepemimpinannya tumbuh menjadi pusat keulamaan dan spiritualitas yang memadukan politik Islam dengan tradisi lokal Jawa.
Putranya, Pangeran Demang II, dimakamkan di Badal Nambangan, Ngadiluwih. Dari titik ini, silsilah Pangeran Demang menyebar ke berbagai penjuru Jawa Timur. Keturunannya dikenal dengan gelar Kyai Ageng dan memainkan peranan penting dalam penyebaran Islam serta pendidikan pesantren. Di antara tokoh sentral adalah Kyai Ageng Abdul Mursyad, yang juga dikenal sebagai Syekh Abdul Mursyad dari Kediri. Ia merupakan cucu dari Pangeran Demamg dan menjadi figur transformatif dalam sejarah spiritual Jawa.
Syekh Mursyad menjadi simpul penting dalam perluasan jaringan kekuasaan spiritual Demak dan Kediri ke wilayah Mataraman dan pesisir utara. Dari keturunannya lahir Ki Ageng Anom Besari, seorang ulama besar yang menetap di Caruban, Madiun. Ia menikah dengan Nyai Anom Caruban dan menurunkan tiga tokoh penting yaitu Kiai Ketib Anom, Kiai Mohammad Besari, dan Kiai Nur Sadiq.
Salah satu cucunya, Kiai Muhammad Hasan Besari, mendirikan Pesantren Tegalsari di Ponorogo yang kemudian menjadi pusat intelektual santri pada abad ke-18. Tegalsari menjadi titik temu antara warisan Demak, tradisi pesantren, dan perlawanan budaya terhadap kolonialisme. Dari garis keturunan ini pula lahir Kiai Zainal Abidin yang kemudian diangkat sebagai raja di Selangor, Malaysia. Hal ini menunjukkan bahwa silsilah Pangeran Demang tidak berhenti pada batas administratif Jawa, tetapi menjalar ke dunia Melayu sebagai ekspansi kekuasaan budaya dan spiritual Jawa-Islam.
Warisan Pangeran Demang bukan sekadar nama atau jabatan. Ia menyimpan lapisan memori sejarah, dari pengkhianatan di Demak, keterasingan di Kediri, hingga kebangkitan melalui pesantren. Dari garis keturunannya kelak lahir Pakubuwana II, raja Mataram yang memindahkan pusat pemerintahan dari Kartasura ke Surakarta pada 17 Februari 1745.
Jejak Pangeran Demang menunjukkan bahwa sejarah tidak selalu bergerak lurus dari istana ke istana. Kadang ia menepi, membelok ke hutan, ke pesantren, ke tanah asing yang jauh dari pusat kekuasaan. Namun justru dari pinggiran itulah lahir daya tahan, transmisi nilai, dan regenerasi politik. Dari keturunan Pangeran Demang, sejarah Mataram disambung kembali. Dan melalui Pakubuwana II, garis yang dulu dibuang ke Kediri itu kembali menempati takhta, menjahit ulang luka-luka lama antara darah Demak, Pajang, dan Mataram.
_____________________________
Catatan Redaksi: artikel ini merupakan hasil rangkuman dari berbagai sumber