Sriana Terus Membatik Meski Diterjang Krisis Moneter

31 - Jan - 2019, 01:13

Sriana tunjukan corak batik "lavender" ciptaannya yang banyak ditiru oleh pengusaha tekstil lainya (foto: Joko Pramono/JatimTIMES)

Batik merupakan salah satu warisan budaya bangsa yang masih ada. Seni melukis kain dengan menggunaan malam (sejenis lilin) ini kian jarang yang menekuninya. Kalaupun ada cuma segelintir orang yang menekuninya.

Dari segelintir orang itu ialah Sriana (60), warga Desa Bangoan Kecamatan Kedungwaru. Wanita paruh baya ini sejak 1984 bersama suaminya terus berkarya melestarikan batik. Sempat mengalami pasang surut dunia perbatikan, hal itu tak membuat Sriana berputus harapan.

“Tahun 1984 saya belajar membatik dan langsung bisa jual ke toko-toko di Tulungagung dan ke Sumatera,” ujar Sriana.

Sempat mati suri pada 1998 karena dihantam krisis moneter, tak membuatnya berhenti berkarya dengan membuat batik halus.

“Kita terus membuat batik halus,” ujar Sriana.

Tak jarang motif batik halus ciptaanya ditiru oleh orang lain. Bahkan peniruan atau penjiplakan juga dilakukan oleh pengusaha tekstil dari luar negeri.

“Dijiplak atau diprinting istilahnya, orang-orang dari India, Bangladesh itu melihat motifnya,” katanya pada awak media.

Awal membatik, dirinya menggunakan batik pakem atau corak batik yang sudah ada sejak nenek moyang yang menjadi koleksi keraton, seperti satrio manah, parang, sekar jagad, semen romo, gringsing, parikesit, klithik dan masih banyak lagi.

Nama usaha batik Satrio Manah miliknya sendiri mengambil nama dari batik pakem itu. Harapanya segala yang dinginkanya bisa tercapai. Batik Satrio Manah sendiri biasa dipakai oleh pangeran untuk melamar puteri raja.

“Filosofinya apa yang akan dinginkan tercapai,” bebernya.

Ada ratusan motif batik yang sudah diciptakanya. Sebagian sudah didaftarkan sebagai hak kekayaan intelektual atau dipatenkan.

Beberapa corak terinspirasi dari seni yang ada di Kabupaten Tulungagung, seperti batik pecut, batik jaranan dan batik reyog kendang.

“Inspirasi dari budaya Tulungagung seperti reyog kendang,” tutur Sriana.

Dari 64 karyawan yang dimilikinya, setiap hari hanya bisa memproduksi sekitar 20 lembar batik cetak. Sedang untuk batik tulis satu lembar kain diselesaikan dalam waktu sekitar 15 hari. Namun untuk keseluruhan proses memakan waktu 20 hari.

Ciri khas batik miliknya pada pewarnaan yang cenderung menggunakan warna gelap atau diistilahkan sogan gelap.

Kini di usianya yang tak muda lagi, Sriana sukses mengembangkan keahlian membatikanya. Batik miliknya telah dikenal luas di tingkat nasional. Setiap pejabat yang berkunjung ke Tulungagung selalu membawa batik dari gerainya untuk oleh-oleh.

Tak hanya itu, batiknya juga banyak dibeli oleh WNI yang bermukim di luar negeri seperti Brunei Darrusalam dan Hongkong.